Suatu hari, seorang petani di sebuah desa di Kalimantan Barat bercerita kepada saya. Dia bercerita karena geram. Tampak ia tak kuasa menahan rasa geramnya tersebut sehingga ia merasa perlu untuk bercerita. Sebut saja namanya Madi. Ia merasa sangat geram dengan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Sebab, di suatu hari, Madi tiba-tiba didatangi perwakilan dari kementerian pertanian. Utusan itu tak kurang dari 10 orang lengkap dengan pengawalnya.
Madi tahu, maksud kedatangan rombongan itu dalam rangka survei. Madi adalah ketua kelompok tani yang telah dibentuk sebelumnya. Pembentukan itu, kata dia tak terlepas dari respon desa terhadap program pemerintah di kawasan pedesaan. Program tersebut berupa membuat lahan persawahan untuk dikelola warga di bawah pengawasan pemerintah. Sebagai ketua kelompok tani di desanya, Madi awalnya sumringah dengan program tersebut karena merasa pemerintah peduli terhadap masyarakat dan rakyatnya.
Singkat cerita, Madi mengajak rombongan utusan tersebut ke lokasi yang rencananya akan disulap menjadi sawah yang cukup luas. Madi beserta anggota kelompok tani lainnya sudah mempersiapkan lokasi sebelum kedatangan utusan itu. Survei itu dilaksanakan sore hari selepas ashar. Sesampainya mereka di lokasi, Madi mempresentasikan kondisi lahan, mulai dari perairan hingga luas lahan. Setelah selesai, Madi pun mempersilahkan kepada tim utusan tersebut untuk menyampaikan komentarnya. Madi berharap lahan yang telah ia persiapkan dapat diterima karena itulah lahan terbaik yang ada di desanya apabila ingin dikembangkan sebagai persawahan. Setelah panjang lebar, hari juga sudah semakin senja, Madi tersentak kaget.
Kekagetan Madi ketika penjelasan dan permintaan utusan tersebut mengenai lebar lahan pertanian yang, katanya, sesuai target pemerintah, yakni 10 hektare dalam satu hamparan. Kening Madi mengkerut. Ia sedikit menahan marah. Menurutnya, permintaan itu tak masuk akal. Bagaimana mungkin mereka meminta lahan seluas itu sementara mereka tahu kalau di kawasan ini terdiri dari perbukitan-perbukitan? Tanya Madi dalam hati. Madi mengendurkan ototnya. Ia kemudian bicara. Ia mengatakan, lahan seluas 10 hektare tidak ada di kawasan ini, bahkan sudah berulangkali disurveinya. Madi lalu menawarkan, oke 10 hektare, tetapi tidak dalam satu hamparan melainkan terpisah-pisah. Soal bagaimana nanti mengelolanya, Madi mengaku siap berdiskusi dengan warga.
Hanya itu solusi dari Madi menanggapi permintaan utusan tersebut. Sebab, menurut Madi di kawasan yang mayoritas terdiri dari perbukitan itu tidak ada lahan sawah yang mencapai 10 hektare dalam satu hamparan. Untuk memenuhi 10 hektare hanya bisa dilakukan secara terpisah-pisah. Misalnya di lahan satu 6 hektare, lahan di lokasi lain 4 hektare, dan seterusnya. Singkat kata, harapan Madi pupus. Utusan tersebut ngotot, ngeyel dan tidak percaya ucapan dan pengakuan Madi.
Bahkan, Madi sempat dibilang berbohong. Madi pun tak kuasa menahan amarahnya sampai-sampai ia bersumpah, sampai tua pun utusan itu tidak bakal menemukan lahan sawah 10 hektare dalam satu hamparan karena hingga perbatasan Kalimantan Tengah, kawasan itu semuanya perbukitan. Bagi Madi, program pengadaan sawah seluas 10 hektare dalam satu hamparan di wilayahnya merupakan program yang tidak masuk di akal. Karuan saja, Madi sudah separuh abad hidup dan menetap di desa atau derahnya tersebut.