Wednesday, 17 July 2013

Bagian XIII


  Keputusan Terakhir
 
Juni 2014 Aku masih di Jogja.
Dan masih bergulat dengan waktu yang seakan tiada kepastian. Titel Sarjana yang telah Aku genggam membuat Aku justru semakin kebingungan mencari arah hidup.
Cinta, cita-cita dan asa selalu menyertai langkah hidup manusia.
Namun, soal cinta Aku justru semakin awam dan tak paham. Setahun sudah Aku mencoba menepis perasaan cintaku pada Mazra yang kini sudah berada dalam pelukan orang lain, sementara Hatima pun masih bersikap biasa-biasa saja dan tak ada tanda-tanda dia suka kepadaku.
Dalam sejarah hidupku, mungkin rasa cinta yang sejati sepertinya baru Aku rasakan pada sosok Mazra. Tetapi, rasa cinta itu justru bertepuk sebelah tangan karena Mazra sama sekali tidak pernah mengungkit-ungkit asmara yang pernah kami bina dahulu. Sepertinya dia sudah melupakan Aku, pikirku.
Andai Mazra tahu, perasaan cintaku kepadanya yang hingga kini masih bersemi inilah yang telah berhasil menguburkan dalam-dalam gairah hidupku sejak satu tahun belakangan. Semakin Aku menepis perasaanku ini, banyangan Mazra justru semakin mendekat, dan Aku semakin terpuruk.
Mungkin ada benarnya perkataan Hatima bahwa obat patah hati adalah jatuh cinta lagi. Aku kemudian mencoba menterjemahkan kalimat itu dengan perasaan dan logika akal sehatku.
Tak berapa lama terjemahan dari kalimat Hatima itu telah Aku temukan jawabannya. Kalimat itu jika dipikir-pikir memang benar, tetapi belum sempat Aku menterjemahkannya melalui perasaan, tersiar kabar bahwa Mazra telah memiliki seorang putra yang diberi nama Ahmad Inaffi Al-Tubbani karena lahir di Tuban, asal kampung halaman suaminya. Sebuah nama yang bagus pikirku.!
Atas kelahiran putra Mazra Aku mengucapakan selamat sekaligus mendoakannya semoga menjadi anak yang sholeh.
Kehadiran putranya Mazra ini kian mempertegas bahwa Aku memang harus segera melupakannya, setidaknya untuk membuka hati dan pikiranku.
Aku pun perlahan-lahan mulai membuka hati dan mengikhlaskannya dan hal itu telah Aku sampaikan kepada diri Mazra, karena Aku sadar bahwa selama ini Aku memang telah berusaha untuk menganggu rumah tangganya.
Dalam pesan singkat di HP Aku berkata;
Nok, maafkan Aku selama ini yah, telah mengganggu kamu. Aku sadar bahwa hal itu adalah sebuah kebodohan yang Aku perbuat terhadap kamu. Aku memang sudah keterlaluan mencintai kamu. Cinta yang berlebihan memang ternyata membuat diri kita bisa gila, dan kegilaanku itu terasa saat Aku kehilangan sosokmu dalam hidupku. Tapi kini, Aku sudah mulai sadar bahwa Aku sudah mencoba membuka hati untuk orang lain dan mengikhlaskan segalanya”.
Lanjutku;
“Hal ini mungkin adalah sesuatu yang tersulit dalam hidupku. Tapi apalah, semuanya sudah menjadi kehendak Ilahi. Kau lebih pantas mendapatkan yang terbaik dan yang lebih baik daripada Aku. Mungkin, Tuhan memisahkan kita karena Tuhan ingin memberikan yang lebih baik untuk kamu.
Jadi, pesan ini mungkin untuk terakhir kalinya Aku menghubungi kamu nok. Mulai detik ini, berjanjilah untuk hidup bahagia, meski Aku tahu kebahagiaanmu itu ternyata bukan bersamaku tapi itu cukup mewakili kebahagiaanku di sini”. Wassalam. Van Ritt.
Mazra membalas;
“Ampuni Aku mas. Setiap kejadian selalu ada penyebabnya, tak terkecuali keputusanku tuk menyerahkan ragaku di pelukan orang lain tanpa sepengetahuanmu. Aku tahu ini adalah suatu dosaku kepadamu. Dosa yang tak tahu bagaimana aku akan menebusnya. Tetapi, aku sadar bahwa kita tak akan pernah kuasa melawan takdir, sebab hidup pada dasarnya adalah sebuah proses menuju pada takdir kita sendiri-sendiri. Berbahagialah, dan jangan kau terus-terusan dalam keterpurukanmu karena jika kau melakukan itu berarti sama halnya kau telah menyakitiku. Bukankah kau ingin melihat aku bahagia?”.
Aku tak berniat membalas balasan pesan singkat dari Mazra. Meski Aku sadar bahwa pesan dari Mazra cukup membuat Aku yakin bahwa kami memang harus dipisahkan, bukan karena orang lain, waktu, tempat, rasa tetapi karena takdir. Ya takdir, pikirku singkat.
Lagi-lagi soal takdir.
Sesuatu yang tak dapat ditentang oleh sesiapapun.
Sebab, jika ada yang menentangnya maka ia akan berhadapan dengan Tuhan. Dan Aku sama sekali tak punya niat menentangnya.
Aku berpikir keras antara membalas atau tidak membalas pesan dari Mazra itu. Setidak-tidaknya Aku ingin mengucapkan kata “selamat” kepadanya yang telah memperoleh seorang anak.
Keputusan tak kunjung Aku dapatkan.
Rasa sesak di dada sangat sulit Aku kendalikan.
Saat egoku sudah mulai dapat Aku kendalikan, Aku pun membalas pesannya.
Baiklah Mazra. Akan ku hentikan kegilaanku ini. Akan ku amini takdir yang telah jatuh ke tanganku ini, meski sebanrnya sulit tuk Aku terima. Tapi sepertinya akalku sudah mulai sehat. Selamat atas kelahiran anak pertamamu. Berbahagialah”.
Itu pesan terakhirku kepada Mazra.
Sejak saat itu, Aku sendiri tak pernah lagi menghubungi dia. Tak akan lagi. Cukuplah sudah
Kini, Aku telah memutuskan untuk membuka hati buat perempuan lain yang dapat mengisi hatiku sekaligus menutup luka hatiku.
Tiba-tiba Aku teringat kepada Hatima. Ya Hatima. Sahabat karibku yang telah menguatkanku setahun belakangan, meski kami jarang berjumpa, tapi kami selalu berkomunikasi.
Sial.! Dalam diam-diam ternyata Aku baru menyadari bahwa Aku memiliki hati terhadap Hatima. Tetapi perasaan itu tak pernah Aku gubris karena Aku sibuk dengan perasaanku terhadap Mazra kala itu. Ya, perasaan cinta yang Aku maksud ingin Aku perjuangkan. Namun, kini telah kandas. Dan Aku anggap telah kandas. Sudah berakhir.
Disqus Comments