Rencana Sebelum Pulang
Pagi ini bulan November
awal.
Rencana pulang ke
Kalimantan terus diundur, bahkan sampai waktu yang tak terbatas, karena masih
banyak urusan yang musti Aku selesaikan di kota tua ini, setidak-tidaknya
sebagai persiapan jika kelak Aku kembali lagi ke sini.
Namaku Robin van Ritt.
Sebuah nama yang cukup
aneh memang, entah karena alasan apa orang tua menyematkan nama itu di diriku.
Aku kira, orang tuaku sudah hidup sejak jaman penjajahan Belanda, karena nama itu berbau ke-belanda-belanda-an, dan Aku sendiri tak tahu
apa artinya.Dan benar saja, suatu hari Mak pernah bilang jika almarhum ayah bisa
berbicara bahasa Belanda dan bahasa Jepang. Dua negara yang sama-sama menjajah
Indonesia.!
Bertahun-tahun tumbuh,
Aku seperti dilahirkan tuk menjadi seorang perantau karena sejak kecil Aku
sudah tak serumah dengan orang tuaku. Bahkan, sejak kelas 3 SD, aku sudah
berjauhan dengan mereka, dan sangat jarang pulang, sehingga Aku merasa
dibesarkan malah bukan di kampung halamanku sendiri, tapi tumbuh dan berkembang
di negeri orang, hingga saat ini, tak sadar Aku telah hidup di tanah Jawa
selama 12 tahun lamanya.
Terlahir dari keluarga
yang serba kekurangan semenjak ayahku dipanggil Tuhan saat usiaku baru saja
menginjak lima tahun, membuat Aku harus belajar survive di manapun Aku berada,
terlebih jauh dari keluarga. Para sudaraku telah berkeluarga, sementara Aku
sendiri sebagai anak bungsu harus berlindung di bawah asuhan mereka, meminta
bantuan kepada mereka kala Aku dirundung kesulitan karena Mak memang sudah
berusia senja. Tapi Aku masih beruntung karena saudara-saudaraku selalu
memberikan motivasi kepadaku selama Aku berada di negeri orang ini, buktinya
kini Aku telah tumbuh besar dan bahkan telah berhasil meraih gelar sarjana.
Rinduku pada mereka semua yang berada di kampung, terutama kepada sosok
Mak. Lama Aku tak sujud di kakinya, dan mencium tangannya, juga memeluknya. Aku
ingin pulang.!
Hidup di tanah rantauan
harus survive. Tak ada sudara,
tak ada handai tolan, yang ada hanyalah pergumulan manusia yang tak Aku kenal
siapa mereka, tetapi Aku hidup bersama mereka. Mereka Aku anggap saja sebagai
saudara sendiri, setidak-tidaknya saudara seperjuangan.
Keputusanku untuk
meninggalkan kampung halaman sejak tahun 2001 silam adalah keputusan yang
didasari rasa dan sikap nekad. Dengan berbekal
secukupnya, Aku pergi ke Jawa di atas restu keluarga, tak terkecuali Makku, dan
tekadku hanya satu, yakni menimba ilmu, karena Jawa merupakan pusat kemajuan,
maka Aku pikir menimba ilmu di sana jauh lebih baik dibandingkan dengan kondisi
pendidikan di kampung halamanku yang sangat jauh dari kemajuan.
Kini, setelah 12 tahun
Aku berada di Jawa, Aku rasa sudah cukup untuk sekadar memperoleh berbagai
pengalaman hidup. Aku telah tumbuh menjadi pribadi yang kuat secara mental,
optimis menghadapi liku-liku kehidupan karena pengalaman hidup di Jawa telah
menggembleng mentalku hingga Aku tak lagi kaget jika dihadapkan dengan kesusahan.
Yang ada di dalam diriku hanyalah sikap serta pandangan yang optimis tuk
menyambut masa depan, dengan berbekal keyakinan dan keinginan untuk melakukan
perubahan, membuktikan kepada keluarga, terutama kepada Mak bahwa Aku pergi
jauh-jauh menimba ilmu di negeri orang tak berakhir dengan sia-sia.
Jatuh bangun di tanah
yang kuinjak selama belasan tahun ini seperti sudah menjadi sunnatullah. Karena prinsip hidup
adalah perjuangan, sementara perubahan telah menanti di hari-hari mendatang,
juga merupakan suatu kepastian dari rangkain hukum alam. Singkatnya, perubahan
lebih merupakan sebuah takdir abadi dalam kehidupan.
Di tanah suci ini, Aku
telah merasakan berbagai tikaman, baik dari sisi depan, belakang, sisi kanan,
sisi kiri, bahkan dari atas kepalaku, adalah hal yang biasa, bahkan telah
berubah jadi terbiasa. Aku ditikam, kemudian tersungkur, terjatuh, lalu Aku
bangkit lagi, jatuh lagi, kemudian bangkit lagi, terus dan terus begitu, Aku
anggap bukan perkara yang aneh. Bahkan pernah, pada suatu waktu Aku terpuruk
selama hampir satu tahun karena dikhianati orang yang mengaku cinta kepadaku,
tetapi Aku kemudian bangkit setelah Aku menyadari bahwa cintanya hanya untuk
memanfaatkan diri dan kemampuanku.
Orang mengatakan panah
asmara adalah simbol kebahagiaan, tapi tidak bagiku, justru luka panah tersebut
menggoreskan luka dalam yang melebar, membekas serta meninggalkan sisa-sisa
racun yang beberapa bulan mengalir dalam darahku, membuat Aku terkapar tak
berdaya, bahkan hingga Aku terasa koma.
Setelah sadar dari koma
yang berkepanjangan Aku lantas bersumpah atas nama Tuhan, agar jangan sampai
luka itu membunuh asa dan citaku. Aku harus bangkit dan membuat perhitungan
pada mereka, hingga mereka sadar bahwa menjungkalkan langkahku merupakan suatu
kebodohan serta keleliruan, Aku ingin melihat mereka meratap hina penuh dengan
penyesalan karena telah memanfaatkanku tanpa rasa kemanusiaan itu. Dalam hati
Aku bergumam emosional, hey durjana, kau salah orang, Aku ini bukan diciptakan
menjadi budakmu.!! Aku ini pejuang, bukan pecundang murahan seperti anggapan
hinamu itu.! Bara api memang sudah terlanjur menyala-nyala di jiwaku, Aku
seperti sedang mendendam, karena hanya dengan begitu Aku dapat mencoba
membuncahkan kemarahanku, terutama pada diriku sendiri yang dengan sangat mudah
telah dibodohi anak-anak ingusan itu.
Hari demi hari
perlahan-lahan, egoku menghilang, dan sakit tak lagi kurasakan. Realitas hidup
adalah fakta matreal yang harus Aku hadapi dengan rasionalitas. Di situlah
sikap optimismeku mulai muncul ke permukaan, setelah Aku mulai terbiasa dengan
bangun di pagi hari melihat cahaya mentari yang ditakdirkan alam menampakan sinarnya di ujung timur.
Langkah kaki yang
kuayunkan penuh keyakinan pagi ini sepertinya menjadi langkah awal untuk
membuktikan optimismeku yang perlahan mulai mendikte akal dan pikiranku. Tapak
demi setapak langkah kaki kuayunkan menuju rumah pak Andra, seorang donatur
yang bersedia menjadi pembina, pembimbing, pengarah, pembuka jaringan,
sekaligus donatur lembaga yang kemarin hari disampaikan Gus kepadaku di
Blandongan.
Sesampainya Aku di
rumah pak Andra, teman-teman sudah duduk berkumpul menanti kedatanganku.
Aku memang sangat diharapkan hadir untuk meeting di sana karena
teman-teman sedang sibuk menggarap profil, struktur, serta program kerja
lembaga, dan Aku sendiri merupakan sekretaris umum sehingga sangat dibutuhkan
tanda tanganku untuk proses legalitas lembaga penelitian dan kajian ini.
Aku memang belum kenal,
bahkan belum pernah bertemu dengan pak Andra. Gus mengenalkanku kepadanya,
seraya menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan kebutuhan administrasi
lembaga. Hanya Andi yang tidak turut hadir di sana, karena ia sendiri kemarin
malam harus berangkat ke Jakarta untuk menerima hadiah lomba resensi buku yang
ia menangkan sekaligus melamar kerja ke sebuah lembaga penyiaran di Ibu Kota.
Jakarta.!
Rapat berlangsung cukup
lama, dan setelah kewajibanku Aku selesaikan, Aku pun pamit undur diri untuk
pulang ke kost. Seperti biasa, mendung mulai menyelimuti bumi seisinya, dan
sepertinya hujan tak sabar ingin turun membasahi tanah Jogja yang sejak tadi
pagi disengat terik panas matahari yang tak biasa. Alam memang adil, setelah
panas maka di situ pula hujan akan turun membasahi.
Aku lantas buru-buru
mengencangkan langkah kaki agar tak kehujanan di jalan. Perlahan Aku berjalan
di antara lorong rumah-rumah melewati gang sempit, jalan pintas agar cepat
sampai di kost.
Sesampainya Aku di
kost, Aku terkejut karena di dalam kamar terdapat sosok seseroang yang sedang
tertidur pulas. Seorang perempuan yang tidur dengan kelelahan terpancar jelas
di raut wajahnya yang cantik, Mazra. Ya, Aku tahu itu Mazra yang tertidur
karena terlalu lama menanti kedatanganku. Tadi pagi memang dia sempat
mengirimkan pesan singkat bahwa dia ingin istirahat di kost karena hari ini tak
ada pekerjaan. Begitu pesan singkat dari Mazra yang Aku terima tadi pagi, dan
kini dia sedang tertidur di sini.
Aku membiarkan Mazra
yang sedangn tidur pulas, dan tak ada rencana membangunkannya, sementara Aku
sendiri membuka berkas-berkas seraya mempersiapkan ijazah dan keperluan lainnya
untuk melengkapi administrasi lembaga.
“Udah pulang mas, kapan?
kok nggak ada suaranya?”, Mazra
terbangun dari tidurnya, Aku terperanjat kaget karena sedang khusyuk membaca sebuah novel setelah
mempersiapkan berkas-berkas untuk kuserahkan ke lembaga.
“Sejam yang lalu Aku
sampai di kost dek, dan Aku
sengaja tak membangunkanmu karena Aku lihat kau tidur dalam kepulasan”, sahutku
datar saja sambil menaruh buku di meja.
Segera Aku
menghampirinya yang masih berbaring di kasur. Aku tanyakan kepadanya bagaimana
keadaan mbaknya, apakah masih sering marah-marah lagi atau tidak. Segera Mazra
beranjak bangun dari kasur lalu duduk bersila, dan bersandar pada tembok
sembari menarik nafas lega dia bilang, “Mbak sekarang udah nggak marah-marah lagi kok mas, dia
baik banget sama aku, ini buktinya aku dikasih duit 500 ribu rupiah buat beli-beli baju sama sandal”, imbuh Mazra yang seakan-akan ingin
menyakinkan kepadaku.
“Ya, sudah, benar kan
apa kata mas, mbakmu itu lagi nggak
stabil aja emosinya, mungkin dia lagi datang bulan saat itu, jadi bawannya pengen marah-marah melulu”, Aku
menguatkan pernyataan Mazra. “Terus, pean[1]
mau beli-beli sekarang bareng mas?”, tanyaku pada Mazra yang masih belum ingin
beranjak dari duduknya.
“Besok hari sajalah
mas, aku sekarang lagi males banget
ke mana-mana, pengen di sini
aja nemenin mas, lagi pula itu
mendung sudah bergelayut di awan”, jawabnya malas.
Aku lalu terheran-heran
kok bisa dalam kondisi tak ada
masalah wajah Mazra terlihat sedang diterpa keletihan? Dan Aku segera
mendapatkan jawabannya bahwa Mazra seharian belum menyentuh air untuk sekedar
mandi, pantas saja wajahnya tak cerah secerah biasanya pikirku.
Suasana terdiam
sejenak. Aku dan Mazra tak membuka obrolan lagi. Aku beranjak membuka jendela
dan menutup pintu kamar kost karena hujan turun sangat deras dan lebat,
ditambah petir dan angin kencang menyapu debu-debu kering di halaman kost.
Teman-teman di kost pada ribut dan sibuk menutup pintu kamar masing-masing,
sepertinya mereka akan melanjutkan tidurnya, karena tidur di saat hujan adalah
keputusan tepat untuk berdiam di dalam kamar ketimbang nekad keluar untuk
berjalan-jalan sore. Begitu pula Aku, berdiam pula di dalam kamar bersama-sama
Mazra menikmati rintik demi rintik hujan yang berselimut dingin sambil
termenung, dan sesekali Aku menatap wajah Mazra, dan begitu pula sebaliknya,
diam-diam dia juga menatapku penuh hasrat, dan pada akhirnya kami terbuai dalam
alunan kemesraan yang dibumbui oleh lantunan nyanyian cinta kasih sayang yang
menggema di seluruh dinding kamar kecil sewaan ini, dan suasana pun hening,
yang terdengar hanyalah rintikan hujan yang menyetubuhi bumi, desahan angin
yang menyapu rumput-rumput, juga jeritan bumi yang disambar petir.
Aku dan Mazra pun
terdiam oleh derasnya rintik air hujan, desiran angin yang melarang untuk ke
luar, dentuman petir yang memaksa pintu ditutup, gigitan dingin yang memaksa
terciptanya sebuah kehangatan, sehingga, entah setan mana yang bersembunyi di
balik hujan ini, Aku dan Mazra semakin larut, saling melepas, saling meraih, saling
menjambak, saling mengerang………..!!!#