Thursday, 25 October 2012

Polemik DIY; Rakyat Sebagai Penentu

Polemik DIY; Rakyat Sebagai Penentu

Polemik tentang RUUK DIY tak kunjung menemukan benang merah. Pembahasan mengenai RUUK DIY yang dijanjikan segera oleh para pemangku kebijakan justru berujung molor serta memancing munculnya bias pendapat di tengah-tengah masyarakat sehingga mengerucut pada persoalan kepemimpinan Daerah Istimewa Yogyakarta yang sejak dulu kala menggunakan sistem penetapan.

Masyarakat Yogyakarta sebenarnya telah terbiasa dengan sistem seperti itu. Artinya, mendukung Sri Sultan Hamengku Bowono X dan Paku Alam IX ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY, dan juga termasuk mengenai RUUK DIY yang kini dipersoalkan. Namun seiring molornya pembahasan RUUK DIY, sikap publik lama-kelamaan menjadi terbelah dua, sebagian bersikeras dengan sistem penetapan dan sebagian lain memilih pilkada, pemilihan langsung yang telah umum dilakukan di sejumlah daerah di negeri ini. Meskipun sesungguhnya masyarakat DIY tidak terlalu terbiasa dengan sistem pemilihan langsung atau pilkada yang sama saja artinya mewarnai Yogyakarta dengan nuansa politik.

Terbelahnya sikap rakyat Yogyakarta memang patut dikaji serta dianalisis lebih kritis. Dalam analisis Antonio Gramsci bahwa civil society tidaklah berdiri sendiri, tapi merupakan bagian dari kapitalisme yang melanggengkan proses hegemoni melalui struktur dan sistem negara. Proses hegemoni terjadi terjadi apabila cara hidup, cara pikir serta cara pandang pemikiran masyarakat bawah telah meniru dan menerima cara berpikir dan gaya hidup kelompok elit yang mendominasi (Jalan Lain, Mansour Fakih, 2002). Artinya, tak menutup kemungkinan pihak yang mendominasi, terutama kelompok penguasa penentang sistem penetapan di DIY melakukan semacam hegemoni intelektual, moralitas, dan cita rasa sebagian rakyat Yogyakarta untuk mendukung kepentingan politik menolak sistem penetapan di DIY. Asumsi ini cukup kuat jika kita melihat dimolorkannya dengan sengaja pembahasan RUUK DIY dan kepemimpinan DIY, karena pembahasan ini dijanjikan akan selesai di tahun 2008 lalu bertepatan dengan berakhirnya masa jabatan Sultan Hamengku Bowono X sebagai gubernur DIY periode 2003-2008.

Status Keisitimewaan Yogyakarta membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan penuh untuk mengatur wilayahnya sendiri. Sedangkan pemerintah Indonesia hanya berkewajiban memberikan kontrol terhadap pengaturan wilayah yang dinyatakan istimewa. Yogyakarta menyandang predikat sebagai daerah istimewa memang telah diakui sejak zaman penjajahan Belanda yang disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan Jepang menyebutnya dengan Koti/Kooti.

Bahkan, Soekarno juga memberikan payung hukum sebagai sebuah daerah, bukan Negara, dalam sidang BPUPKI dan PPKI 65 tahun silam. Status keistimewaan Yogyakarta merupakan sebuah warisan dari zaman pra kemerdekaan oleh Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alam yang sekaligus cika bakal. Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan kini, status itu sedang digugat oleh kepemerintahan SBY agar sistem penetapan diganti dengan sistem pemilihan secara demokratis.

Bagi rakyat Yogyakarta, Keistimewaan DIY adalah sebuah martabat karena berbagai faktor yang melingkupinya, terutama faktor sejarah, sosial, dan budaya. Untuk itulah Keistimewaan Yogyakarta tidak hanya berbicara mengenai persoalan kepemilikan tanah, suksesi kepemimpinan dan sejarah belaka, tapi karena Keistimewaan DIY serta sistem penetapan merupakan martabat rakyat Yogyakarta yang sebenarnya tidak perlu ditarik terlalu jauh ke ranah politik, sebab diyakini rakyat Yogyakarta terlalu asing dengan nuansa politis soal suksesi pepemimpinan DIY.

Radikalisme kepentingan politis

Terlepas dari itu, kepentingan politik cenderung lebih kuat sebagai satu alasan pemilihan untuk DIY. Radikalisme kepentingan politis kelompok tertentu yang kini mengahantam Yogyakarta sebagai kota budaya lambat laun akan meruntuhkan pondasi kehiduapan sosial-budaya masyarakat. Apabila dibiarkan tanpa dibentengi, bukan tidak mungkin masyarakat akan bubar dan bangsa ini akan semakin terpuruk.

Coba kita lihat, radikalisme keinginan serta kehendak politis dari kelompok tertentu lebih dominan, bahkan dalam segala aspek kehidupan, ketimbang menjaga keinginan kolektifitas masyarakat. Sikap hidup yang pragmatis adalah alasan kuat mengapa radikalisme kepentingan politis sangat gencar diperjuangkan oleh kelompok politis. Bukan politiknya yang kejam, tapi pelaku-pelaku politik itulah sebenarnya yang telah mengubah definisi serta citra politik menjadi buruk di mata masyarakat. Padahal, tujuan esensial politik adalah sangat mulia, yakni kesejahteraan masyarakat.

Dalam pada itu, bukan saja karena faktor sejarah yang membuat masyarakat Yogyakarta bersikukuh mempertahankan sistem penetapan, tapi juga karena alasan untuk membendung radikalisme kepentingan politik serta arus budaya modern. Selain itu, diakui atau tidak, keberadaan Keraton Yogyakarta dan Sri Sultan Hamengku Bowono, juga Paku Alaman, adalah simbol kebudayaan yang telah mendarah-daging di dalam diri serta kehidupan masyarakat Yogyakarta sejak dulu hingga kini.

Pro-kontra tentang keistimewaan Yogyakarta sebaiknya jangan hanya dilihat dari satu aspek saja. Terdapat banyak aspek yang mesti dilakukan kajian ulang dan spesifik untuk mengukur sejauh mana pro-kontra itu dapat diterima serta dicerna dalam perspektif kolektifitas masyarakat yang notabene pelaku kebudayaan. Artinya, masyarakat adalah aktor yang membuat kebudayaan itu tetap hidup, tumbuh dan berkembang. Bukan kita perorangan atau kelompok tertentu yang menentukan hidup-matinya sebuah kebudayaan, tapi realitas kehidupanlah yang akan jadi penentu, dan kesadaran masyarakat sebagai penyeimbang untuk memilih baik dan buruk suatu kebudayaan. Di sini, masyaraktlah yang jadi penentu, bukan kelompok tertentu, termasuk pemerintah pusat. Terlebih jika kita konteks-kan dengan sebuah ungkapan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan.
Disqus Comments