Pengakuan yang Terlambat
Aku menghubungi Hatima, mengajaknya bertemu. Dia
mengiyakan ajakanku, dan segera dia menghampirku di kost.
Hatima. Cantik sekali dia hari ini. Dengan mengenakan
pakaian yang serba merah. Datang memberikan salam disertai dengan senyuman yang
mengembang manis. Aku tak mau menutup-nutupi bahwa dirinya memang teramat
cantik.
“Ayo”, ajak Hatima.
Aku segera beranjak dari kamar dengan pakaian yang rapi.
Mencoba tuk memperlihatkan sekaligus menciptakan aura positif hari ini bersama
Hatima.
“Baiklah”, kataku siap.
Kami bepergian ke suatu tempat yang memang telah Aku
rencanakan. Pantai Depok. Sebuah tempat favoritku di Jogja.
Sesampainya kami di sana, gemuruh gelombang berserta
desiran angin menyambut kedatangan kami. Siang ini memang tak terasa terlalu
panas, padahal jam menunjukkan pukul satu.
Kami lalu memilih sebuah warung dan memesan makan siang.
Hatima memang selalu tampak bahagia jika Aku mengajaknya ke tempat ini. Hari
ini dia tampak sumringah.
Setelah menikmati makan siang, kami lalu ngobrol-ngobrol
santai. Tidak ada yang Aku pikirkan hari ini kecuali Hatima dan Hatima. Ya,
Hatima.
Saat hari sudah mulai beranjak sore, kami beranjak dari
warung menuju ke musholla. Sembahyang ashar. Dalam hati Aku berdoa, semoga
Hatima mau menerima cintaku yang nanti akan Aku utarakan kepadanya di pantai
saat senja telah tampak.
“Amin.!!”. kata Hatima tiba-tiba di belakangku.
Aku kaget. Terperanjat hebat. Dia seperti tahu dengan apa
yang sedang Aku tadahkan dalam doa selepas sembahyang ashar itu. Aah, paling
Cuma kebetulan saja dia bilang begitu, pikirku.
Selepas sembahyang ashar, kami berjalan pelan menuju
pantai.
Di pantai orang-orang terlihat ramai. Para nelayan sibuk mengulurkan
perahunya ke laut karena setiap sore adalah waktunya nelayan-nelayan melaut.
Aku dan Hatima duduk di bibir pantai. Di atas pasir tanpa
alas. Menanti senja. Waktu yang Aku nanti-nantikan tuk mengucapkan perasaan di
hati. Semakin sore, pantai semakin sepi. Orang-orang yang berlibur ke pantai
ini satu persatu sudah pulang. Para nelayan pun sudah terlihat berlayar di
sebalik gelombang dan mengharungi ombak dengan gagah perkasa.
Aku dan Hatima masih duduk berdua di sini. Belum ada niat
untuk pulang.
“Apa yang sedang kau pikirkan Ritt?”, tanya Hatima.
Sambil menatap ke arah laut yang bergelombang, Aku menjawab;
“Tidak sedang memikirkan sesuatu apapun Tim”.
Dia mengangguk. Sesekali Aku menoleh kepadanya, dia
tersipu malu.
Sambil tertawa, Hatima kemudian mencubitku sembari
berkata; “Kamu itu kenapa curi-curi pandang begitu?”, tanyanya manja.
Aku memilih terdiam.
Hatima terlihat kesal karena Aku terdiam dan mengabaikan
pertanyannya. Dengan wajah yang sedikit cemberut dia melanjuti; “Sebel aah sama
kamu. Ditanya malah diam aja. Kalau gitu lebih baik kita pulang saja, lagian
udah mulai petang ini”, ujar Hatima merajuk.
Aku masih diam saja. Sengaja membuatnya merajuk, sampai
pada akhirnya dia tampak marah. Hatima pun diam pertanda marah sambil memendam
rasa sebel.
Hal itu terlihat dari sikapnya serta ulahnya yang
meraup-raup pasir lalu melemparnya ke bibir laut. Melihat sikapnya Aku malah
justru tersenyum. Seketika itu pula aku mencium pipinya.
Hatima kaget. Lalu menatap
ke wajahku penuh keheranan serta gumpalan-gumpalan pertanyaan. Wajahnya
terlihat memerah. Aku sendiri sempat khawatir Hatima tambah marah.
Sambil menatap ke
wajahku, dia bertanya; “Ini apa maksudnya?”, tanyanya.
Aku lalu meraih tangan
Hatima mengajaknya berdiri. Kami bertatapan, lalu Aku mengatakan; “Aku
mencintaimu Tim”.
Hatima lau berpaling
menatap ke arah laut dan gelombang.
“Kamu tahu, sejak tadi
Aku sengaja menanti senja menampakn wajahnya. Dan di saat itu Aku ingin
mengucapkan perasaanku kepadamu”.
Hatima terdiam.
“Sejak kapan?”,
tanyanya.
“Sejak kapan apanya?”,
Aku menimpali.
“Sejak kapan kamu punya
perasaan cinta sama aku”, Hatima meminta pengakuan.
Sambil memegang
tangannya Aku berkata; “Sebenarnya sudah sejak lama Tim, namun Aku berusaha
menghindarinya. Dan takut kamu menolak”.
“Bodoh.!”, jawabnya
singkat. “Bukankah kamu selama ini tak tahu Ritt, bahwa aku sudah sejak lama
menanti-nanti kau mengungkapkan pernyataan seperti ini, tapi kau tak kunjung
menyatakannya”.
“Lalu?”, tanyaku
menimpali.
Hatima terdiam. Dia
menghela nafas panjang. Hanya gemuruh gelombang laut yang terdengar. Aku
melihat keragu-raguan pada diri Hatima menyikapi pernyataan cintaku tadi.
Aku sendiri bingung dan
tak mampu menebak apa yang sedang Hatima pikirkan serta pertimbangkan. Yang
jelas, pada diri Hatima tampak kebimbangan. Aku tak tahu kebimbangan apa yang
sedang bergejolak dalam diri Hatima. Hanya dia dan Tuhannya lah yang tahu, Aku
sendiri tidak menuntut pengakuan. Hanya saja Aku membutuhkan jawaban dari perasaan
yang baru saja Aku ungkapkan kepadanya.
Hatima masih memandang
ke laut.
“Kamu terlambat Ritt.!”,
ujarnya ragu.
Aku kaget dan malah
ingin tahu apa yang telah terjadi padanya sehingga dengan secara tidak langsung
dia menolak cintaku.
“Terlambat gimana? Apa
kamu sudah punya pacar Tim?”, tanyaku ingin tahu.
“Kemarin Aku baru saja
menerima cintanya seseorang yang juga merupakan temanku di kampus”, jawabnya,
“Dia memang sudah sejak
lama menunggu jawabanku, tapi aku tak kunjung menjawabnya karena aku menanti
kamu”, aku Hatima tulus.
“Entah mengapa, setelah
aku pikir panjang kemarin aku menerima cintanya karena aku pikir kamu tak
mencintaiku. Dan hari ini kamu justru mengucapkannya”.
Aku terdiam dan tak
berusaha tuk menjelaskan kondisi yang menyebabkanku menunda-nuda mengutarakan
perasaan cintaku pada Hatima. Karena Aku yakin penjelasanku pun akan terasa
percuma saja, dan tak akan merubah apapun.
“Ya, mungkin itu
kesalahanku Tim”, akuku.
Kami terdiam sebelum
akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Selama dalam perjalanan tak ada
kata-kata atau kalimat yang kami ucapkan. Kami berdua terdiam, seperti
sama-sama tak menyangka jika kejadiannya malah jadi seperti ini.
Sesampainya di kost,
Hatima langsung pamit pulang dan mengucapkan kata maaf kepadaku karena tak bisa
menerima cintanya. Bukan karena dia tidak mau, tetapi dia sudah terlanjur
menerima cintanya orang lain.
Sambil tersenyum Aku
berkata; “Ya sudahlah Tim. Mungkin dia lebih beruntung ketimbang Aku”, ucapku.
Hatima pun segera
berlalu.
Aku sendiri di kamar
segera merebahkan tubuhku di kasur. Berpikir keras, dan tak menyangka jika
akhirnya harapanku kepada Hatima malah berujung kegagalan. Aku menyesal karena
telah menyia-nyiakan Hatima, dan lebih menyibukkan diriku pada Mazra yang jelas-jelas
sudah jadi milik orang lain. Dan ini akibatnya, orang yang Aku cintai, Hatima,
akhirnya juga telah jatuh tangan orang lain pula.
Sudah terjatuh,
tertimba tangga pula. Itu lah mungkin kalimat pepatah yang dapat menjelaskan
kondisiku saat ini. Namun, Aku mencoba untuk tidak patah arang, menanti Hatima
putus dengan pacarnya yang baru kemarin hari resmi berpacaran.
Sikap nekadku ini
tumbuh sejak Aku mulai merasakan betapa sebenarnya Aku memang telah mencintai
Hatima dengan tulus.
Bulan demi bulan Aku
masih setia menanti. Dan tidak terasa sudah enam bulan bergelut dalam
penantianku. Namun tak kunjung ada jawaban, Hatima bahkan mengakui bahwa
hubungannya dengan Hanif semakin menjurus ke arah keseriusan.
Aku semakin pesimis. Asaku
kian menipis. Merenggut kebahagiaan orang lain, sekalipun orang yang kita
cintai bukanlah perkara yang baik. Pikiran ini mulai tertanamkan dalam
pikiranku sejak Aku kehilangan Mazra, dan kini Hatima.
Satu bulan kemudian,
tepatnya sehari sebelum puasa ramadhan bergulir, tersiar kabar bahwa Hatima telah
bertukar-cicin dengan Hanif. Mereka berdua resmi bertunangan, dan jika tak ada
aral, bulan desember akan dilangsungkan pernikahan.
Sikap pesimisku semakin
menjad-jadi. Padahal, sejatinya Aku masih menyimpan asa terhadap Hatima karena
dia sering menghubungiku dan meminta bantuan kepadaku. Awalnya Aku menganggap
bahwa ini adalah bentuk rasa cinta yang masih bersemayam di hati Hatima
terhadapku, sehingga Aku seakan serasa diberi harapan olehnya. Namun, menurut
pengakuannya, bahwa kedekatannya terhadapku itu hanyalah sebuah upaya Hatima
untuk membesar-besarkan hatiku semata supaya Aku tak terlalu kecewa.
Mendengar itu Aku
tertunduk lesu. Pasrah. Dan tak tahu harus berbuat apa. Ya Aku pasrah pada
takdirku sendiri, terutama soal cinta. Aku menyadari bahwa Aku bukanlah sosok
lelaki yang pantas mendampingi Hatima. Orangtuanya termasuk dalam kategori
orang yang berada, jadi wajar kiranya jika dia mendapatkan orang yang juga
berada. Itu soal status sosial. Yang terkadang memang harus setara agar terciptanya
sebuah keseimbangan.
Dengan kesadaran itu Aku
memutuskan untuk meninggalkan Hatima sekaligus melupakannya. Namun, caraku
melupakan Hatima kali ini lain, bukan seperti yang pernah ia katakan tempo hari
bahwa patah hati obatnya adalah jatuh cinta lagi.
Aku seperti sudah
trauma jika harus jatuh cinta lagi. Jiwaku sudah letih jika harus berhadapan
dengan dua tragedi asmara yang telah menimpaku itu. Jujur, Aku takut jika harus
terulangi kembali. Dan ini sudah cukup bagiku. Ya, ini untuk yang terakhir
kalinya.
Mazra dan Hatima telah
menjadi dua sosok wanita yang sangat Aku cintai. Namun, cintaku kepada kedua
wanita berbeda kultur itu sama-sama berakhir dengan tragis. Aku tak mendapatkan
dua-duanya. Sekali lagi, jodoh mereka berada di tangan orang lain. Aku tidak
bisa berbuat apa-apa.