Pengetahuan telah menjadi sejenis modal yang dikelola dan didistribusikan oleh institusi pendidikan kepada anak didik sebagaimana institusi ekonomi mengelola modal finansial”(Michael W. Apple).
Percayakah Anda bahwa pendidikan, saat ini, telah diperjual-belikan layaknya komoditas dagang? Isu mengenai komersialisasi pendidikan semakin mencuat pasca disahkannya RUU BHP menjadi UU BHP oleh DPR RI pada tanggal 17 Desember 2008 silam, meski masih menuai kontroversi dan debatebel. Hal ini semakin ditegaskan jika kita mengacu pada Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 111 tahun 2008 (Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 tahun 2007) tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Daftar Bidang Usaha Terbuka dengan persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tingkat tinggi, serta pendidikan nonformal dapat dimasuki oleh modal asing denga batas kepemilikan modal asing sebesar 49 persen.
Kembali kepada UU BHP. Dalam pasal 3 menyebutkan bahwa tujuan BHP adalah memajukan satuan pendidikan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi. Ekonomi neoliberalisme dengan jargon pasar bebas menolak campur tangan pemerintah dalam transaksi ekonomi. Transaksi ekonomi pasar bebas akan mengoreksi diri sendiri (invisible hand) dan mereka menganggap jika pemerintah campur tangan dalam bentuk regulasi, maka akan merusak tatanan ekonomi dan dalam rangka itulah mengapa neoliberalisme terus mengusulkan deregulasi. Kaum neoliberalisme memiliki mitos trickle down effect yang berarti bahwa kekayaan yang dipupuk oleh para kapitalis-borjuis akan menetes ke bawah untuk mensejahterakan semua lewat upah buruh, filantropi dan sebagainya. Neoliberalisme terus berupaya mengukuhkan eksistensi imperium kaum kapitalis-borjuis agar kekayaan secara materi tetap berada di tangan mereka ; Serakah. !
Bagi kaum neolib, dunia pendidikan merupakan ranah strategis ranah pendidikan merupakan bagian atau bidang yang strategis dalam membentuk tatanan transformasi intelektual dan sosial. Ada beberapa praktek neoliberalisme pendidikan, pertama, berupaya untuk melepas peran serta tanggung jawab pemerintah dalam hal mendanai pendidikan. Padahal, praktek ini jelas bertolak-belakang dengan amandemen UUD 1945, bahwa warga negara berhak mendapatkan pendidikan, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah berkewajiban untuk membiayainya. Kedua, menyamakan ranah pendidikan dengan dunia industri. Dalam hal ini, lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah, universitas dan lain-lain, dijadikan pabrik sedang produk yang dijual ialah ilmu pengetahuan. Maka tak heran, tiap tahun kita mengalami kenaikan biaya pendidikan, karena siapa yang mampu membeli dengan dana besar, maka otomatis dia berhak mendapatkan akses pendidikan berkualitas. Salah satu contoh, ialah hadirnya sekolah bertaraf internasional atau sekolah-sekolah favorit. Ketiga, proses pendidikan sekadar dijadikan subsistem dari tatanan ekonomi neoliberal. Dalam pandangan kita, proses pendidikan saat ini tidak sama sekali menekankan pada kualitas pengetahuan bagi para peserta didik. Tetapi, justru menawarkan nalar modernisme-neoliberal, di mana para peserta didik diarahkan pandangan hidupnya pada pencapaian kaum neolib. Begitu pula, dalam sisi pembangunan budaya diarahkan pada gaya hidup kapitalis-borjuistik, tak heran, gaya hidup hedonis-pragmatis menjadi pemandangan lumrah di sekitar lembaga pendidikan kita. Padahal, pendidikan ditujukan untuk membangun peradaban serta pencerahan, namun faktanya berbeda, justru peradaban kaum kapitalis-borjuis itulah yang diadopsi serta ditiru. Celakanya, terutama dalam dunia kampus atau universitas yang diakui sebagai centre of excellent.
Melihat paparan di atas, maka benarlah bahwa pendidikan merupakan komoditas dari praktek komersialisasi. Inilah bentuk neoliberalisme yang diciptakan di dalam dunia pendidikan bahkan dijadikan basis, sebagaimana ia dijadikan sebagai basis pasar bebas. Selain itu juga, pendidikan hanya berfungsi sebagai mesin reproduksi sistem sosial, sebagaimana yang disinyalir oleh Samuel Bowles, Herbert Gintis dan Pierre Bourdieu, bahwa pendidikan tidak dijadikan sebagai media bagi orang-orang miskin dan tidak pandai, untuk bisa mentransendensi posisi kelas sosial mereka ketika dewasa. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah barang yang diperdagangkan.
Sesungguhnya, penjajahan asing, khusus, di bumi pertiwi ini melalui tiga tahap atau bentuk. Pertama, Kolonialisme, yakni proses dominasi manusia atas manusia yang lain melalui bentuk penjajahan secara langsung dan terjadi selama ratusan tahun. Kedua, neoliberalisme, dominasi melalui penjajahan berbentuk teori dan metodologi. Meskipun mereka tidak lagi mencengkeram negara-negara eks koloninya secara fisik, namun secara substansial mereka masih mengontrol negara-negara tersebut dengan menciptakan teori dan perubahan-peribahan sosial sesuai dengan ideologi mereka. Celakanya, seakan tak sadar, dalam kondisi ini, sebenarnya negara kita masih terdominasi oleh kepentingan-kepentingan kaum penjajah yang telah berubah wajah. Dan ketiga, penjajahan berbentuk liberalisasi. Segala bidang, tak terkecuali pendidikan, diliberalisasi oleh kaum neolib sesuai dengan prinsip utama mereka, yakni pasar bebas. Ideologi pasar bebas selalu mengupayakan deregulasi atau menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar sesuai kepentingan kaum neolib dan menolak campur tangan pemerintah dalam bentuk regulasi.
Kemakmuran individu (individual wealth) lebih diutamakan ketimbang kemakmuran bersama (common wealth). Upaya komersial dalam dunia pendidikan (perguruan tinggi) ditandai dengan digagasnya Satuan Usaha Komersial (SUK) di setiap kampus atas nama otonomi perguruan tinggi sesuai dengan amanat UU BHP pasal tiga (3). Secara implisit, hal ini menunjukkan betapa pemerintah berupaya untuk melepaskan tanggung jawabnya dalam proses pendidikan di negeri ini. satuan Usaha Komersial tersebut meliputi seluruh prasarana kampus ; teatrikal, gedung mutlipurpose, perpustakaan, poliklinik, hotel dan lain-lain, di mana mahasiswa harus membayar ketika mereka akan menggelar sebuah kegiatan akademik, seperti seminar, loka karya, stadium general, training-training, bedah buku dan sebagainya. Tak ayal, lembaga-lembaga pendidikan, seperti perguruan tinggi, saat ini layaknya korporasi atau mesin produksi.