Keputusan Terakhir
Dan masih bergulat dengan waktu yang seakan tiada
kepastian. Titel Sarjana yang telah Aku genggam membuat Aku justru semakin
kebingungan mencari arah hidup.
Cinta, cita-cita dan asa selalu menyertai langkah
hidup manusia.
Namun, soal cinta Aku justru semakin awam dan tak
paham. Setahun sudah Aku mencoba menepis perasaan cintaku pada Mazra yang kini
sudah berada dalam pelukan orang lain, sementara Hatima pun masih bersikap
biasa-biasa saja dan tak ada tanda-tanda dia suka kepadaku.
Dalam sejarah hidupku, mungkin rasa cinta yang sejati
sepertinya baru Aku rasakan pada sosok Mazra. Tetapi, rasa cinta itu justru
bertepuk sebelah tangan karena Mazra sama sekali tidak pernah mengungkit-ungkit
asmara yang pernah kami bina dahulu. Sepertinya dia sudah melupakan Aku,
pikirku.
Andai Mazra tahu, perasaan cintaku kepadanya yang
hingga kini masih bersemi inilah yang telah berhasil menguburkan dalam-dalam gairah
hidupku sejak satu tahun belakangan. Semakin Aku menepis perasaanku ini,
banyangan Mazra justru semakin mendekat, dan Aku semakin terpuruk.
Mungkin ada benarnya perkataan Hatima bahwa obat patah
hati adalah jatuh cinta lagi. Aku kemudian mencoba menterjemahkan kalimat itu
dengan perasaan dan logika akal sehatku.
Tak berapa lama terjemahan dari kalimat Hatima itu
telah Aku temukan jawabannya. Kalimat itu jika dipikir-pikir memang benar,
tetapi belum sempat Aku menterjemahkannya melalui perasaan, tersiar kabar bahwa
Mazra telah memiliki seorang putra yang diberi nama Ahmad Inaffi Al-Tubbani
karena lahir di Tuban, asal kampung halaman suaminya. Sebuah nama yang bagus
pikirku.!
Atas kelahiran putra Mazra Aku mengucapakan selamat
sekaligus mendoakannya semoga menjadi anak yang sholeh.
Kehadiran putranya Mazra ini kian mempertegas bahwa
Aku memang harus segera melupakannya, setidaknya untuk membuka hati dan
pikiranku.
Aku pun perlahan-lahan mulai membuka hati dan
mengikhlaskannya dan hal itu telah Aku sampaikan kepada diri Mazra, karena Aku
sadar bahwa selama ini Aku memang telah berusaha untuk menganggu rumah
tangganya.
Dalam pesan singkat di HP Aku berkata;
“Nok, maafkan Aku selama ini yah, telah mengganggu kamu. Aku sadar bahwa
hal itu adalah sebuah kebodohan yang Aku perbuat terhadap kamu. Aku memang
sudah keterlaluan mencintai kamu. Cinta yang berlebihan memang ternyata membuat
diri kita bisa gila, dan kegilaanku itu terasa saat Aku kehilangan sosokmu
dalam hidupku. Tapi kini, Aku sudah mulai sadar bahwa Aku sudah mencoba membuka
hati untuk orang lain dan mengikhlaskan segalanya”.
Lanjutku;
“Hal ini mungkin adalah sesuatu yang tersulit dalam
hidupku. Tapi apalah, semuanya sudah menjadi kehendak Ilahi. Kau lebih pantas
mendapatkan yang terbaik dan yang lebih baik daripada Aku. Mungkin, Tuhan
memisahkan kita karena Tuhan ingin memberikan yang lebih baik untuk kamu.
Jadi, pesan ini mungkin untuk terakhir kalinya Aku
menghubungi kamu nok. Mulai detik
ini, berjanjilah untuk hidup bahagia, meski Aku tahu kebahagiaanmu itu ternyata
bukan bersamaku tapi itu cukup mewakili kebahagiaanku di sini”. Wassalam. Van
Ritt.
Mazra membalas;
“Ampuni Aku mas. Setiap kejadian selalu ada
penyebabnya, tak terkecuali keputusanku tuk menyerahkan ragaku di pelukan orang
lain tanpa sepengetahuanmu. Aku tahu ini adalah suatu dosaku kepadamu. Dosa
yang tak tahu bagaimana aku akan menebusnya. Tetapi, aku sadar bahwa kita tak
akan pernah kuasa melawan takdir, sebab hidup pada dasarnya adalah sebuah
proses menuju pada takdir kita sendiri-sendiri. Berbahagialah, dan jangan kau terus-terusan
dalam keterpurukanmu karena jika kau melakukan itu berarti sama halnya kau
telah menyakitiku. Bukankah kau ingin melihat aku bahagia?”.
Aku tak berniat
membalas balasan pesan singkat dari Mazra. Meski Aku sadar bahwa pesan dari
Mazra cukup membuat Aku yakin bahwa kami memang harus dipisahkan, bukan karena
orang lain, waktu, tempat, rasa tetapi karena takdir. Ya takdir, pikirku
singkat.
Lagi-lagi soal takdir.
Sesuatu yang tak dapat
ditentang oleh sesiapapun.
Sebab, jika ada yang
menentangnya maka ia akan berhadapan dengan Tuhan. Dan Aku sama sekali tak
punya niat menentangnya.
Aku berpikir keras
antara membalas atau tidak membalas pesan dari Mazra itu. Setidak-tidaknya Aku
ingin mengucapkan kata “selamat” kepadanya yang telah memperoleh seorang anak.
Keputusan tak kunjung
Aku dapatkan.
Rasa sesak di dada
sangat sulit Aku kendalikan.
Saat egoku sudah mulai
dapat Aku kendalikan, Aku pun membalas pesannya.
“Baiklah Mazra. Akan ku hentikan kegilaanku ini. Akan ku amini takdir
yang telah jatuh ke tanganku ini, meski sebanrnya sulit tuk Aku terima. Tapi
sepertinya akalku sudah mulai sehat. Selamat atas kelahiran anak pertamamu.
Berbahagialah”.
Itu pesan terakhirku
kepada Mazra.
Sejak saat itu, Aku
sendiri tak pernah lagi menghubungi dia. Tak akan lagi. Cukuplah sudah
Kini, Aku telah
memutuskan untuk membuka hati buat perempuan lain yang dapat mengisi hatiku
sekaligus menutup luka hatiku.
Tiba-tiba Aku teringat
kepada Hatima. Ya Hatima. Sahabat karibku yang telah menguatkanku setahun
belakangan, meski kami jarang berjumpa, tapi kami selalu berkomunikasi.
Sial.! Dalam diam-diam
ternyata Aku baru menyadari bahwa Aku memiliki hati terhadap Hatima. Tetapi
perasaan itu tak pernah Aku gubris karena Aku sibuk dengan perasaanku terhadap
Mazra kala itu. Ya, perasaan cinta yang Aku maksud ingin Aku perjuangkan.
Namun, kini telah kandas. Dan Aku anggap telah kandas. Sudah berakhir.