Wednesday, 17 July 2013

Bagian VIII


Mencari Mazra, Bertemu Hatima
Malam menjemput siang, siang pun kemudian menjemput malam.
Begitu seterusnya kedua siklus alam itu saling jemput menjemput, tinggal meninggalkan dan dipertemukan kembali oleh senja.
Tanpa teras pagi sudah datang menyapa. Membangunkan tubuhku yang sejak malam teras lelah. Bergegas Aku menghampiri kran di samping kamar mandi untuk mengambil air wudhu, menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim, sholat subuh, yang waktunya telah berlalu di sepersekian menit.
Aku tak melihat sosok Jis dan Fid. Mungkin mereka berdua telah terlebih dahulu bangun pikirku.
Setelah menunaikan sholat subuh, Aku lanjutkan membaca mushaf Qur’an yang rasa-rasanya telah lama Aku tak melantunkan ayat-ayat suci itu.
Sehabis itu, Aku menghampiri handphone yang ku letakkan di atas meja, berharap Mazra memberikan kabar meski hanya mengucapkan kata singkat lewat sms.Lagi-lagi harapan itu berakhir kecewa karena Aku tak mendapatkan kabar berita dari Mazra. Yang Aku dapatkan malah justru pesan singkat dari Hatima yang mengajak Aku tuk berjalan-jalan keliling Jogja hari ini.
Aku sendiri belum ingin membalas pesan singkat dari Hatima tersebut, dan memutuskan tuk berolahraga.selain itu, Aku juga ada rencana mendatangi rumah mbaknya Mazra nanti berharap dia ada di sana.
Setelah berolahraga, segera Aku mandi kemudian berpakaian santai, mengenakan celana jean dan kaos oblong bertopi hitam.
Rencana nekadku mendatangi Mazra di rumah mbaknya adalah akumulasi dari rasa penasaran yang sejak Aku menginjakkan kaki di Jogja mengerubungi otakku dengan seribu pertanyaan yang menerawang tentang Mazra yang tidak ada kabarnya itu.
Wajar saja Aku merasa penasaran dengan Mazra karena Aku sendiri memutuskan kembali ke Jogja salah satu tujuannya ialah memperjuangkan perasaan cintaku pada dirinya. Aku merasa benar-benar telah jatuh hati pada sosok Mazra, bahkan sudah tak ada niat lagi tuk merangkai bunga cinta pada sosok wanita lainnya.
Bagiku, persoalan cinta bukan dilihat dari banyak atau sedikitnya perempuan di dunia ini, tetapi lebih pada soal bagaimana rasa kecocokan itu didapatkan. Banyak perempuan selama ini menawarkan cintanya kepadaku, namun Aku sama sekali tak berniat menghiraukannya.bagiku, Mazra sudah terlalu cukup di mana Aku harus melabuhkan kapal asmara, dan hari ini Aku sedang memperjuangkannya.
Sesampainya Aku di rumah mbaknya Mazra, tempat di mana selama ini ia berteduh, Aku justru tidak menemukan sesiapa di rumah sebesar itu. Kosong seperti tak berpenghuni.
Aku mencoba bertanya dengan tetangga sekitar rumah.
Beberapa tetangga justru tidak tahu, namun Aku dapatkan jawaban dari pak Lis, beliau mengatakan bahwa penghuni rumah itu sedang pulang kampung, ke Jawa Timur karena ada urusan pernikahan.
Hatiku seketika berdetak kecang menggetarkan seluruh dinding jiwa. Pikiranku pun mulai terasa seakan tak waras, bibirku kelu, dan tak berniat lagi tuk bertanya-tanya kepada pak Lis, Aku pun segera memohon diri tuk pamit pulang.
“Oke. Terima kasih pak Lis”, Aku memohon diri sembari bersalaman.
“Iya. Hati-hati di jalan nak”, sahut pak Lis santun.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku benar-benar kacau balau. Pertanyaan demi pertanyaan mengenai Mazra semakin bertambah sekian ribu mengerubungi isi kepalaku.
Sesampainya Aku di kost, segera Aku merebahkan badan lemas, dan masih diselimuti berbagai pertanyaan yang sampai detik ini tidak Aku dapatkan jawabannya. Ya tentang Mazra.!
Selama seberapa jam, Aku memutuskan untuk tidak mengerjakan aktivitas apapun. Masih merenung sambil berpikir keras apa yang sebenarnya terjadi pada Mazra.
Tak lama berselang, handphone-ku berdering yang menandakan ada sebuah panggilan. Nama Hatima muncul di layar HP, dan segera Aku menjawabnya. Melalui telepon, Hatima bermaksud mengajak Aku berjalan-jalan ke pantai Depok, dan Aku pun meng-iya-kan ajakannya tersebut. Setelah Aku pikir-pikir ada baiknya juga Aku menenagkan hati dan pikiranku yang sejak tadi malam kalut dengan keberadaan Mazra, ditambah lagi datangnya kabar dari pak Lis tadi.Aku berusaha keras untuk ber-positif thinking sembari memikirkan jalan untuk bertemu Mazra.
Tak lama kemudian Hatima sudah datang menjemput.
Kami pergi mengendarai sepeda motor menuju ke pantai yang dimaksud, meski sebenarnya Aku sendiri merasa tidak enak berboncengan dengan dia karena Aku sendiri tidak terbiasa berboncengan dengan seorang wanita yang tidak ada hubungan apa-apa denganku. Tapi untuk kali ini Aku tak bisa menolaknya karena bagaimanapun Hatima adalah sahabat karibku.
Satu jam kemudian kami berdua sampai di Depok. Tidak dapat dipungkiri, suasana pantai dan menyaksikan gelombang laut membuat hati terasa tenang, tapi sayangnya ketenangan kali ini harus Aku lewati bukan dengan orang terkasih rasanya kurang sempurna.
Setelah melihat-lihat gelombang laut yang saling menerjang, Aku dan Hatima menepi ke sebuah warung makan untuk makan menu makanan laut. Seperti biasanya, tumis kepiting jadi menu favoritku, dan tak pernah Aku melewatkan menu ini tiap kali Aku berkunjung ke pantai Depok.
Makan di pantai menjadi suatu momentum yang sangat spesial sambil menyaksikan ombak yang saling menerjang yang menghasilkan gemuruh gelombang membuat suasana jadi semakin ramai, ditambah lagi decak kagum menyaksikan kehebatan para nelayan bersama perahu kecilnya mengarungi keganasan terjangan ombak dan gelombang yang datang silih berganti.
Menyaksikan para nelayan membuat Aku teringat pada kisah yang sering almarhum ayah dongengkan kepadaku di masa kecilku tentang nenek moyang yang mengharungi luasnya lautan. Nenek moyang memang hebat, pikirku, dan Aku bangga menjadi orang Indonesia yang memiliki sejarah tentang kekuatan di laut.
“Kok termenung Ritt?’, tanya Hatima tiba-tiba.
Aku terperanjat dari lamunanku.
“Itu lho aku kagum melihat para nelayan yang begitu gigih mengharungi ombak yang ganas”, jawabku sambil tersenyum.
“Iya. Mereka hebat”, tukas Hatima singkat.
“Kamu senang dengan pantai?”, tanyanya lagi.
“Meski gemuruh ombak sangat riuh dan terjangannya teramat mengerikan, tapi di sana Aku melihat ketenangan Tim”, sahutku dengan nada sendu.
“Kamu?”, tanyaku balik.
“Aku ini orang pesisir Ritt, jadi pantai, laut, ombak, dan gelombang telah menjadi jiwa dan serta kulturku”, Hatima menimpali.
“Oh iya. Aku lupa”, Aku tertawa malu.
Hari sudah mulai sore. Matahari seperti sudah tidak sabar ingin segera berpulang ke pangkuan malam. Mega-mega pun sudah mulai menaburi senja. Pertanda petang tak lama lagi akan segera datang. Aku dan Hatima belum terbesit keinginan untuk pulang, toh besok juga hari libur karena malam nanti adalah sabtu malam yang diartikan kebanyakan orang malam minggu.
Aku dan Hatima berjalan-jalan menyisir pantai sambil bermain air. Di pantai, Aku dan Hatima saling bertukar cerita tentang perjalanan hidup masing-masing setelah tamat SMA. Banyak hal menarik yang sama-sama kami dapatkan dari cerita yang telah kami urai secara bergantian di sepanjang penyisiran kami di pantai.
Entah sudah berapa panjang pantai kami ini sisir, yang pasti kami berdua tak sempat mengukurnya. Mumpung hari benar-benar petang dan gelap turun selimuti bumi, Aku dan Hatima segera berbalik arah untuk mencari sumber suara adzan maghrib yang sayup-sayup terdengar di telinga.
Setelah sembahyang maghrib, Aku dan Hatima kembali ke pantai dan duduk di atas tikar yang telah disediakan oleh penjual jagung bakar. Di atas tikar sambil menghadap ke laut yang hanya terdengar gemuruh gelombangnya itu, kami berdua menikmati jagung bakar sambil melanjutkan cerita kami yang tadi sempat terputus.
Hatima mengawali cerita bahwa setelah lulus SMA, dirinya melanjutkan studi di Solo selama lima tahun, dan kini telah lulus. Ketika Aku tanya kenapa dia sekarang malah justru berada di Jogja, dia menjawab bahwa dirinya sedang melanjutkan studi S2 di sebuah perguruan tinggi swasta.
“Lah, kamu kenapa malah balik ke Jogja lagi Ritt? Bukannya kamu sudah lulus kuliah ‘kan?”, Hatima bertanya.
Aku agak ragu menjawab pertanyaan ini. Aku lebih memilih diam saja, sampai-sampai Hatima memaksaku untuk menjawab pertanyannya.
“Aku sebenarnya ada urusan kerja di Jogja ini Tim’, jawabku singkat.
Hatima malah justru tampak bingung dengan jawabanku yang seakan tidak menyakinkan itu. Dan Aku sendiri sebenarnya sadar bahwa Aku sedang berbohong. Karuan saja, jawabanku itu mengudang berbagai pertanyaan lainnya yang dicecar Hatima kepadaku sampai akhirnya Aku terdesak untuk berkata jujur.
“Jujur saja Hatima, Aku nekad kembali ke Jogja ini untuk menemui seseorang. Dia pacarku dulu ketika Aku kuliah”, akuku.
“Oalah begitu. Kenapa tadi bilang karena urusan kerja?”, Hatima bertanya lagi sambil melihat ke arahku.
Pertanyaan ini seakan terasa menikam jantungku. Pasalnya, saat Aku berpamitan kepada mak dan keluarga di kalimantan tuk kembali ke Jogja karena urusan pekerjaan. Aku telah berbohong kepada mereka.
Dengan nada ragu Aku menjawab; “Aku sudah terlanjur berbohong kepada keluarga di rumah alasanku kembali ke Jogja untuk bekerja, padahal pekerjaan itu hanya sebuah alasan belaka.!”, Aku tertunduk malu.
Hatima justru bijaksana menanggapi pengakuanku itu.
“Sebenarnya kamu tidak berbohong Ritt. Hanya saja masalahnya kamu tidak menceritakan tentang pacarmu itu kepada orang tuamu atau keluargamu. Kalau soal kerja enggak kerja, ya kamu suatu saat pasti akan kerja karena kamu membutuhkannya”, Hatima menasehati.
Lagi-lagi Aku terdiam dan tertunduk malu.
“Ya, masalahnya sekarang jadi runyam Tim.!”, Aku menyaut tiba-tiba.
“Runyam bagaimana maksudmu?”, Hatima meminta penjelasan.
“Orang yang Aku cari, ternyata sudah tidak ada di Jogja dan sepertinya sudah menikah dengan orang lain, mungkin.!”, tukasku kesal.
Hatima terdiam saja mendengar penjelasanku. Dia sepertinya mengerti kondisi jiwaku yang sedang berkecamuk. Bukan menanggapi, Hatima justru menyodorkan kepadaku jagung bakar lagi yang ia pesan tanpa Aku sepengetahuanku.
“Sudah...sudah..jangan dilihat aja itu jagung. Dingin nanti nggak enak.”, bujuk Hatima.
Aku memakan jagung bakar yang agak pedas itu sekaligus merasa terhina karena curhatanku tadi seakan tak mendapatkan tanggapan dari Hatima. Hatiku geram terhadap sikapnya yang tak peduli dan tak memberikan dukungan kepadaku.
Selain itu, dia juga seakan menghadapi jiwaku yang berapi-api seperti menghadapi anak kecil yang sedang marah. Memberikan jajan agar marahnya padam di saat itu juga.
Setahuku, Hatima tak seperti ini sikap waktu SMA saat Aku curhat kepadanya, dia pasti segera menanggapinya dengan nasehat-nasehatnya.
Setelah Aku menghabiskan jagung bakar, tiba-tiba Hatima duduk di sampingku sambil menguak-usak rambutku sembari tersennyum dia berbicara.
“Hidup itu memang tidak pasti sobat. Prasangka dan praduga selalu bersemayam abadi di dalam hati kita selama hayat masih di kandung badan”, imbuhnya.
Aku jadi semakin tidak mengerti dengan sikap dan omongan Hatima.
“Maksud kamu?”, Aku menimpali.
“Coba tegakkan posisi dudukmu dan jangan menunduk pesimis begitu”, perintahnya.
Aku pun segera menegakkan posisi dudukku yang sedari tadi menunduk menghadap pasir dan kini menatap ke arah laut yang gelap.
Seraya menepuk pundakku, Hatima berkata; “Janganlah kamu meras gusar terhadap sesuatu hal yang belum ada kejelasannya. Rasa gelisah, putus asa, dan prasangka telah menguasai dirimu daripada otakmu”, tuturnya.
“Terus, apa yang mesti Aku lakukan sekarang Tim?”, Aku meminta solusi.
“Ya gampang aja lah. Kamu cari kepastian di mana sekarang pacarmu itu berada, temui dia secepatnya supaya kamu tahu apa sebenarnya yang telah terjadi padanya”.
Aku mengangguk. Dalam hati Aku membenarkan apa yang dikatakan Hatima.
“Aku bersedia menemanimu untuk mencari keberadaan pacarmu itu jika kamu menghendaki”, tawar Hatima.
Aku mengangguk lagi. Ada benarnya juga saran dari Hatima agar Aku tak terus-terusan tenggelam dalam rasa penasaranku mengenai Mazra yang tak tahu di mana rimbanya.
Aku tersenyum sebagai pertanda Aku menyetujui saran dari Hatima. Dia membalas senyumanku dan berusaha meyakinkanku serta menguatkanku yang memang tampak mulai rapuh karena keputusasaanku sejak beberapa hari belakangan.
Setelah itu, Aku dan Hatima sepakat untuk pulang karena sudah malam.#
Disqus Comments