Wednesday, 24 October 2012

Menimbang Integrasi UN-SNMPTN

Bukan rahasia umum jika setiap kebijakan pemerintah selalu menuai respons bermacam-macam dari masyarakat. Tanggapan tersebut terdiri dari pihak yang pro dan kontra sekaligus menandakan bahwa masyarakat pun ingin berpartisipasi dalam menentukan arah bangsa ini. Bahkan hampir seluruh kebijakan pemerintah dalam segala bidang mendapat sorotan kritis dari masyarakat, seakan menunjukkan betapa rakyat negeri ini sudah cukup cerdas dalam menilai dan menanggapi kebijakan-kebijakan pemerintah. Tak terkecuali kebijakan-kebijakan dalam bidang pendidikan. 

Baru-baru ini Mendiknas Muhammad Nuh mewacanakan penyatuan atau penggabungan ujian nasional (UN) dengan seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Seperti biasa, pro dan kontra pun menggema dari berbagai kalangan. 

Pihak yang pro menyatakan bahwa dengan sistem ini maka siswa tidak perlu mempersiapkan lagi untuk ujian masuk ke perguruan tinggi negeri. Sebaliknya, pihak yang kontra menyebutkan bahwa wacana yang digulirkan Mendiknas tersebut tidak relevan dengan masalah UN.

Senada dengan pihak yang pro, wacana ini muncul dengan alasan kalau sudah terintegrasi otomatis hasil UN bisa untuk masuk perguruan tinggi. 

Karena selama ini proses masuk ke perguruan tinggi para calon mahasiswa harus melewati tes lagi yaitu SNMPTN. Mendiknas mengatakan bahwa hakikat penggabungan ini adalah integrasi sistem pendidikan di Indonesia. 

Namun demikian, pro dan kontra ini setidaknya memberikan satu masukan agar wacana ini tidak tambal sulam dan hanya ajang coba-coba sehingga Mendiknas bisa mempersiapkan konsep yang jelas dan utuh.  Penyatuan atau penggabungan UN dengan SNMPTN memerlukan waktu relatif lama. Karena secara substansial, UN konteksnya berbeda dari SNMPTN. 

Ujian nasional merupakan sebuah proses yang harus dilewati siswa di penghujung sekolah lanjutan tingkat atas atau SLTA, (SD dan SLTP), sementara SNMPTN adalah jalur tes yang harus dilalui calon mahasiswa ketika akan masuk atau meneruskan studi ke perguruan tinggi. 

Maka tak heran oleh beberapa kalangan menyatakan kebijakan penggabungan ini tidak relevan, bahkan ditakutkan nantinya malah justru akan menghapus UN yang selama ini telah menjadi agenda tahunan di setiap jenjang pendidikan SD, SLTP dan SLTA. 

Kesulitan penggabungan ini akan ditemui manakala kita menyaksikan atau mengevaluasi proses ujian nasional yang masih amburadul selama ini. 

Selain itu, proses memperbaiki kualitas UN membutuhkan tenggat waktu yang tidak singkat, terlebih standar nilai nasional masih dianggap terlalu tinggi di berbagai daerah, terutama kawasan yang akses atau prasarana pendidikan masih terbatas, tidak seperti di kota-kota besar. 

Bayangkan saja, pada tahun depan (2010) minimal nilai rata-rata UN 5,5 untuk semua mata pelajaran yang diujikan sesuai dengan Permendiknas No. 75/2009. 

Nilai yang cukup tinggi tentunya. Tak sedikit siswa yang harus menelan pil pahit tidak lulus ujian nasional hanya karena standar nilai terlalu tinggi dan terkesan dipaksakan.  Maka menjadi wajar jika banyak kalangan menganggap tergetan penggabungan UN dengan SNMPTN pada tahun 2011 terlalu singkat. Kebijakan mengenai standar yang relatif tinggi sebagai syarat kelulusan siswa itulah melahirkan kecurangan-kecurangan pada setiap ujian nasional dilaksanakan, karena ancamannya jelas, tidak lulus. 

Namun begitu, sikap optimistik ini perlu dikaji ulang karena berkaitan dengan konsistensi serta komitmen para stakeholder.
  
Otokritik

Setiap pergantian, menteri pendidikan terkesan selalu mengeluarkan wacana atau kebijakan baru di dalam dunia pendidikan nasional. Ini merupakan potret ketidakonsistenan pemerintah dalam hal kebijakan-kebijakannya. 

Ketika Menteri Pendididikan Nasional di bawah nakhoda Bambang Sudibyo mengeluarkan kebijakan UU BHP yang bisa dikatakan masih menyisakan kontroversial atau debatebel. UU BHP sudah dianggap final, sementara penentangan-penentangan masih menggema dari berbagai kalangan. 

Mestinya, kontroversi ini sebaiknya dituntaskan terlebih dahulu sebelum kemudian melahirkan kebijakan baru sehingga tidak terkesan tumpang tindih. 

Selain itu, jika kita mengacu pada pendapat Heni Tri Astuti, siswi kelas XII IPA 3 SMAN 5 Surakarta, lewat Suara Merdeka, 10/11/09, dia menyatakan bahwa UN-SNMPTN digabungkan justru lebih enak karena tidak perlu repot mikir ujian lagi. 

Jadi, selesai UN sudah plong dan nilai ujian juga bisa terpakai. Kita juga tahu, dengan NEM yang ada bisa tahu kira-kira bisa diterima di universitas mana. 

Kutipan ini memberikan kesimpulan subjektif bahwa telah terjadi cara atau alur berpikir pragmatis dan mendambakan hal-hal yang serba praktis. Padahal, untuk mendapatkan ilmu pengetahuan salah satu syaratnya ialah bersabar dalam mengikuti proses yang panjang. 

Artinya, bahwa untuk memperoleh ilmu pengetahuan harus melalui tahapan-tahapan atau proses yang sudah digariskan secara ideal sebelumnya. Bukan bermaksud mereduksi, namun tahapan-tahapan tersebut merupakan proses penempaan mental serta pematangan individu (siswa). 

Pendidikan adalah sebuah proses panjang. Sedang esensinya ialah untuk menuju proses penyadaran kritis dan memanusiakan manusia menurut Paulo Freire. 

Arus modernisasi ternyata telah mengikis habis esensi serta tujuan ideal pendidikan, malah menawarkan cara berpikir pragmatis dengan mendambakan nilai secara angka bukan isinya. 

Manusiawi

Pendidikan kita hari ini belum mampu menyentuh sisi-sisi kognitif, afektif serta psikomotorik siswa, dikhawatirkan upaya penggabungan UN dengan SNMPTN ini justru akan mengabaikan faktor manusiawi atau meminjam istilah Arwani Thomafi kanibalisme pendidikan.

Sebagai amanat UUD 1945 pendidikan harus mampu mensinergiskan ketiga aspek di atas, dan hal itulah menurut hemat penulis lebih substansial bukan terus mengeluarkan kebijakan baru karena akan semakin memperkeruh sistem pendidikan di negeri ini. 

Di sisi lain, masyarakat juga masih relatif kebingungan menanggapi wacana pendidikan gratis yang disuguhkan mendiknas sebelumnya.  Pengkajian ulang tentang wacana pendidikan gratis ini harus fokus agar tidak terjadi kesimpangsiuran dan ini lebih urgen untuk dibahas secara kolektif melibatkan berbagai pihak yang konsen dalam bidang pendidikan. Ini adalah pekerjaan rumah mendiknas. 

Penggabungan UN dengan SNMPTN harus melalui banyak pertimbangan dan aspek. Jangan sampai, kebijakan ini malah justru tidak sinkron antara keduanya mengingat secara substansial, UN dan SNMPTN jelas berbeda konteksnya. 

Kalau pun wacana ini banyak membubuhkan aspek positif dalam proses belajar siswa serta mendesak dilaksanakan, maka mulai saat inilah waktunya untuk mengkaji ulang agar persiapannya nanti matang, efektif dan komprehensif.
Disqus Comments