Thursday 7 December 2017

Apa Jadinya, Dana Desa tanpa BPK


Apa jadinya dana desa tanpa BPK, BPK Kawal Harta Negara. Ya, alokasi dana desa dari APBN dari tahun ke tahun makin besar saja. Tahun 2017, pemerintah menganggarkan dana desa Rp 60 triliun. Jauh lebih besar dibandingkan tahun 2016 yang Rp47 triliun. Bahkan, akan tampak jauh lebih besar jika kita tengok anggaran dana desa tahun 2015 sebesar Rp20,76 triliun.

Tentang dana desa, sedikit kita mengilas balik pada hari dan tanggal bersejarah, Rabu, 18 Desember 2013, saat RUU tentang Desa disahkan DPR menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR. Setelah itu, terbitlah Undang-Undang (UU) No. 6 Tahun 2014 tentang Desa di masa akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Undang-undang yang disahkan dan diundangkan 15 Januari 2014 inilah yang mengamanatkan alokasi anggaran, baik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dikenal dengan dana desa. Sejak itu pula, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tanggap, dan menyiapkan audit dana desa.

Sikap tanggap BPK cukup beralasan. Sebab, sejak dana desa digulirkan, di berbagai media, termasuk media sosial, marak pernyataan yang mendukung dengan pesan “wanti-wanti”. Akan tetapi, tidak sedikit yang berkomentar, “bisa-bisa akan banyak kepala desa masuk penjara….”

Di sisi lain, dalam pemberitaan medio April 2017, Dirjen Perimbangan Keuangan Negara, Kementerian Keuangan, Boediarso Teguh Widodo kepada pers mengakui adanya permasalahan dalam pengucuran Dana Desa. Pertama, banyak daerah belum memiliki aturan rinci mengenai dana desa. Kalaupun ada, tidak sesuai ketentuan. Kedua, pelaporan penyaluran dana desa tahap pertama tidak tepat waktu.

Pemerintah sendiri, baik pusat maupun daerah telah membuat regulasi megenai dana desa, mulai dari Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri sampai peraturan kepala daerah, baik gubernur, bupati, atau walikota. Di era Presiden Joko Widodo, terjadi perubahan nomenklatur kementerian. Sehingga, ada tiga kementerian yang punya tanggung jawab atas pengelolaan dana desa, yaitu Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT).

Secara umum, Kemenkeu bertanggung jawab terkait alokasi dana desa dari APBN. Kemendagri, bertanggung jawab atas kesiapan desa. Sedangkan Kemendesa PDTT menentukan arah penggunaan dana desa. Dari sisi ini, Kemendesa PDTT menjadi motor operasional pengelolaan dana desa.

Untuk lebih tertib dan lebih berdaya-guna, pemerintah pusat melalui Kemenkeu, Kemendagri, dan Kemendesa PDTT melakukan serangkaian sosialisasi untuk pemantapaan kesiapan pengelolaan dana desa. Di sisi lain, BPK juga aktif mendorong kesiapan pemerintah daerah atas pengelolaan dana tersebut agar tertib dan bertanggung jawab.

Pada tahun 2017, BPK terus mendorong kesiapan pemerintah daerah melalui berbagai acara. Seperti Dialog Terbuka Pemantapan Pemahaman Dana Desa di Malang, Jawa Timur, pada 4 Maret 2017 atau Focus Group Discussion (FGD) Dana Desa di Pontianak, Kalimantan Barat pada 3 April 2017 serta berbagai kegiatan lain terkait dana desa di berbagai daerah.

Dalam semester II 2016 pun, BPK telah melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) atas Pengelolaan Belanja 2015-2016 Kemendesa PDTT, dimana di sana terdapat temuan terkait pengelolaan dana desa. BPK juga memeriksa realisasi Belanja Barang, Belanja Modal, dan Belanja Bantuan Sosial Tahun 2015 sampai Semester I Tahun 2016 pada Kemendesa PDTT di DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Jawa Timur, dan Jawa Barat; Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Provinsi Kalimantan Barat; dan Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas) Provinsi Jawa Timur.

Pemeriksaan difokuskan, salah satunya, pada Belanja Barang, Belanja Modal, dan Belanja Bantuan Sosial yang terkait dana desa. Hasil pemeriksaan menunjukkan, salah satunya, permasalahan pengelolaan tenaga pendamping profesional. Dimana, honorarium dan bantuan biaya operasional pendamping program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa tidak wajar dan tidak dapat diyakini kebenarannya. Nilainya lumayan, masing–masing Rp425,19 miliar pada tahun 2015 dan Rp550,47 miliar pada tahun 2016.

Kemendesa PDTT melalui Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Ditjen PPMD) pada Tahun Anggaran 2015 dan 2016 menganggarkan honorarium dan biaya operasional untuk membiayai tenaga pendamping profesional dalam mendampingi pelaksanaan Undang-Undang Desa. Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat bertugas di tingkat Kabupaten, Pendamping Desa bertugas di tingkat Kecamatan, dan Pendamping Lokal Desa bertugas di tingkat desa.

Dana untuk pembayaran honorarium dan bantuan biaya operasional tahun 2015 senilai Rp425,19 miliar, sedangkan untuk tahun 2016 senilai Rp550.46 miliar. Dari hasil pemeriksaan terhadap Dokumen Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) TA 2015 dan TA 2016, diketahui, dasar perhitungan belum ada kajian memadai dan tidak tepat. Selain itu, besaran biaya pendamping desa tidak sesuai dan tidak patut karena disetarakan dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) III/a masa kerja 4 tahun ditambah tunjangan Kinerja Pranata Hubungan Masyarakat Pemula.

Bukan hanya itu. Tenaga ahli pemberdayaan masyarakat yang telah memperoleh tunjangan kinerja juga beroleh biaya operasional dan tunjangan asuransi. BPK juga menjumpai adanya pertanggungjawaban honorarium dan bantuan biaya operasional tidak dilengkapi dokumen pertanggungjawaban tahun 2015 sebesar Rp425,19 miliar dan tahun 2016 sebesar Rp550,46 miliar. Di samping, mereka tidak menyimpan bukti penggunaan bantuan biaya operasional yang diterima setiap bulannya.

Sementera, hasil uji petik ke Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Jawa Timur menunjukkan biaya honorarium tidak dilengkapi dokumen pertanggungjawaban tahun 2015 senilai Rp39,57 miliar dan semester I tahun 2016 senilai Rp68,19 miliar. Ditemukan pula biaya bantuan operasional tidak dilengkapi bukti dan kuitansi penggunaan dana dan tidak memenuhi persyaratan senilai Rp71,59 juta.

Hal tersebut menunjukkan kelemahan mekanisme pembayaran bantuan biaya operasional, yang di antaranya terdiri dari biaya transportasi dan perjalanan dinas, secara lump sum. BPK menyimpulkan, nilai belanja operasional senilai Rp3,57 miliar diragukan kebenarannya.

Berdasar hasil pemeriksaan BPK, diketahui bahwa penggunaan mekanisme pembayaran secara lump sum membuat pihak satker pengelola dana dekonsentrasi tidak mengumpulkan bukti pertanggungjawaban dari tenaga pendamping profesional. Hal ini membuat biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pembayaran honorarium dan bantuan biaya operasional tidak dapat diyakini kebenarannya.

Soal lain adalah pembayaran asuransi bagi tenaga pendamping profesional di Provinsi Jawa Timur tidak menggunakan mekanisme at cost. Selain itu, terdapat tunjangan asuransi sebagai salah satu komponen penghasilan yang dibayarkan dengan mekanisme lump sum, sedangkan asuransi dibayarkan dengan mekanisme at cost. Pemeriksaan secara uji petik menunjukkan terdapat tenaga pendamping profesional yang menerima pembayaran asuransi namun tidak menyampaikan bukti premi asuransi kepada satker pengelola dana dekonsentrasi.

Ditemukan pula, terdapat pembayaran asuransi yang nilainya melampaui nilai premi yang disampaikan tenaga pendamping profesional kepada satker pengelola dana dekonsentrasi. Dari data yang ada menunjukkan pembayaran asuransi senilai Rp25,53 juta bagi 198 tenaga pendamping profesional lebih rendah dari jumlah yang dibayarkan satker pengelola dana dekonsentrasi (Bapemas Provinsi Jawa Timur). Selain itu, terdapat pembayaran asuransi senilai Rp511,09 juta bagi 1.272 tenaga pendamping yang tidak disertai bukti pembayaran asuransi.

Menengok hasil audit BPK di atas, terbayang, betapa akan lebih banyak dana APBN yang nota bene harta negara itu terhamburkan, gara-gara salah kelola dan pengabaian terhadap peraturan. Mengingat dana desa adalah jantung sekaligus urat nadi pembangunan di level paling bawah, kiranya BPK perlu mengagendakan audit dana desa secara rutin, hingga benar-benar tidak lagi ditemukan adanya ketidakefisienan, ketidakefektifan, dan kasus lain yang merugikan keuangan negara. Jika itu terwujud, artinya BPK telah berperan besar dalam ikut menyejahterakan rakyat.
Disqus Comments