Wednesday, 17 July 2013

Bagian II



Rencana Sebelum Pulang
Pagi ini bulan November awal.
Rencana pulang ke Kalimantan terus diundur, bahkan sampai waktu yang tak terbatas, karena masih banyak urusan yang musti Aku selesaikan di kota tua ini, setidak-tidaknya sebagai persiapan jika kelak Aku kembali lagi ke sini.
Namaku Robin van Ritt.
Sebuah nama yang cukup aneh memang, entah karena alasan apa orang tua menyematkan nama itu di diriku. Aku kira, orang tuaku sudah hidup sejak jaman penjajahan Belanda, karena nama itu berbau ke-belanda-belanda-an, dan Aku sendiri tak tahu apa artinya.Dan benar saja, suatu hari Mak pernah bilang jika almarhum ayah bisa berbicara bahasa Belanda dan bahasa Jepang. Dua negara yang sama-sama menjajah Indonesia.!
Bertahun-tahun tumbuh, Aku seperti dilahirkan tuk menjadi seorang perantau karena sejak kecil Aku sudah tak serumah dengan orang tuaku. Bahkan, sejak kelas 3 SD, aku sudah berjauhan dengan mereka, dan sangat jarang pulang, sehingga Aku merasa dibesarkan malah bukan di kampung halamanku sendiri, tapi tumbuh dan berkembang di negeri orang, hingga saat ini, tak sadar Aku telah hidup di tanah Jawa selama 12 tahun lamanya.
Terlahir dari keluarga yang serba kekurangan semenjak ayahku dipanggil Tuhan saat usiaku baru saja menginjak lima tahun, membuat Aku harus belajar survive di manapun Aku berada, terlebih jauh dari keluarga. Para sudaraku telah berkeluarga, sementara Aku sendiri sebagai anak bungsu harus berlindung di bawah asuhan mereka, meminta bantuan kepada mereka kala Aku dirundung kesulitan karena Mak memang sudah berusia senja. Tapi Aku masih beruntung karena saudara-saudaraku selalu memberikan motivasi kepadaku selama Aku berada di negeri orang ini, buktinya kini Aku telah tumbuh besar dan bahkan telah berhasil meraih gelar sarjana.  Rinduku pada mereka semua yang berada di kampung, terutama kepada sosok Mak. Lama Aku tak sujud di kakinya, dan mencium tangannya, juga memeluknya. Aku ingin pulang.!
Hidup di tanah rantauan harus survive. Tak ada sudara, tak ada handai tolan, yang ada hanyalah pergumulan manusia yang tak Aku kenal siapa mereka, tetapi Aku hidup bersama mereka. Mereka Aku anggap saja sebagai saudara sendiri, setidak-tidaknya saudara seperjuangan.
Keputusanku untuk meninggalkan kampung halaman sejak tahun 2001 silam adalah keputusan yang didasari rasa dan sikap nekad. Dengan berbekal secukupnya, Aku pergi ke Jawa di atas restu keluarga, tak terkecuali Makku, dan tekadku hanya satu, yakni menimba ilmu, karena Jawa merupakan pusat kemajuan, maka Aku pikir menimba ilmu di sana jauh lebih baik dibandingkan dengan kondisi pendidikan di kampung halamanku yang sangat jauh dari kemajuan.
Kini, setelah 12 tahun Aku berada di Jawa, Aku rasa sudah cukup untuk sekadar memperoleh berbagai pengalaman hidup. Aku telah tumbuh menjadi pribadi yang kuat secara mental, optimis menghadapi liku-liku kehidupan karena pengalaman hidup di Jawa telah menggembleng mentalku hingga Aku tak lagi kaget jika dihadapkan dengan kesusahan. Yang ada di dalam diriku hanyalah sikap serta pandangan yang optimis tuk menyambut masa depan, dengan berbekal keyakinan dan keinginan untuk melakukan perubahan, membuktikan kepada keluarga, terutama kepada Mak bahwa Aku pergi jauh-jauh menimba ilmu di negeri orang tak berakhir dengan sia-sia.
Jatuh bangun di tanah yang kuinjak selama belasan tahun ini seperti sudah menjadi sunnatullah. Karena prinsip hidup adalah perjuangan, sementara perubahan telah menanti di hari-hari mendatang, juga merupakan suatu kepastian dari rangkain hukum alam. Singkatnya, perubahan lebih merupakan sebuah takdir abadi dalam kehidupan.
Di tanah suci ini, Aku telah merasakan berbagai tikaman, baik dari sisi depan, belakang, sisi kanan, sisi kiri, bahkan dari atas kepalaku, adalah hal yang biasa, bahkan telah berubah jadi terbiasa. Aku ditikam, kemudian tersungkur, terjatuh, lalu Aku bangkit lagi, jatuh lagi, kemudian bangkit lagi, terus dan terus begitu, Aku anggap bukan perkara yang aneh. Bahkan pernah, pada suatu waktu Aku terpuruk selama hampir satu tahun karena dikhianati orang yang mengaku cinta kepadaku, tetapi Aku kemudian bangkit setelah Aku menyadari bahwa cintanya hanya untuk memanfaatkan diri dan kemampuanku.
Orang mengatakan panah asmara adalah simbol kebahagiaan, tapi tidak bagiku, justru luka panah tersebut menggoreskan luka dalam yang melebar, membekas serta meninggalkan sisa-sisa racun yang beberapa bulan mengalir dalam darahku, membuat Aku terkapar tak berdaya, bahkan hingga Aku terasa koma.
Setelah sadar dari koma yang berkepanjangan Aku lantas bersumpah atas nama Tuhan, agar jangan sampai luka itu membunuh asa dan citaku. Aku harus bangkit dan membuat perhitungan pada mereka, hingga mereka sadar bahwa menjungkalkan langkahku merupakan suatu kebodohan serta keleliruan, Aku ingin melihat mereka meratap hina penuh dengan penyesalan karena telah memanfaatkanku tanpa rasa kemanusiaan itu. Dalam hati Aku bergumam emosional, hey durjana, kau salah orang, Aku ini bukan diciptakan menjadi budakmu.!! Aku ini pejuang, bukan pecundang murahan seperti anggapan hinamu itu.! Bara api memang sudah terlanjur menyala-nyala di jiwaku, Aku seperti sedang mendendam, karena hanya dengan begitu Aku dapat mencoba membuncahkan kemarahanku, terutama pada diriku sendiri yang dengan sangat mudah telah dibodohi anak-anak ingusan itu.
Hari demi hari perlahan-lahan, egoku menghilang, dan sakit tak lagi kurasakan. Realitas hidup adalah fakta matreal yang harus Aku hadapi dengan rasionalitas. Di situlah sikap optimismeku mulai muncul ke permukaan, setelah Aku mulai terbiasa dengan bangun di pagi hari melihat cahaya mentari yang ditakdirkan alam menampakan sinarnya di ujung timur.
Langkah kaki yang kuayunkan penuh keyakinan pagi ini sepertinya menjadi langkah awal untuk membuktikan optimismeku yang perlahan mulai mendikte akal dan pikiranku. Tapak demi setapak langkah kaki kuayunkan menuju rumah pak Andra, seorang donatur yang bersedia menjadi pembina, pembimbing, pengarah, pembuka jaringan, sekaligus donatur lembaga yang kemarin hari disampaikan Gus kepadaku di Blandongan.
Sesampainya Aku di rumah pak Andra,  teman-teman sudah duduk berkumpul menanti kedatanganku. Aku memang sangat diharapkan hadir untuk meeting di sana karena teman-teman sedang sibuk menggarap profil, struktur, serta program kerja lembaga, dan Aku sendiri merupakan sekretaris umum sehingga sangat dibutuhkan tanda tanganku untuk proses legalitas lembaga penelitian dan kajian ini.
Aku memang belum kenal, bahkan belum pernah bertemu dengan pak Andra. Gus mengenalkanku kepadanya, seraya menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan kebutuhan administrasi lembaga. Hanya Andi yang tidak turut hadir di sana, karena ia sendiri kemarin malam harus berangkat ke Jakarta untuk menerima hadiah lomba resensi buku yang ia menangkan sekaligus melamar kerja ke sebuah lembaga penyiaran di Ibu Kota. Jakarta.!
Rapat berlangsung cukup lama, dan setelah kewajibanku Aku selesaikan, Aku pun pamit undur diri untuk pulang ke kost. Seperti biasa, mendung mulai menyelimuti bumi seisinya, dan sepertinya hujan tak sabar ingin turun membasahi tanah Jogja yang sejak tadi pagi disengat terik panas matahari yang tak biasa. Alam memang adil, setelah panas maka di situ pula hujan akan turun membasahi.
Aku lantas buru-buru mengencangkan langkah kaki agar tak kehujanan di jalan. Perlahan Aku berjalan di antara lorong rumah-rumah melewati gang sempit, jalan pintas agar cepat sampai di kost.
Sesampainya Aku di kost, Aku terkejut karena di dalam kamar terdapat sosok seseroang yang sedang tertidur pulas. Seorang perempuan yang tidur dengan kelelahan terpancar jelas di raut wajahnya yang cantik, Mazra. Ya, Aku tahu itu Mazra yang tertidur karena terlalu lama menanti kedatanganku. Tadi pagi memang dia sempat mengirimkan pesan singkat bahwa dia ingin istirahat di kost karena hari ini tak ada pekerjaan. Begitu pesan singkat dari Mazra yang Aku terima tadi pagi, dan kini dia sedang tertidur di sini.
Aku membiarkan Mazra yang sedangn tidur pulas, dan tak ada rencana membangunkannya, sementara Aku sendiri membuka berkas-berkas seraya mempersiapkan ijazah dan keperluan lainnya untuk melengkapi administrasi lembaga.
“Udah pulang mas, kapan? kok nggak ada suaranya?”, Mazra terbangun dari tidurnya, Aku terperanjat kaget karena sedang khusyuk membaca sebuah novel setelah mempersiapkan berkas-berkas untuk kuserahkan ke lembaga.
“Sejam yang lalu Aku sampai di kost dek, dan Aku sengaja tak membangunkanmu karena Aku lihat kau tidur dalam kepulasan”, sahutku datar saja sambil menaruh buku di meja.
Segera Aku menghampirinya yang masih berbaring di kasur. Aku tanyakan kepadanya bagaimana keadaan mbaknya, apakah masih sering marah-marah lagi atau tidak. Segera Mazra beranjak bangun dari kasur lalu duduk bersila, dan bersandar pada tembok sembari menarik nafas lega dia bilang, “Mbak sekarang udah nggak marah-marah lagi kok mas, dia baik banget sama aku, ini buktinya aku dikasih duit 500 ribu rupiah buat beli-beli baju sama sandal”, imbuh Mazra yang seakan-akan ingin menyakinkan kepadaku.
“Ya, sudah, benar kan apa kata mas, mbakmu itu lagi nggak  stabil aja emosinya, mungkin dia lagi datang bulan saat itu, jadi bawannya pengen marah-marah melulu”, Aku menguatkan pernyataan Mazra. “Terus, pean[1] mau beli-beli sekarang bareng mas?”, tanyaku pada Mazra yang masih belum ingin beranjak dari duduknya.
“Besok hari sajalah mas, aku sekarang lagi males banget ke mana-mana, pengen di sini aja nemenin mas, lagi pula itu mendung sudah bergelayut di awan”, jawabnya malas.
Aku lalu terheran-heran kok bisa dalam kondisi tak ada masalah wajah Mazra terlihat sedang diterpa keletihan? Dan Aku segera mendapatkan jawabannya bahwa Mazra seharian belum menyentuh air untuk sekedar mandi, pantas saja wajahnya tak cerah secerah biasanya pikirku.
Suasana terdiam sejenak. Aku dan Mazra tak membuka obrolan lagi. Aku beranjak membuka jendela dan menutup pintu kamar kost karena hujan turun sangat deras dan lebat, ditambah petir dan angin kencang menyapu debu-debu kering di halaman kost. Teman-teman di kost pada ribut dan sibuk menutup pintu kamar masing-masing, sepertinya mereka akan melanjutkan tidurnya, karena tidur di saat hujan adalah keputusan tepat untuk berdiam di dalam kamar ketimbang nekad keluar untuk berjalan-jalan sore. Begitu pula Aku, berdiam pula di dalam kamar bersama-sama Mazra menikmati rintik demi rintik hujan yang berselimut dingin sambil termenung, dan sesekali Aku menatap wajah Mazra, dan begitu pula sebaliknya, diam-diam dia juga menatapku penuh hasrat, dan pada akhirnya kami terbuai dalam alunan kemesraan yang dibumbui oleh lantunan nyanyian cinta kasih sayang yang menggema di seluruh dinding kamar kecil sewaan ini, dan suasana pun hening, yang terdengar hanyalah rintikan hujan yang menyetubuhi bumi, desahan angin yang menyapu rumput-rumput, juga jeritan bumi yang disambar petir.
Aku dan Mazra pun terdiam oleh derasnya rintik air hujan, desiran angin yang melarang untuk ke luar, dentuman petir yang memaksa pintu ditutup, gigitan dingin yang memaksa terciptanya sebuah kehangatan, sehingga, entah setan mana yang bersembunyi di balik hujan ini, Aku dan Mazra semakin larut, saling melepas, saling meraih, saling menjambak, saling mengerang………..!!!#


[1] Kamu, Anda, Kau
Disqus Comments