Wednesday, 17 July 2013

Bagian XII


Mulai Frustasi
Kabar tentang kegilaanku lambat laun ternyata sampai di telingan Mazra.
Entah siapa yang bercerita kepadanya Aku tak tahu.
Mungkin dia tahu dari Satria pikirku keras.
Sejujurnya Aku teramat sangat malu mengetahui Mazra tahu dengan kondisiku saat ini. Hingga suatu hari Mazra berhasil memergokiku sedang dalam keadaan tak sadarkan diri setelah Aku menegak dua botol bir.
Dia menyambangi kost-ku pagi hari bersama-sama suaminya, Arif. Mazra menampar wajahku sambil menangis seperti dia sedang menyesali sekaligus geram melihat kondisiku yang terlihat berantakan.
Tak lama berselang Mazra pun pergi dari kost-ku bersama suaminya entah ke mana mereka Aku tahu tahu, bahkan tak memperdulikannya. Mungkin mereka akan  ke rumah mbaknya, atau mungkin pula mereka pulang ke Surabaya.
Aku kemudian tidur pulas.
Sore harinya setelah Aku terbangun dan sadarkan diri, Hatima menelpon bahwa ia ingin main-main ke kost. Aku tidak melarangnya, dan mempersilahkannya sembari berkata Aku memang sedang berada di kost.
Aku dan Hatima memang sudah lama tak bertemu sejak beberapa bulan belakangan.
Dia sibuk dengan urusan studinya karena sedang merancang tesis. Sore ini dia datang dengan dandanan yang tampak sangat cantik, dan tak dapat ku sangkal bahwa Hatima memang sosok perempuan yang cantik dan menarik.
“Cantik sekali kau hari Hatima?”, Aku memuji gombal.
“Hehe..terima kasih van Ritt”, sambil tersenyum.
Hatima berdiri saja di depan pintu dan sepertinya tak berniat masuk.
“Ayo, saya mau ajak kamu ke luar”, ajaknya serius.
Sambil berdiri Aku bertanya;
“Emang mau ke mana sih cah ayu?”.
“Iiiih..ngegombal aja deh. Ayo kita nongkrong biar nggak  keliatan kusut terus itu wajahmu”, sambil menunjuk wajahku yang memang tampak kusut meski Aku baru saja mandi.
Setelah ganti baju dan mengenakan jaket, Aku menghampiri Hatima yang sejak tadi berdiri di depan pintu. Kemudian ku raih tangannya lalu berkata;
“Ayo. Begong aja.!!”, sergahku mencandainya.
Aku dan Hatima menuju ke sebuah cafe ternama di sudut kota Jogja.
Sore hari ini tampak sangat indah.
Ternyata hujan baru saja membasahi bumi tadi siang saat Aku masih tertidur lelap, dan Aku tak tahu. Cafe yang berada di bukit Bintang, sebutan kebanyakan orang untuk tempat ini, memperlihatkan jelas kecerahan yang menyelimuti kota Jogja dan sekitarnya. Mega-mega bertaburan di ujung senja mengantar matahari yang ingin pulang ke pangkuan malam. Kemilau senja sore ini merupakan lukisan alam yang didesain oleh Yang Maha Kuasa melalui siklus pergantian siang dan malam. Siang, petang, malam dan pagi sama-sama memperlihatkan wujud yang berbeda-beda serta bersaing memperlihatkan sisi keindahan masing-masing. Mereka seakan ingin manusia memuji keindahan yang mereka persembahkan kepada manusia beserta makhluk-makhluk lainnya.
“Coba liat di sana Tim, senjanya bagus yah dan tampak cerah sore menjelang petang ini”, Aku mengajak Hatima melihat senja.
Dia lalu menoleh segera ke arah barat kemudian mengucapkan kalimat syukur;
Subhanallah indah sekali ciptaan Tuhan”, ucapnya kagum.
Perlahan senja itu pun menghilang, malam juga ingin tampil. Adzan maghrib berkumandang, Aku dan Hatima segera menghampiri musholla dan sembahyang berjamaah.
Selepas sembahyang maghrib, kami berdua kembali duduk di tempat yang tadi telah kami pesan.
Aku seperti sudah tak ingat lagi kejadian tadi siang di kost, di mana Mazra dan suaminya datang menghampiriku. Aku perlahan mencoba melupakan Mazra meski jauh di lubuk hati Aku masih sangat mendambakan serta mengharapkannya. Namun begitu, Aku kembali sadar ada tembok penghalang yang berdiri kokoh di hadapan Mazra, yaitu suaminya. Gila saja jika Aku sampai berpikiran ingin merebut Mazra dari tangan Arif.!
Di sini, sambil menikmati keindahan Jogja di malam hari, di tempat agak tinggi ini lampu kelap kelip di cakrawala lagit-langit kota Jogja. Karena pemandangan inilah mengapa tempat ini dinamai banyak orang dengan sebutan bukit bintang. Tempat ini terdapat cafe yang berjejer di pinggir bukit, para pemilik berusaha menyuguhkan pemandangan langit-langit Joga sembari menyediakan berbagai macam aneka jualannya. Tak ayal, tempat ini jadi favorit kebanyakan orang, terutama kaum pendatang yang sedang menimba ilmu di kota gudeg.
Suasana malam hari di bukti bintang kali ini tampak lengang dan tidak terlalu ramai. Mungkin malam masih terlalu muda pikirku. Aku dan Hatima berbicang-bincang santai tentang banyak hal. Selalu ada nuansa kebahagiaan berbicang dengannya karena Hatima memang sosok perempuan yang ramah dan supel serta amat gemar bercanda.
Wajahku yang sejak tadi tampak kusut berubah drastis menjadi ceria oleh candaan Hatima yang kocak. Dia pandai betul kapan harus bercanda dan kapan pula dia harus serius saat berbincang.
“Kamu jangan tampak stres dan frustasi begitu banget Ritt, saya itu juga pernah mengalami hal yang sama seperti yang kamu alami sekarang ini”, candanya.
Aku mengkerutkan kening pertanda bingung dengan omongannya. Aku tidak paham apa yang ia maksud dari kalimatnya tersebut.
“Maksudnya?”, tanyaku bingung.
“Satu tahun yang lalu, saya juga ditinggal pacar saya menikah, dan tanpa sepengetahuanku”, ujarnya singkat.
Aku coba menyimak pengakuannya tentang itu. Hatima bercerita panjang lebar mengenai kisah asmaranya dengan pacarnya yang juga bernama Arif, yang berujung pada pengkhianatan.
Hatima tampak sedih saat bercerita. Hal itu jelas sekali terlihat dari matanya yang mulai meneteskan butiran-butiran air yang mengalir ke pipi Hatima namun tidak deras.
Airmata memang mengandung dua pesan, yakni airmata kesedihan dan airmata kebahagiaan. Namun begitu, bagaimanapun airmata tetaplah airmata, ia akan menjadi pertanda ekspresi emosional seseorang yang tak mampu mengungkapkan sebuah kenyataan dengan kata-kata. Utamanya kenyataan-kenyataan yang merenyuhkan selaksa jiwa. aku tahu, airmata Hatima jelas ungkapan kesedihan yang teramat mendalam.
Di sela-sela Hatima menyeka airmatanya dengan sapu tangan, Aku mendekatinya lalu berkata;
“Ternyata, kamu bisa menangis juga yah?”, sambil menatap Hatima.
Merasa malu, Hatima mencoba membuang jauh-jauh kesedihannya dan menghapus airmatanya sampai tak lagi berlinangan di matanya dan mendarat bebas di pipinya. Dan Aku sendiri sama sekali tak berani untuk menyapu airmatanya yang sepertinya ingin menetes lagi itu, karena Aku berpikir tak mau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Maksudnya, memanfaatkan kesedihan Hatima ini dengan maksud menguatkan hatinya. Aku biarkan saja dirinya sendirilah yang menenangkan hatinya sendiri, Aku hanya berusaha untuk memberikan empati semata.
Rasa cinta menurutku, terkadang hadir di saat seseorang mampu memanfaatkan hati yang sedang patah hanya dengan menghapus airmata yang tertumpah. Perasaan cinta yang datang pada saat tak tepat itu biasanya hanayalah sebuah kepalsuan belaka. Hal ini sangat sering terjadi yang akibatnya juga tidak berujung pada kebahagiaan. Rasa cinta tidak patut bersandingkan dengan kepura-puraan, dan jika ingin cinta itu bersemi maka tunggulah saat yang tepat serta pas untuk kita mengutarakannya kepada seseorang. Jangan di saat seseorang sedang menumpahkan air matanya, terlebih jika perkenalan kita usianya masih teramat singkat.
Hatima tampak agak lama mengembalikan kesedihannya menjadi sebuah kebahagiaan seperti biasanya. Aku membiarkannya saja. Bukan maksud tak mau peduli, tetapi Aku ingin melihat dia cerita terlebih dahulu karena Aku punya sebuah rencana untuknya.
Rencana tersebut sudah Aku pikirkan matang-matang jauh-jauh hari. Aku pikir, saat ini adalah waktu yang tepat untuk ku sampaikan kepada Hatima, namun dia masih belum tampak ceria. Aku pun menundanya, hingga kami memutuskan untuk pulang karena sudah terlalu malam.
“Ayo kita pulang Tim, hari sudah semakin malam ini”, ajakku.
Dia pun segera beranjak berdiri lalu berkata;
“Kamu nggak  jadi pengen ngomong sama saya?”, tanyanya singkat.
Aku kaget. Segera Aku menoleh ke arahnya.
“Kok kamu tahu?”, tanyaku heran.
Sampil menepuk pundakku dia bilang;
“Sudahlah Ritt, saya tahu kalau kamu ingin mengatakan sesuatu kepadaku dan itu tampak dari sikapmu sejak tadi yang telihat sebel melihat saya menangis”, menimpali.
Aku diam saja dan memutuskan untuk tidak berkata apa-apa.
“Sorry, saya tadinya tak tahu kalau kamu mau mengajakku membicarakan sesuatu yang serius. Saya tahu kau nggak  jadi karena melihat saya menangis dan sedih, itu bagus”, lanjutnya.
Sambil memegang tangannya, Aku kemudian bialng;
“Tim, Aku turut sedih”, ujarku singkat.
Sambil berusaha tersenyum, Hatima berkata;
“Terima kasih, saya juga turut bersedih dengan kisah asmaramu”, dia mencoba mencandai.
Kami tertawa. Setelah itu kami pun pulang.
Sesampainya kami di kost, Hatima buru-buru pulang karena sudah malam dan kantuk. Sementara Aku sendiri masih berdiam diri di kost, merebahkan tubuh ke kasur sembari merenung hingga akhirnya tertidur pulas.
Keesokan harinya Aku berangkat ke Jakarta karena ada sesuatu urusan. Ke ibu kota Aku berangkat sendirian menumpang keretaapi. Di sana Aku menemui abang dan pamanku yang sedang menghadiri acara wisuda anak-anaknya. Tiga hari kemudian Aku balik lagi ke Jogja.
Sesampainya Aku di Jogja pagi, tersiar kabar bahwa Fid masuk rumah sakit akibat kecelakaan yang menimpanya semalam. Segera Aku ke sana membesuk Fid yang masih terbaring lemah dengan wajah lebam seperti habis dipukul orang.
Setelah menjenguk Fid, Aku pamit pulang ingin istirahat karena baru saja sampai Jogja. Menurut dokter, Fid besok sudah diperbolehkan pulang karena luka yang dialaminya tidak begitu parah.
Sampai di kost Aku merasakan lelah yang mengantarkanku tuk tidur lagi. Perjalanan dari Jakarta menuju Jogja sangat panjang dan melelahkan.#
Disqus Comments