APAKAH pembantu rumah tangga (PRT) adalah sebuah profesi? Pertanyaan ini sekiranya patut dikemukakan, mengingat PRT di Indonesia maupun di luar negeri termasuk satu aktivitas pekerjaan yang membutuhkan balas jasa berupa gaji uang.
Data ILO sebuah organisasi buruh internasional tahun 2002 mencatat jumlah PRT di Indonesia kurang lebih 2,59 juta jiwa dan 1,4 juta PRT bekerja di Pulau Jawa. Selain itu, dalam rangka mempertegas apakah PRT adalah profesi atau tidak, dapat ditafsirkan melalui undang-undang yang mengatur tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, yakni UU Nomor 34 Tahun 2004. Namun begitu, PRT saat ini masih berstatus jenis kerja informal, sehingga muncul suatu gagasan RUU PRT yang bertujuan untuk memformalkan jenis kerja PRT dengan beberapa pertimbangan mendasar.
Pertama, keberadaan PRT di kota-kota besar khususnya justru telah meningkatkan produktivitas. Bahkan, terhitung sebagai pendapatan dunia yang cukup produktif. Maka, tak heran bila kemudian PRT (TKI/TKW) diberi gelar sebagai pahlawan devisa.
Kedua, maraknya kekerasan terhadap PRT oleh majikan atau jasa pengguna terutama terhadap PRT wanita beberapa tahun belakangan. Kekerasan terhadap PRT wanita dilatarbelakangi pemahaman sempit bahwa mereka dianggap sebagai budak, tepatnya budak di zaman modern.
Pemahaman konservatif terhadap PRT (budak) masih terpelihara di benak beberapa majikan, di mana mereka dianggap menjadi hak milik seutuhnya, sehingga bebas diperlakukan seenaknya tanpa memperhitungkan Hak Asasi Manusia (HAM). Bukankah PRT juga manusia?
Ketiga, hal yang menyangkut hak dan kewajiban PRT serta hak pengguna. Mengenai poin pertama dan kedua tampaknya telah menjadi pembahasan sejak puluhan tahun silam, yakni pada tahun 1970-an di lingkungan ILO.
Tetapi, yang menarik, terutama di Indonesia adalah berkenaan dengan penyusunan dan penetapan standar gaji dan fasilitas PRT yang pada saat ini masih terus diwacanakan, yakni RUU Amandemen UU Nomor 34 Tahun yang hanya memuat tentang penetapan dan perlindungan terhadap PRT (TKI).
Wacana ini dikatakan menarik, karena agaknya akan mengalami dilematisasi bila standar gaji dan fasilitas PRT ditetapkan. Di sinilah perlu kehati-hatian dalam penyusunan serta penetapan standar gaji dan fasilitas bagi PRT, karena menyangkut beberapa kewajiban PRT dan hak pengguna jasanya di dalam lingkungan rumah tangga sebuah keluarga. Selama ini, belum ada ketetapan pokok mengenai berapa jumlah gaji PRT, sehingga mereka menerima gaji alakadarnya dari majikan mulai Rp 100.000 hingga Rp 500.000 per bulan.
Bahkan, tak menutup kemungkinan jumlah gaji itu tak berbanding lurus dengan tenaga yang dikeluarkan dalam membantu mengelola rumah tangga, karena logika majikan terhadap pembantu tak lebih hanyalah pembantu dan terkadang tanpa mempertimbangkan aspek kemanusian.
Majikan Vs PRT
Pada prinsipnya, kota-kota besarlah yang lebih dominan menggunakan serta membutuhkan tenaga dan jasa PRT. Kesibukan pekerjaan tampaknya menjadi alasan utama menggunakan jasa mereka, karena tak memiliki banyak waktu untuk mengurus pekerjaan rumah tangga. Khawatir keadaan di rumah tangga tak terurus, pemilik memilih jalan alternatif merekrut PRT. Ini salah satu wajah kehidupan masyarakat di kota-kota besar.
Kini, pengguna jasa PRT dibenturkan pada rancangan undang-undang tentang penyusunan dan penetapan standar gaji dan fasilitas PRT. Layaknya upah minimum pekerja (UMR), gaji PRT akan ditetapkan dan pekerjaan ini akan diformalkan sebagai suatu profesi.
RUU ini sekaligus akan menjadi RUU pertama yang memformalkan jenis pekerjaan yang sebelumnya informal menjadi formal dengan ketentuan-ketentuan tertentu sesuai dengan ketetapan undang-undang setelah disahkan.
Dilematis.
Sekiranya kata itu cukup mewakili pada saat mendengar wacana tentang RUU penyusunan dan penetapan standar dan gaji PRT. Di satu sisi kita menginginkan PRT berpenghasilan layak dan dimanusiakan, tapi di sisi lain kita mesti menghadapi keluh-kesah hingga sikap protes oleh sebagian pengguna jasa PRT nantinya. Karena bila ternyata ketetapan gaji PRT tersebut dengan tarif tinggi, maka dipastikan akan membebani para majikan.
Pemerintah perlu kiranya melakukan identifikasi serta advokasi terlebih dahulu di lapangan sebelum RUU ini benar-benar akan disahkan. Bukan atas pertimbangan logika dan rasionalitas belaka, tetapi sebuah keniscayaan mengetahui fakta riil di lapangan untuk dijadikan bahan-bahan yang kongkret, sehingga standar gaji tak merugikan salah satu pihak atau kedua-duanya. Selanjutnya, langkah alternatif lainnya yang perlu menperoleh porsi perhatian ialah hak pengguna dan kewajiban PRT.
Kita tentu tak ingin bila kemudian RUU tersebut setelah disahkan berubah menjadi alat pengekang bagi para pengguna untuk merekrut PRT. Akibat lebih lanjut berujung pada tertutupnya pintu pekerjaan PRT, karena standar yang ditetapkan undang-undang membebani para pengguna atau majikan rumah tangga.
Kekerasan terhadap PRT yang marak terjadi mendesak adanya regulasi untuk melindungi hak asasi mereka agar majikan tidak semena-mena. Namun, menurut hemat penulis, justru hal terpenting adalah undang-undang tersebut hanya memuat tentang perlindungan PRT dari tindakan kekerasan, baik secara fisik maupun psikologis.
Adapun hal yang menyangkut standar gaji dan fasilitas, lebih bijaksana bila diserahkan sepenuhnya kepada majikan dan PRT melalui forum diskusi untuk membuat kesepakatan-kesepakatan antarkeduanya sebelum PRT menyatakan kesanggupannya menjadi pembantu di rumah tangga tersebut, dan cara ini lebih akomodatif.