Ke Surabaya
Aku benar-benar berterima kasih banyak pada Hatima karena
telah menguatkanku agar Aku segera mencari-tahu di mana kini Mazra berada.
Hari ini Aku memutuskan untuk berangkat ke Jawa Timur
mencari Mazra di kampung halamannya karena Aku sangat yakin pasti dia berada di
sana.
Sengaja Aku tidak mengajak Hatima karena Aku tak ingin
merepotkannya. Biarlah Aku sendiri yang menyelesaikan permasalahan pribadiku
ini tanpa melibatkan orang lain, sekalipun Hatima sahabat karibku itu.
Sebelum Aku berangkat, Aku memberitahu Hatima bahwa hari
ini Aku akan mengikuti sarannya semalam. Dia menanyaiku apakah Aku butuh
ditemani atau tidak, dan Aku menjawab bahwa Aku akan berangkat seorang diri
saja. Hatima menyetujuinya seraya berpesan agar Aku lebih mendahului pikiranku
daripada egoku. Baiklah, pikirku.
Aku putuskan hanya membawa tas kecil dalam perjalananku
ini karena Aku memang tidak akan berlama-lama dalam kepergianku ini. Aku naik
bus berangkat ke sana. Bismillah.
Delapan jam perjalanan menuju Surabaya Aku sampai di sana
hari sudah malam. Tidak mungkin Aku langsung menuju rumah Mazra malam-malam
begini pikirku. Akhirnya Aku memutuskan untuk bermalam di sebuah penginapan yang
tak jauh dari terminal.
Keesokan harinya, Aku mencoba menghubungi nomer handphone
Mazra sebelum Aku menuju rumahnya. Nomernya aktif, dan jelas sekali yang
menjawab adalah suara Mazra, Aku masih hafal betul suaranya itu.
Setelah menanyakan kabarnya, aku segera mengatakan
kepadanya bahwa Aku sekarang sedang berada di Surabaya dan berencana pagi ini
akan datang ke rumahnya. Mazra terdengar sedikit kaget dengan keberadaanku di
Surabaya ini, dan dengan lirih dia pun mempersilahkanku untuk datang ke rumahnya.
Tanpa panjang lebar Aku berbicara, dan dengan semangat
yang menggebu-gebu, Aku pun bergegas ke terminal untuk menumpang bus yang
menuju arah rumah Mazra.
Kini, Aku seakan terasa hidup kembali dan bernafas lega
mendengar Mazra yang ternyata berada di rumahnya, di kampung halamannya. Dan
tak lupa Aku mengabarkan kepada Hatima bahwa Mazra memang sedang berada di
kampung halamannya. Hatima pun ikut menyemangatiku.
Kurang-lebih satu jam perjalanan, Aku sudah sampai di rumah
Mazra. Dengan langkah kaki mantap, Aku berjalan menuju rumah Mazra dan ketika
sampai di depan pintu, Aku mengetuknya seraya memberikan salam.
Tok..tok..tok..Assalamu’alaikum.!!
Terdengar suara perempuan dari dalam menjawab salamku.
Wa’alaikum salam.!!
Dengan segera pintu rumah terbuka. Dan Mazra sendiri yang
membukakan pintunya. Aku segera menawarkan senyuman melihat sosok Mazra yang mengenakan
daster warna merah dan berkerudung.
“Mari masuk mas”, dia mempersilahkanku masuk dan duduk di
sofa.
Aku pun duduk dengan hati yang gembira sementara Mazra masuk
ke dalam dan kembali ke ruang tamu membawakan minuman.
Sambil menuangkan minuman ke dalam gelas, Aku menatap
penuh rindu dengan wajah Mazra yang tampak semakin cantik. Setelah itu Mazra
duduk di Sofa berseberangan dengan posisi dudukku sambil tersennyum manis.
“Apa kabarnya mas, lama nggak bertemu.”, tanyanya santun
sambil mempersilahkan minum.
Aku segera menjawab pertanyaannya mengabaikan
kerongkonganku yang sejak tadi terasa kering karena cuaca Surabaya yang panas.
“Alhamdulillah sehat wal’afiat nduk”, Aku menjawab.
“Diminum dulu mas tehnya”, tawar Mazra sambil menyodorkan
gelas kepadaku.
Tanpa sungkan Aku pun meminumnya karena rasa dahaga yang
luar biasa.
“Sama siapa mas datang ke sini?”, tanyanya Mazra.
“Aku sendirian aja. Dan memang tujuannya untuk menemui
kamu nduk”, ujarku.
“Oh gitu. Maaf lho mas aku nggak kasih tau kalau aku
pulang kampung. Aku pulang aja mendadak karena suatu hal”, imbuh Mazra.
Mazra tidak memberitahu sesuatu hal yang dikatakannya
mendadak tersebut. Aku kemudian bertanya-tanya dalam hati mengapa dia tak
memberitahukan kepadaku. Di wajah Mazra jelas terlihat sedang menyimpan sesuatu
yang dirahasiakannya dariku.
Namun Aku tak mau penasaran, karena yang terpenting
bagiku saat ini bahwa tujuanku menemui Mazra telah berhasil, dan hal itu jauh
lebih dari cukup.
Kemudian, Aku menceritakan kepada Mazra bahwa selama ini
Aku mencari-cari dirinya di Jogja dan sempat mendatangi rumah mbaknya namun tak
berjumpa dengan siapapun di rumah itu, dan Aku menanyakan kepada pak Lis,
tetangga sekitar tentang penghuni rumah yang tampak kosong.
Pak Lis lah yang justru mengabarkan kepadaku bahwa
penghuni rumah, termasuk Mazra sedang pulang ke kampung halaman dua bulan yang
lalu.
Setelah mendengarkan cerita dariku, Mazra kemudian pamit mau
ke belakang. Agak lama Mazra kembali.
Aku kaget melihat Mazra kembali justru tidak sendirian.
Ia mengajak bapak-ibunya, adik kandungnya, mbaknya dan suaminya, beserta
seorang lelaki paruh baya yang Aku sendiri tak mengenalnya. Aku bersalaman
dengan mereka dengan penuh takzim.
Sekeluarga itu tampak ragu dan canggung duduk di sofa
menghadapku. Mataku menolot penuh dengan keheranan dan bertanya-tanya, bahkan
memang benar-benar tidak paham dengan sikap Mazra sekeluarga yang menurutku tampak
sangsi.
Aku merasa tak
nyaman dengan kondisi yang serba sangsi ini. Mau memulai bicara lidahku kelu,
begitu pula Mazra sekeluarga tampak bingung serta tak ada wajah ceria yang terlihat.
Mungkin mereka akan memberikan kabar buruk buatku, pikirku spontan. Entah skenario
apa, tidak terlintas dalam pikiranku. Yang Aku tahu sekarang bahwa posisiku
seperti sedang menjadi terdakwa di hadapan para juru hakim.
Aku mencoba memecah suasana sangsi itu dengan menanyakan
kabar bapak-ibunya Mazra beserta mbaknya dan suami mbaknya. Selain itu, Aku
juga mencoba ajak bercanda Eria yang lucu, yang dulu memang terbilang akrab
denganku.
Suasana kemudian berubah mencair, tapi tetap saja
menyisakan kesangsian di ruang tamu.
Belum ada tanda-tanda bahwa Aku akan dihakimi. Tiba-tiba
di depan terdengar suara salam dari seorang lelaki. Mazra menghampiri suara itu
dan mempersilahkan masuk ke dalam rumah seseorang yang ternyata adalah salah sahabat
terbaikku dulu di Jogja. Ya, Satria.
Aku kaget seakan tak percaya bisa berjumpa Satria di
rumah Mazra. Telisik demi telisik ternyata Mazra sejak awal kedatanganku tadi
langsung menghubungi Satria untuk datang ke rumah, dan kebetulan rumah Satria
hanya berjarak tiga jam dari rumahnya Mazra. Aku kembali tidak paham mengapa Satria
dilibatkan dalam pertemuan ini, padahal sejatinya pertemuan ini hanyalah sebuah
kebetulan semata.
Satria duduk di sampingku. Suasana menjadi cair setelah
Satria membuka obrolan di antara kami di ruang tamu ini. Satria memang
merupakan sosok yang humoris dan bisa dibilang cerewet sehingga suasana yang
tadinya sangsi dan canggung seketika berubah menjadi gelak tawa pasca
kedatangan Satria.
“Jadi Ritt ini pak,bu sahabat saya sewaktu kuliah di
Jogja dulu, cuma kita sudah lama tidak bertemu karena saya lebih dulu lulus”,
papar Satria.
Bapak dan ibu Mazra hanya mengangguk mendengar penjelasan
Satria. Sepertinya mereka tidak begitu apresiatif mendengarkan cerita dari
Satria, dan mereka lebih memilih diam saja. Suasana jadi tampak tidak nyaman,
mungkin mereka agak tidak setuju dengan kedatanganku ke rumah.
Dengan berani Aku menyodorkan pertanyaan bernada bimbang.
“Sebenarnya ini ada apa geh pak, bu, mas, Mazra? Kok sepertinya ada sesuatu yang ingin panjenengan sampaikan ke saya?”, tanyaku
penasaran.
Mas Rinto, suami mbaknya Mazra mengambil posisi seakan
ingin angkat bicara. Aku sendiri menoleh kepadanya.
“Jadi begini mas, kami memang sudah tahu mengenai
hubunganmu dengan Mazra selama ini. Kami tahu kalian saling mencintai dan
saling mengasihi. Kami awalnya sangat senang karena menurut kami mas Ritt
orangnya baik dan bertanggungjawab”, papar Mar Rinto datar.
Tidak ada yang mencoba berbicara, menunggu kelanjutan
dari penjelasan mas Rinto. Begitu pula Aku hanya mengangguk-angguk saja.
“Satu bulan yang lalu, saat mas Ritt masih berada di
kalimantan, kami memutuskan untuk menikahkan adik kami Mazra dengan mas Arif
ini (sambil menunjuk pada lelaki yang berada di samping Mazra) atas permintaan
kedua orang tua kami”, papar mas Rinto mantap.
Aku terdiam dan mulutku kelu. Taka da sesuatu pun yang
Aku rasakan saat mendengar penjelasan mas Rinto kecuali kepedihan yang sangat
mendalam di lubuk hati sana. Detak jantungku berdetak cepat, emosiku terbakar
tapi Aku mencoba untuk menahan sekuat-kuatnya segala rasa kepedihan yang
menghujam sanubari.
Sementara Satria berusaha menenangkanku dengan sikapnya.
Sepertinya dia memang telah tahu sejak lama tentang pernikahan Mazra dengan
Arif, dan diundangnya dia ke rumah ini adalah untuk menenangkanku. Mazra yang
menyuruhnya.
Di sudut lain. Aku melihat mbak Anis, istri mas Rinto tampak
merasa tidak enak hati kepadaku, karena sejatinya dia adalah sosok dari
keluarga Mazra yang teramat menyetujui hubunganku dengan adiknya Mazra. Tetapi
dia sendiri tak dapat berbuat apa-apa, karena pernikahan Mazra dengan Arif
murni karena keinginan orang tuanya.
“Kami sengaja menyembunyikan kabar ini dari kamu mas
Ritt, dengan harapan kamu tidak terlalu merasa sakit hati dengan keputusan
keluarga ini”, tambah mas Rinto.
Aku gugup, mencoba untuk menahan ego dan lebih
mendahulukan logikaku, sesuai pesan dari Hatima tempo hari. Aku mencoba
berpikir realistis, dan itu sangat membantuku dalam mensikapi persoalan ini.
“Menurut kamu bagaimana mas Ritt?”, tanya mas Rinto santun.
Mendengar pertanyaan itu Aku lantas bangkit, duduk tegak
mencoba menjawabnya dengan perasaan yang tertatih-tatih tapi memperlihatkan
ketegaran palsu.
“Iya. Iya mas, saya mengerti dengan kabar mengejutkan
ini. Apapun yang membawa kebahagiaan buat Mazra dan sekelurga saya bisa
menerimanya dengan lapang dada”, ujarku.
“Jika memang ternyata Mazra sudah menikah dengan orang
lain selain saya, berarti memang jodoh dia berada di tangan mas Arif ini”, imbuhku
bijak.
“Yang terpenting bagi saya adalah kepastian tentang Mazra.
Hari ini saya sudah mendapatkan kepastian itu dan bagi saya ini sudah cukup
sebagai jawaban atas segala kegundahan saya selama beberapa hari belakangan”,
lanjutku.
Aku tak melihat aba-aba Mazra ingin menyampaikan sesuatu
atau hanya sekedar mengucapkan kata maaf. Ia sendiri sepertinya telah
menyerahkan semuanya kepada mas Rinto berharap Aku mengerti dengan penjelasan
dari mas iparnya tersebut. Meski sebenarnya Aku sendiri sangat mengharapakan
Mazra berkata sesuatu sebagai bentuk pertanggungjawabannya terhadap langkah
yang diambilnya menerima lamaran Arif yang sekarang telah resmi menjadi
suaminya.
Aku turut berbahagia melihat Mazra telah diperistri oleh
orang lain, meski sebenarnya Aku memendam rasa kesakitan yang cukup mendalam. Aku
selalu menampilkan sikap realistis dalam sikap dan cara berpikir untuk
menghadapi kenyataan ini.
Lagi pula, kalau dipikir-pikir, Aku sendiri memang
merasa tak pantas buat Mazra, dia terlahir dari lingkungan keluarga yang telah
lebih baik kondisi perekonomiannya dibadingkan Aku yang hanya seorang
pengangguran tanpa kepastian. Sementara suami Mazra merupakan orang yang
berlatar-belakang seorang yang mapan dan sejahtera, ganteng, semampai, dan
punya masa depan yang pasti cerah.
Tanpa bermaksud membandingkan dengan diriku, secara
materi Arif lebih pantas jika disandingkan dengan Mazra, dan Aku mengakuinya
penuh dengan kejujuran. Ini hanyalah sebuah pengakuan, bukan berusaha
membanding-bandingkan.!
Menurut pengakuan bapak Mazra, Arif dan Mazra memang
sejak dahulu, sebelum Mazra kenal denganku, sudah menjalin hubungan namun
sempat terputus karena keterputusan komunikasi dan jarak. Mazra pergi studi ke
Jogja sedangkan Arif menetap di Tuban sebelum akhirnya mereka dipertemukan oleh
takdir jodoh.
Setelah mendengar penjelasan mengenai alasan mengapa
Mazra dan Arif menikah, Aku semakin merasakan lapang dada dan telah kuputuskan
tuk mengikhlaskannya. Bahkan, Aku sendiri beranggapan bahwa Arif dan Mazra
adalah dua pasangan yang bertanggungjawab terhadap perasaan cinta yang
dianugerahkan Tuhan kepada mereka. Memang manusia seharusnya bersikap seperti
itu, jika suatu tindakan telah dilakukan, baik itu tindakan dalam bentuk
perilaku jasmani maupun rohani, maka harus dipertanggungjawabkan. Termasuk
dalam hal cinta dan mencintai, sayang dan menyayangi, serta kasih dan
mengasihi, karena ada penilaian tuhan terhadap segala tingkah polah kita,
termasuk perilaku hati.
Aku kini telah mendapatkan kejelasan. Pertemuanku
dengan Mazra ini, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Bagiku, pertemuan ini
sungguh mengharukan, di sana bercampur dua perasaan yaitu rasa sedih dan syukur
karena bagiku Tuhan memberikan sebuah jawaban. Dan menurut hematku, hasil itu tidak
memandang baik-buruk karena hasil lebih merupakan sebuah nilai. Ya, nilai hasil
dari terjemahan terhadap sebuah proses dan daya upaya yang telah dilakukan.
Hari sudah sore.
Aku merasa bahwa kunjunganku ke rumah Mazra sudah
cukup dan keperluanku sudah terpenuhi. Aku memutuskan untuk berpamitan dengan
Mazra dan sekeluarga untuk kembali ke Jogjakarta. Satria mengantarku ke terminal
dan Aku menumpang bus jurusan Jogja.
“Baik. Bapak, Ibu, Mas Rinto, Mbak Anis, Maz Arif dan
Mazra, saya pamit untuk kembali ke Jogja”, Aku berdiri mengulurkan tangan
bersalaman dengan anggota keluarga Mazra.
“Assalamu’alaikum”, Aku mengundur diri.
Setelah meninggalkan halaman rumah Mazra, Aku tak
berniat tuk menoleh ke belakang menatapi rumah tersebut mengemis harapan
sekiranya Mazra memanggilku tuk kembali.
Aku dan Satria menaiki sepeda motor menuju terminal.
Satria mengendarai sepeda motor malaju kencang dan
tidak berselang lama kami sudah sampai di terminal.
Sesampainya kami di terminal Surabaya, Aku bergegas
menaiki bus dan setelah sebelumnya berpamitan dengan Satria.
“Oke Ritt, kamu yang sabar dan tabah ya, ambil
hikmahnya”, pesan Satria kepadaku di pintu bus.
“Siip Sat, Aku pasti akan melakukan itu”, sambil mengacungkan
jempol dan senyuman Aku meyakini Satria.
Senja telah jatuh di ufuk barat, tak lama kemudian,
bus berangkat membawa meninggalkan kota Surabaya, Mazra, dan sahabatku Satria.
Perasaanku bercampur-aduk, hingga Aku tak mampu
menyembunyikan kesedihan dan kepiluan hati. Untuk menahan airmata agar tak
jatuh, Aku memutuskan untuk tidur.Goodbye Mazra, goodbye mantan kekasihku.!#