Mulai Frustasi
Kabar tentang kegilaanku lambat laun ternyata sampai
di telingan Mazra.
Entah siapa yang bercerita kepadanya Aku tak tahu.
Mungkin dia tahu dari Satria pikirku keras.
Sejujurnya Aku teramat sangat malu mengetahui Mazra
tahu dengan kondisiku saat ini. Hingga suatu hari Mazra berhasil memergokiku
sedang dalam keadaan tak sadarkan diri setelah Aku menegak dua botol bir.
Dia menyambangi kost-ku pagi hari bersama-sama
suaminya, Arif. Mazra menampar wajahku sambil menangis seperti dia sedang
menyesali sekaligus geram melihat kondisiku yang terlihat berantakan.
Tak lama berselang Mazra pun pergi dari kost-ku
bersama suaminya entah ke mana mereka Aku tahu tahu, bahkan tak
memperdulikannya. Mungkin mereka akan ke
rumah mbaknya, atau mungkin pula mereka pulang ke Surabaya.
Aku kemudian tidur pulas.
Sore harinya setelah Aku terbangun dan sadarkan diri, Hatima
menelpon bahwa ia ingin main-main ke kost. Aku tidak melarangnya, dan
mempersilahkannya sembari berkata Aku memang sedang berada di kost.
Aku dan Hatima memang sudah lama tak bertemu sejak
beberapa bulan belakangan.
Dia sibuk dengan urusan studinya karena sedang
merancang tesis. Sore ini dia datang dengan dandanan yang tampak sangat cantik,
dan tak dapat ku sangkal bahwa Hatima memang sosok perempuan yang cantik dan
menarik.
“Cantik sekali kau hari Hatima?”, Aku memuji gombal.
“Hehe..terima kasih van Ritt”, sambil tersenyum.
Hatima berdiri saja di depan pintu dan sepertinya tak
berniat masuk.
“Ayo, saya mau ajak kamu ke luar”, ajaknya serius.
Sambil berdiri Aku bertanya;
“Emang mau ke mana sih cah ayu?”.
“Iiiih..ngegombal
aja deh. Ayo kita nongkrong biar nggak
keliatan kusut terus itu wajahmu”, sambil
menunjuk wajahku yang memang tampak kusut meski Aku baru saja mandi.
Setelah ganti baju dan mengenakan jaket, Aku
menghampiri Hatima yang sejak tadi berdiri di depan pintu. Kemudian ku raih
tangannya lalu berkata;
“Ayo. Begong aja.!!”, sergahku mencandainya.
Aku dan Hatima menuju ke sebuah cafe ternama di sudut
kota Jogja.
Sore hari ini tampak sangat indah.
Ternyata hujan baru saja membasahi bumi tadi siang
saat Aku masih tertidur lelap, dan Aku tak tahu. Cafe yang berada di bukit
Bintang, sebutan kebanyakan orang untuk tempat ini, memperlihatkan jelas
kecerahan yang menyelimuti kota Jogja dan sekitarnya. Mega-mega bertaburan di
ujung senja mengantar matahari yang ingin pulang ke pangkuan malam. Kemilau
senja sore ini merupakan lukisan alam yang didesain oleh Yang Maha Kuasa melalui
siklus pergantian siang dan malam. Siang, petang, malam dan pagi sama-sama
memperlihatkan wujud yang berbeda-beda serta bersaing memperlihatkan sisi
keindahan masing-masing. Mereka seakan ingin manusia memuji keindahan yang
mereka persembahkan kepada manusia beserta makhluk-makhluk lainnya.
“Coba liat di sana Tim, senjanya bagus yah dan tampak
cerah sore menjelang petang ini”, Aku mengajak Hatima melihat senja.
Dia lalu menoleh segera ke arah barat kemudian
mengucapkan kalimat syukur;
“Subhanallah
indah sekali ciptaan Tuhan”, ucapnya kagum.
Perlahan senja itu pun menghilang, malam juga ingin
tampil. Adzan maghrib berkumandang, Aku dan Hatima segera menghampiri musholla
dan sembahyang berjamaah.
Selepas sembahyang maghrib, kami berdua kembali duduk
di tempat yang tadi telah kami pesan.
Aku seperti sudah tak ingat lagi kejadian tadi siang
di kost, di mana Mazra dan suaminya datang menghampiriku. Aku perlahan mencoba
melupakan Mazra meski jauh di lubuk hati Aku masih sangat mendambakan serta
mengharapkannya. Namun begitu, Aku kembali sadar ada tembok penghalang yang
berdiri kokoh di hadapan Mazra, yaitu suaminya. Gila saja jika Aku sampai
berpikiran ingin merebut Mazra dari tangan Arif.!
Di sini, sambil menikmati keindahan Jogja di malam
hari, di tempat agak tinggi ini lampu kelap kelip di cakrawala lagit-langit
kota Jogja. Karena pemandangan inilah mengapa tempat ini dinamai banyak orang
dengan sebutan bukit bintang. Tempat ini terdapat cafe yang berjejer di pinggir
bukit, para pemilik berusaha menyuguhkan pemandangan langit-langit Joga sembari
menyediakan berbagai macam aneka jualannya. Tak ayal, tempat ini jadi favorit
kebanyakan orang, terutama kaum pendatang yang sedang menimba ilmu di kota
gudeg.
Suasana malam hari di bukti bintang kali ini tampak
lengang dan tidak terlalu ramai. Mungkin malam masih terlalu muda pikirku. Aku
dan Hatima berbicang-bincang santai tentang banyak hal. Selalu ada nuansa kebahagiaan
berbicang dengannya karena Hatima memang sosok perempuan yang ramah dan supel
serta amat gemar bercanda.
Wajahku yang sejak tadi tampak kusut berubah drastis
menjadi ceria oleh candaan Hatima yang kocak. Dia pandai betul kapan harus
bercanda dan kapan pula dia harus serius saat berbincang.
“Kamu jangan tampak stres dan frustasi begitu banget Ritt,
saya itu juga pernah mengalami hal yang sama seperti yang kamu alami sekarang
ini”, candanya.
Aku mengkerutkan kening pertanda bingung dengan
omongannya. Aku tidak paham apa yang ia maksud dari kalimatnya tersebut.
“Maksudnya?”, tanyaku bingung.
“Satu tahun yang lalu, saya juga ditinggal pacar saya
menikah, dan tanpa sepengetahuanku”, ujarnya singkat.
Aku coba menyimak pengakuannya tentang itu. Hatima
bercerita panjang lebar mengenai kisah asmaranya dengan pacarnya yang juga
bernama Arif, yang berujung pada pengkhianatan.
Hatima tampak sedih saat bercerita. Hal itu jelas
sekali terlihat dari matanya yang mulai meneteskan butiran-butiran air yang
mengalir ke pipi Hatima namun tidak deras.
Airmata memang mengandung dua pesan, yakni airmata
kesedihan dan airmata kebahagiaan. Namun begitu, bagaimanapun airmata tetaplah
airmata, ia akan menjadi pertanda ekspresi emosional seseorang yang tak mampu
mengungkapkan sebuah kenyataan dengan kata-kata. Utamanya kenyataan-kenyataan
yang merenyuhkan selaksa jiwa. aku tahu, airmata Hatima jelas ungkapan
kesedihan yang teramat mendalam.
Di sela-sela Hatima menyeka airmatanya dengan sapu
tangan, Aku mendekatinya lalu berkata;
“Ternyata, kamu bisa menangis juga yah?”, sambil
menatap Hatima.
Merasa malu, Hatima mencoba membuang jauh-jauh
kesedihannya dan menghapus airmatanya sampai tak lagi berlinangan di matanya
dan mendarat bebas di pipinya. Dan Aku sendiri sama sekali tak berani untuk
menyapu airmatanya yang sepertinya ingin menetes lagi itu, karena Aku berpikir
tak mau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Maksudnya, memanfaatkan
kesedihan Hatima ini dengan maksud menguatkan hatinya. Aku biarkan saja dirinya
sendirilah yang menenangkan hatinya sendiri, Aku hanya berusaha untuk
memberikan empati semata.
Rasa cinta menurutku, terkadang hadir di saat
seseorang mampu memanfaatkan hati yang sedang patah hanya dengan menghapus
airmata yang tertumpah. Perasaan cinta yang datang pada saat tak tepat itu
biasanya hanayalah sebuah kepalsuan belaka. Hal ini sangat sering terjadi yang
akibatnya juga tidak berujung pada kebahagiaan. Rasa cinta tidak patut bersandingkan
dengan kepura-puraan, dan jika ingin cinta itu bersemi maka tunggulah saat yang
tepat serta pas untuk kita mengutarakannya kepada seseorang. Jangan di saat
seseorang sedang menumpahkan air matanya, terlebih jika perkenalan kita usianya
masih teramat singkat.
Hatima tampak agak lama mengembalikan kesedihannya
menjadi sebuah kebahagiaan seperti biasanya. Aku membiarkannya saja. Bukan
maksud tak mau peduli, tetapi Aku ingin melihat dia cerita terlebih dahulu
karena Aku punya sebuah rencana untuknya.
Rencana tersebut sudah Aku pikirkan matang-matang jauh-jauh
hari. Aku pikir, saat ini adalah waktu yang tepat untuk ku sampaikan kepada
Hatima, namun dia masih belum tampak ceria. Aku pun menundanya, hingga kami
memutuskan untuk pulang karena sudah terlalu malam.
“Ayo kita pulang Tim, hari sudah semakin malam ini”, ajakku.
Dia pun segera beranjak berdiri lalu berkata;
“Kamu nggak jadi pengen ngomong sama saya?”, tanyanya
singkat.
Aku kaget. Segera Aku menoleh ke arahnya.
“Kok kamu tahu?”, tanyaku heran.
Sampil menepuk pundakku dia bilang;
“Sudahlah Ritt, saya tahu kalau kamu ingin mengatakan
sesuatu kepadaku dan itu tampak dari sikapmu sejak tadi yang telihat sebel
melihat saya menangis”, menimpali.
Aku diam saja dan memutuskan untuk tidak berkata
apa-apa.
“Sorry, saya tadinya tak tahu kalau kamu mau
mengajakku membicarakan sesuatu yang serius. Saya tahu kau nggak jadi karena melihat saya menangis dan sedih,
itu bagus”, lanjutnya.
Sambil memegang tangannya, Aku kemudian bialng;
“Tim, Aku turut sedih”, ujarku singkat.
Sambil berusaha tersenyum, Hatima berkata;
“Terima kasih, saya juga turut bersedih dengan kisah
asmaramu”, dia mencoba mencandai.
Kami tertawa. Setelah itu kami pun pulang.
Sesampainya kami di kost, Hatima buru-buru pulang
karena sudah malam dan kantuk. Sementara Aku sendiri masih berdiam diri di
kost, merebahkan tubuh ke kasur sembari merenung hingga akhirnya tertidur
pulas.
Keesokan harinya Aku berangkat ke Jakarta karena ada
sesuatu urusan. Ke ibu kota Aku berangkat sendirian menumpang keretaapi. Di
sana Aku menemui abang dan pamanku yang sedang menghadiri acara wisuda
anak-anaknya. Tiga hari kemudian Aku balik lagi ke Jogja.
Sesampainya Aku di Jogja pagi, tersiar kabar bahwa Fid
masuk rumah sakit akibat kecelakaan yang menimpanya semalam. Segera Aku ke sana
membesuk Fid yang masih terbaring lemah dengan wajah lebam seperti habis
dipukul orang.
Setelah menjenguk Fid, Aku pamit pulang ingin
istirahat karena baru saja sampai Jogja. Menurut dokter, Fid besok sudah
diperbolehkan pulang karena luka yang dialaminya tidak begitu parah.
Sampai di kost Aku merasakan lelah yang mengantarkanku
tuk tidur lagi. Perjalanan dari Jakarta menuju Jogja sangat panjang dan
melelahkan.#