Wednesday, 17 July 2013

Bagian IV


  Pengakuan yang Terlambat
                       
            Keesokan harinya. Masih di bulan Juli.
            Aku menghubungi Hatima, mengajaknya bertemu. Dia mengiyakan ajakanku, dan segera dia menghampirku di kost.
            Hatima. Cantik sekali dia hari ini. Dengan mengenakan pakaian yang serba merah. Datang memberikan salam disertai dengan senyuman yang mengembang manis. Aku tak mau menutup-nutupi bahwa dirinya memang teramat cantik.
            “Ayo”, ajak Hatima.
            Aku segera beranjak dari kamar dengan pakaian yang rapi. Mencoba tuk memperlihatkan sekaligus menciptakan aura positif hari ini bersama Hatima.
            “Baiklah”, kataku siap.
            Kami bepergian ke suatu tempat yang memang telah Aku rencanakan. Pantai Depok. Sebuah tempat favoritku di Jogja.
            Sesampainya kami di sana, gemuruh gelombang berserta desiran angin menyambut kedatangan kami. Siang ini memang tak terasa terlalu panas, padahal jam menunjukkan pukul satu.
            Kami lalu memilih sebuah warung dan memesan makan siang. Hatima memang selalu tampak bahagia jika Aku mengajaknya ke tempat ini. Hari ini dia tampak sumringah.
            Setelah menikmati makan siang, kami lalu ngobrol-ngobrol santai. Tidak ada yang Aku pikirkan hari ini kecuali Hatima dan Hatima. Ya, Hatima.
            Saat hari sudah mulai beranjak sore, kami beranjak dari warung menuju ke musholla. Sembahyang ashar. Dalam hati Aku berdoa, semoga Hatima mau menerima cintaku yang nanti akan Aku utarakan kepadanya di pantai saat senja telah tampak.
            “Amin.!!”. kata Hatima tiba-tiba di belakangku.
            Aku kaget. Terperanjat hebat. Dia seperti tahu dengan apa yang sedang Aku tadahkan dalam doa selepas sembahyang ashar itu. Aah, paling Cuma kebetulan saja dia bilang begitu, pikirku.
            Selepas sembahyang ashar, kami berjalan pelan menuju pantai.
            Di pantai orang-orang terlihat ramai. Para nelayan sibuk mengulurkan perahunya ke laut karena setiap sore adalah waktunya nelayan-nelayan melaut.
            Aku dan Hatima duduk di bibir pantai. Di atas pasir tanpa alas. Menanti senja. Waktu yang Aku nanti-nantikan tuk mengucapkan perasaan di hati. Semakin sore, pantai semakin sepi. Orang-orang yang berlibur ke pantai ini satu persatu sudah pulang. Para nelayan pun sudah terlihat berlayar di sebalik gelombang dan mengharungi ombak dengan gagah perkasa.
            Aku dan Hatima masih duduk berdua di sini. Belum ada niat untuk pulang.
            “Apa yang sedang kau pikirkan Ritt?”, tanya Hatima.
            Sambil menatap ke arah laut yang bergelombang, Aku menjawab; “Tidak sedang memikirkan sesuatu apapun Tim”.
            Dia mengangguk. Sesekali Aku menoleh kepadanya, dia tersipu malu.
            Sambil tertawa, Hatima kemudian mencubitku sembari berkata; “Kamu itu kenapa curi-curi pandang begitu?”, tanyanya manja.
            Aku memilih terdiam.
            Hatima terlihat kesal karena Aku terdiam dan mengabaikan pertanyannya. Dengan wajah yang sedikit cemberut dia melanjuti; “Sebel aah sama kamu. Ditanya malah diam aja. Kalau gitu lebih baik kita pulang saja, lagian udah mulai petang ini”, ujar Hatima merajuk.
            Aku masih diam saja. Sengaja membuatnya merajuk, sampai pada akhirnya dia tampak marah. Hatima pun diam pertanda marah sambil memendam rasa sebel.
            Hal itu terlihat dari sikapnya serta ulahnya yang meraup-raup pasir lalu melemparnya ke bibir laut. Melihat sikapnya Aku malah justru tersenyum. Seketika itu pula aku mencium pipinya.
Hatima kaget. Lalu menatap ke wajahku penuh keheranan serta gumpalan-gumpalan pertanyaan. Wajahnya terlihat memerah. Aku sendiri sempat khawatir Hatima tambah marah.
Sambil menatap ke wajahku, dia bertanya; “Ini apa maksudnya?”, tanyanya.
Aku lalu meraih tangan Hatima mengajaknya berdiri. Kami bertatapan, lalu Aku mengatakan; “Aku mencintaimu Tim”.
Hatima lau berpaling menatap ke arah laut dan gelombang.
“Kamu tahu, sejak tadi Aku sengaja menanti senja menampakn wajahnya. Dan di saat itu Aku ingin mengucapkan perasaanku kepadamu”.
Hatima terdiam.
“Sejak kapan?”, tanyanya.
“Sejak kapan apanya?”, Aku menimpali.
“Sejak kapan kamu punya perasaan cinta sama aku”, Hatima meminta pengakuan.
Sambil memegang tangannya Aku berkata; “Sebenarnya sudah sejak lama Tim, namun Aku berusaha menghindarinya. Dan takut kamu menolak”.
“Bodoh.!”, jawabnya singkat. “Bukankah kamu selama ini tak tahu Ritt, bahwa aku sudah sejak lama menanti-nanti kau mengungkapkan pernyataan seperti ini, tapi kau tak kunjung menyatakannya”.
“Lalu?”, tanyaku menimpali.
Hatima terdiam. Dia menghela nafas panjang. Hanya gemuruh gelombang laut yang terdengar. Aku melihat keragu-raguan pada diri Hatima menyikapi pernyataan cintaku tadi.
Aku sendiri bingung dan tak mampu menebak apa yang sedang Hatima pikirkan serta pertimbangkan. Yang jelas, pada diri Hatima tampak kebimbangan. Aku tak tahu kebimbangan apa yang sedang bergejolak dalam diri Hatima. Hanya dia dan Tuhannya lah yang tahu, Aku sendiri tidak menuntut pengakuan. Hanya saja Aku membutuhkan jawaban dari perasaan yang baru saja Aku ungkapkan kepadanya.
Hatima masih memandang ke laut.
“Kamu terlambat Ritt.!”, ujarnya ragu.
Aku kaget dan malah ingin tahu apa yang telah terjadi padanya sehingga dengan secara tidak langsung dia menolak cintaku.
“Terlambat gimana? Apa kamu sudah punya pacar Tim?”, tanyaku ingin tahu.
“Kemarin Aku baru saja menerima cintanya seseorang yang juga merupakan temanku di kampus”, jawabnya,
“Dia memang sudah sejak lama menunggu jawabanku, tapi aku tak kunjung menjawabnya karena aku menanti kamu”, aku Hatima tulus.
“Entah mengapa, setelah aku pikir panjang kemarin aku menerima cintanya karena aku pikir kamu tak mencintaiku. Dan hari ini kamu justru mengucapkannya”.
Aku terdiam dan tak berusaha tuk menjelaskan kondisi yang menyebabkanku menunda-nuda mengutarakan perasaan cintaku pada Hatima. Karena Aku yakin penjelasanku pun akan terasa percuma saja, dan tak akan merubah apapun.
“Ya, mungkin itu kesalahanku Tim”, akuku.
Kami terdiam sebelum akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Selama dalam perjalanan tak ada kata-kata atau kalimat yang kami ucapkan. Kami berdua terdiam, seperti sama-sama tak menyangka jika kejadiannya malah jadi seperti ini.
Sesampainya di kost, Hatima langsung pamit pulang dan mengucapkan kata maaf kepadaku karena tak bisa menerima cintanya. Bukan karena dia tidak mau, tetapi dia sudah terlanjur menerima cintanya orang lain.
Sambil tersenyum Aku berkata; “Ya sudahlah Tim. Mungkin dia lebih beruntung ketimbang Aku”, ucapku.
Hatima pun segera berlalu.
Aku sendiri di kamar segera merebahkan tubuhku di kasur. Berpikir keras, dan tak menyangka jika akhirnya harapanku kepada Hatima malah berujung kegagalan. Aku menyesal karena telah menyia-nyiakan Hatima, dan lebih menyibukkan diriku pada Mazra yang jelas-jelas sudah jadi milik orang lain. Dan ini akibatnya, orang yang Aku cintai, Hatima, akhirnya juga telah jatuh tangan orang lain pula.
Sudah terjatuh, tertimba tangga pula. Itu lah mungkin kalimat pepatah yang dapat menjelaskan kondisiku saat ini. Namun, Aku mencoba untuk tidak patah arang, menanti Hatima putus dengan pacarnya yang baru kemarin hari resmi berpacaran.
Sikap nekadku ini tumbuh sejak Aku mulai merasakan betapa sebenarnya Aku memang telah mencintai Hatima dengan tulus.
Bulan demi bulan Aku masih setia menanti. Dan tidak terasa sudah enam bulan bergelut dalam penantianku. Namun tak kunjung ada jawaban, Hatima bahkan mengakui bahwa hubungannya dengan Hanif semakin menjurus ke arah keseriusan.
Aku semakin pesimis. Asaku kian menipis. Merenggut kebahagiaan orang lain, sekalipun orang yang kita cintai bukanlah perkara yang baik. Pikiran ini mulai tertanamkan dalam pikiranku sejak Aku kehilangan Mazra, dan kini Hatima.
Satu bulan kemudian, tepatnya sehari sebelum puasa ramadhan bergulir, tersiar kabar bahwa Hatima telah bertukar-cicin dengan Hanif. Mereka berdua resmi bertunangan, dan jika tak ada aral, bulan desember akan dilangsungkan pernikahan.
Sikap pesimisku semakin menjad-jadi. Padahal, sejatinya Aku masih menyimpan asa terhadap Hatima karena dia sering menghubungiku dan meminta bantuan kepadaku. Awalnya Aku menganggap bahwa ini adalah bentuk rasa cinta yang masih bersemayam di hati Hatima terhadapku, sehingga Aku seakan serasa diberi harapan olehnya. Namun, menurut pengakuannya, bahwa kedekatannya terhadapku itu hanyalah sebuah upaya Hatima untuk membesar-besarkan hatiku semata supaya Aku tak terlalu kecewa.
Mendengar itu Aku tertunduk lesu. Pasrah. Dan tak tahu harus berbuat apa. Ya Aku pasrah pada takdirku sendiri, terutama soal cinta. Aku menyadari bahwa Aku bukanlah sosok lelaki yang pantas mendampingi Hatima. Orangtuanya termasuk dalam kategori orang yang berada, jadi wajar kiranya jika dia mendapatkan orang yang juga berada. Itu soal status sosial. Yang terkadang memang harus setara agar terciptanya sebuah keseimbangan.
Dengan kesadaran itu Aku memutuskan untuk meninggalkan Hatima sekaligus melupakannya. Namun, caraku melupakan Hatima kali ini lain, bukan seperti yang pernah ia katakan tempo hari bahwa patah hati obatnya adalah jatuh cinta lagi.
Aku seperti sudah trauma jika harus jatuh cinta lagi. Jiwaku sudah letih jika harus berhadapan dengan dua tragedi asmara yang telah menimpaku itu. Jujur, Aku takut jika harus terulangi kembali. Dan ini sudah cukup bagiku. Ya, ini untuk yang terakhir kalinya.
Mazra dan Hatima telah menjadi dua sosok wanita yang sangat Aku cintai. Namun, cintaku kepada kedua wanita berbeda kultur itu sama-sama berakhir dengan tragis. Aku tak mendapatkan dua-duanya. Sekali lagi, jodoh mereka berada di tangan orang lain. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Disqus Comments