Mencari Mazra, Bertemu
Hatima
Malam menjemput siang, siang pun kemudian menjemput
malam.
Begitu seterusnya kedua siklus alam itu saling jemput
menjemput, tinggal meninggalkan dan dipertemukan kembali oleh senja.
Tanpa teras pagi sudah datang menyapa. Membangunkan
tubuhku yang sejak malam teras lelah. Bergegas Aku menghampiri kran di samping
kamar mandi untuk mengambil air wudhu, menunaikan kewajibanku sebagai seorang
muslim, sholat subuh, yang waktunya telah berlalu di sepersekian menit.
Aku tak melihat sosok Jis dan Fid. Mungkin mereka
berdua telah terlebih dahulu bangun pikirku.
Setelah menunaikan sholat subuh, Aku lanjutkan membaca
mushaf Qur’an yang rasa-rasanya telah lama Aku tak melantunkan ayat-ayat suci itu.
Sehabis itu, Aku menghampiri handphone yang ku
letakkan di atas meja, berharap Mazra memberikan kabar meski hanya mengucapkan
kata singkat lewat sms.Lagi-lagi harapan itu berakhir kecewa karena Aku tak
mendapatkan kabar berita dari Mazra. Yang Aku dapatkan malah justru pesan
singkat dari Hatima yang mengajak Aku tuk berjalan-jalan keliling Jogja hari
ini.
Aku sendiri belum ingin membalas pesan singkat dari
Hatima tersebut, dan memutuskan tuk berolahraga.selain itu, Aku juga ada
rencana mendatangi rumah mbaknya Mazra nanti berharap dia ada di sana.
Setelah berolahraga, segera Aku mandi kemudian
berpakaian santai, mengenakan celana jean dan kaos oblong bertopi hitam.
Rencana nekadku mendatangi Mazra di rumah mbaknya
adalah akumulasi dari rasa penasaran yang sejak Aku menginjakkan kaki di Jogja
mengerubungi otakku dengan seribu pertanyaan yang menerawang tentang Mazra yang
tidak ada kabarnya itu.
Wajar saja Aku merasa penasaran dengan Mazra karena
Aku sendiri memutuskan kembali ke Jogja salah satu tujuannya ialah memperjuangkan
perasaan cintaku pada dirinya. Aku merasa benar-benar telah jatuh hati pada
sosok Mazra, bahkan sudah tak ada niat lagi tuk merangkai bunga cinta pada
sosok wanita lainnya.
Bagiku, persoalan cinta bukan dilihat dari banyak atau
sedikitnya perempuan di dunia ini, tetapi lebih pada soal bagaimana rasa
kecocokan itu didapatkan. Banyak perempuan selama ini menawarkan cintanya
kepadaku, namun Aku sama sekali tak berniat menghiraukannya.bagiku, Mazra sudah
terlalu cukup di mana Aku harus melabuhkan kapal asmara, dan hari ini Aku
sedang memperjuangkannya.
Sesampainya Aku di rumah mbaknya Mazra, tempat di mana
selama ini ia berteduh, Aku justru tidak menemukan sesiapa di rumah sebesar itu.
Kosong seperti tak berpenghuni.
Aku mencoba bertanya dengan tetangga sekitar rumah.
Beberapa tetangga justru tidak tahu, namun Aku
dapatkan jawaban dari pak Lis, beliau mengatakan bahwa penghuni rumah itu sedang
pulang kampung, ke Jawa Timur karena ada urusan pernikahan.
Hatiku seketika berdetak kecang menggetarkan seluruh
dinding jiwa. Pikiranku pun mulai terasa seakan tak waras, bibirku kelu, dan
tak berniat lagi tuk bertanya-tanya kepada pak Lis, Aku pun segera memohon diri
tuk pamit pulang.
“Oke. Terima kasih pak Lis”, Aku memohon diri sembari
bersalaman.
“Iya. Hati-hati di jalan nak”, sahut pak Lis santun.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku benar-benar
kacau balau. Pertanyaan demi pertanyaan mengenai Mazra semakin bertambah sekian
ribu mengerubungi isi kepalaku.
Sesampainya Aku di kost, segera Aku merebahkan badan
lemas, dan masih diselimuti berbagai pertanyaan yang sampai detik ini tidak Aku
dapatkan jawabannya. Ya tentang Mazra.!
Selama seberapa jam, Aku memutuskan untuk tidak
mengerjakan aktivitas apapun. Masih merenung sambil berpikir keras apa yang
sebenarnya terjadi pada Mazra.
Tak lama berselang, handphone-ku berdering yang
menandakan ada sebuah panggilan. Nama Hatima muncul di layar HP, dan segera Aku
menjawabnya. Melalui telepon, Hatima bermaksud mengajak Aku berjalan-jalan ke
pantai Depok, dan Aku pun meng-iya-kan ajakannya tersebut. Setelah Aku
pikir-pikir ada baiknya juga Aku menenagkan hati dan pikiranku yang sejak tadi
malam kalut dengan keberadaan Mazra, ditambah lagi datangnya kabar dari pak Lis
tadi.Aku berusaha keras untuk ber-positif thinking sembari memikirkan jalan
untuk bertemu Mazra.
Tak lama kemudian Hatima sudah datang menjemput.
Kami pergi mengendarai sepeda motor menuju ke pantai
yang dimaksud, meski sebenarnya Aku sendiri merasa tidak enak berboncengan
dengan dia karena Aku sendiri tidak terbiasa berboncengan dengan seorang wanita
yang tidak ada hubungan apa-apa denganku. Tapi untuk kali ini Aku tak bisa
menolaknya karena bagaimanapun Hatima adalah sahabat karibku.
Satu jam kemudian kami berdua sampai di Depok. Tidak
dapat dipungkiri, suasana pantai dan menyaksikan gelombang laut membuat hati
terasa tenang, tapi sayangnya ketenangan kali ini harus Aku lewati bukan dengan
orang terkasih rasanya kurang sempurna.
Setelah melihat-lihat gelombang laut yang saling
menerjang, Aku dan Hatima menepi ke sebuah warung makan untuk makan menu
makanan laut. Seperti biasanya, tumis kepiting jadi menu favoritku, dan tak
pernah Aku melewatkan menu ini tiap kali Aku berkunjung ke pantai Depok.
Makan di pantai menjadi suatu momentum yang sangat
spesial sambil menyaksikan ombak yang saling menerjang yang menghasilkan
gemuruh gelombang membuat suasana jadi semakin ramai, ditambah lagi decak kagum
menyaksikan kehebatan para nelayan bersama perahu kecilnya mengarungi keganasan
terjangan ombak dan gelombang yang datang silih berganti.
Menyaksikan para nelayan membuat Aku teringat pada
kisah yang sering almarhum ayah dongengkan kepadaku di masa kecilku tentang
nenek moyang yang mengharungi luasnya lautan. Nenek moyang memang hebat,
pikirku, dan Aku bangga menjadi orang Indonesia yang memiliki sejarah tentang
kekuatan di laut.
“Kok termenung Ritt?’, tanya Hatima tiba-tiba.
Aku terperanjat dari lamunanku.
“Itu lho aku kagum melihat para nelayan yang begitu gigih
mengharungi ombak yang ganas”, jawabku sambil tersenyum.
“Iya. Mereka hebat”, tukas Hatima singkat.
“Kamu senang dengan pantai?”, tanyanya lagi.
“Meski gemuruh ombak sangat riuh dan terjangannya
teramat mengerikan, tapi di sana Aku melihat ketenangan Tim”, sahutku dengan
nada sendu.
“Kamu?”, tanyaku balik.
“Aku ini orang pesisir Ritt, jadi pantai, laut, ombak,
dan gelombang telah menjadi jiwa dan serta kulturku”, Hatima menimpali.
“Oh iya. Aku lupa”, Aku tertawa malu.
Hari sudah mulai sore. Matahari seperti sudah tidak
sabar ingin segera berpulang ke pangkuan malam. Mega-mega pun sudah mulai
menaburi senja. Pertanda petang tak lama lagi akan segera datang. Aku dan
Hatima belum terbesit keinginan untuk pulang, toh besok juga hari libur karena malam
nanti adalah sabtu malam yang diartikan kebanyakan orang malam minggu.
Aku dan Hatima berjalan-jalan menyisir pantai sambil
bermain air. Di pantai, Aku dan Hatima saling bertukar cerita tentang
perjalanan hidup masing-masing setelah tamat SMA. Banyak hal menarik yang
sama-sama kami dapatkan dari cerita yang telah kami urai secara bergantian di
sepanjang penyisiran kami di pantai.
Entah sudah berapa panjang pantai kami ini sisir, yang
pasti kami berdua tak sempat mengukurnya. Mumpung hari benar-benar petang dan
gelap turun selimuti bumi, Aku dan Hatima segera berbalik arah untuk mencari
sumber suara adzan maghrib yang sayup-sayup terdengar di telinga.
Setelah sembahyang maghrib, Aku dan Hatima kembali ke
pantai dan duduk di atas tikar yang telah disediakan oleh penjual jagung bakar.
Di atas tikar sambil menghadap ke laut yang hanya terdengar gemuruh
gelombangnya itu, kami berdua menikmati jagung bakar sambil melanjutkan cerita kami
yang tadi sempat terputus.
Hatima mengawali cerita bahwa setelah lulus SMA, dirinya
melanjutkan studi di Solo selama lima tahun, dan kini telah lulus. Ketika Aku
tanya kenapa dia sekarang malah justru berada di Jogja, dia menjawab bahwa
dirinya sedang melanjutkan studi S2 di sebuah perguruan tinggi swasta.
“Lah, kamu kenapa malah balik ke Jogja lagi Ritt?
Bukannya kamu sudah lulus kuliah ‘kan?”, Hatima bertanya.
Aku agak ragu menjawab pertanyaan ini. Aku lebih
memilih diam saja, sampai-sampai Hatima memaksaku untuk menjawab pertanyannya.
“Aku sebenarnya ada urusan kerja di Jogja ini Tim’,
jawabku singkat.
Hatima malah justru tampak bingung dengan jawabanku
yang seakan tidak menyakinkan itu. Dan Aku sendiri sebenarnya sadar bahwa Aku
sedang berbohong. Karuan saja, jawabanku itu mengudang berbagai pertanyaan
lainnya yang dicecar Hatima kepadaku sampai akhirnya Aku terdesak untuk berkata
jujur.
“Jujur saja Hatima, Aku nekad kembali ke Jogja ini
untuk menemui seseorang. Dia pacarku dulu ketika Aku kuliah”, akuku.
“Oalah begitu. Kenapa tadi bilang karena urusan
kerja?”, Hatima bertanya lagi sambil melihat ke arahku.
Pertanyaan ini seakan terasa menikam jantungku. Pasalnya,
saat Aku berpamitan kepada mak dan keluarga di kalimantan tuk kembali ke Jogja
karena urusan pekerjaan. Aku telah berbohong kepada mereka.
Dengan nada ragu Aku menjawab; “Aku sudah terlanjur
berbohong kepada keluarga di rumah alasanku kembali ke Jogja untuk bekerja,
padahal pekerjaan itu hanya sebuah alasan belaka.!”, Aku tertunduk malu.
Hatima justru bijaksana menanggapi pengakuanku itu.
“Sebenarnya kamu tidak berbohong Ritt. Hanya saja
masalahnya kamu tidak menceritakan tentang pacarmu itu kepada orang tuamu atau
keluargamu. Kalau soal kerja enggak kerja, ya kamu suatu saat pasti akan kerja
karena kamu membutuhkannya”, Hatima menasehati.
Lagi-lagi Aku terdiam dan tertunduk malu.
“Ya, masalahnya sekarang jadi runyam Tim.!”, Aku
menyaut tiba-tiba.
“Runyam bagaimana maksudmu?”, Hatima meminta
penjelasan.
“Orang yang Aku cari, ternyata sudah tidak ada di
Jogja dan sepertinya sudah menikah dengan orang lain, mungkin.!”, tukasku
kesal.
Hatima terdiam saja mendengar penjelasanku. Dia
sepertinya mengerti kondisi jiwaku yang sedang berkecamuk. Bukan menanggapi,
Hatima justru menyodorkan kepadaku jagung bakar lagi yang ia pesan tanpa Aku sepengetahuanku.
“Sudah...sudah..jangan dilihat aja itu jagung. Dingin
nanti nggak enak.”, bujuk Hatima.
Aku memakan jagung bakar yang agak pedas itu sekaligus
merasa terhina karena curhatanku tadi seakan tak mendapatkan tanggapan dari
Hatima. Hatiku geram terhadap sikapnya yang tak peduli dan tak memberikan
dukungan kepadaku.
Selain itu, dia juga seakan menghadapi jiwaku yang
berapi-api seperti menghadapi anak kecil yang sedang marah. Memberikan jajan
agar marahnya padam di saat itu juga.
Setahuku, Hatima tak seperti ini sikap waktu SMA saat
Aku curhat kepadanya, dia pasti segera menanggapinya dengan nasehat-nasehatnya.
Setelah Aku menghabiskan jagung bakar, tiba-tiba
Hatima duduk di sampingku sambil menguak-usak rambutku sembari tersennyum dia
berbicara.
“Hidup itu memang tidak pasti sobat. Prasangka dan
praduga selalu bersemayam abadi di dalam hati kita selama hayat masih di
kandung badan”, imbuhnya.
Aku jadi semakin tidak mengerti dengan sikap dan
omongan Hatima.
“Maksud kamu?”, Aku menimpali.
“Coba tegakkan posisi dudukmu dan jangan menunduk
pesimis begitu”, perintahnya.
Aku pun segera menegakkan posisi dudukku yang sedari
tadi menunduk menghadap pasir dan kini menatap ke arah laut yang gelap.
Seraya menepuk pundakku, Hatima berkata; “Janganlah
kamu meras gusar terhadap sesuatu hal yang belum ada kejelasannya. Rasa
gelisah, putus asa, dan prasangka telah menguasai dirimu daripada otakmu”, tuturnya.
“Terus, apa yang mesti Aku lakukan sekarang Tim?”, Aku
meminta solusi.
“Ya gampang aja lah. Kamu cari kepastian di mana
sekarang pacarmu itu berada, temui dia secepatnya supaya kamu tahu apa
sebenarnya yang telah terjadi padanya”.
Aku mengangguk. Dalam hati Aku membenarkan apa yang
dikatakan Hatima.
“Aku bersedia menemanimu untuk mencari keberadaan
pacarmu itu jika kamu menghendaki”, tawar Hatima.
Aku mengangguk lagi. Ada benarnya juga saran dari
Hatima agar Aku tak terus-terusan tenggelam dalam rasa penasaranku mengenai
Mazra yang tak tahu di mana rimbanya.
Aku tersenyum sebagai pertanda Aku menyetujui saran
dari Hatima. Dia membalas senyumanku dan berusaha meyakinkanku serta
menguatkanku yang memang tampak mulai rapuh karena keputusasaanku sejak
beberapa hari belakangan.
Setelah itu, Aku dan Hatima sepakat untuk pulang
karena sudah malam.#