Wednesday, 17 July 2013

Bagian IX


Ke Surabaya
            Aku benar-benar berterima kasih banyak pada Hatima karena telah menguatkanku agar Aku segera mencari-tahu di mana kini Mazra berada.
            Hari ini Aku memutuskan untuk berangkat ke Jawa Timur mencari Mazra di kampung halamannya karena Aku sangat yakin pasti dia berada di sana.
            Sengaja Aku tidak mengajak Hatima karena Aku tak ingin merepotkannya. Biarlah Aku sendiri yang menyelesaikan permasalahan pribadiku ini tanpa melibatkan orang lain, sekalipun Hatima sahabat karibku itu.
            Sebelum Aku berangkat, Aku memberitahu Hatima bahwa hari ini Aku akan mengikuti sarannya semalam. Dia menanyaiku apakah Aku butuh ditemani atau tidak, dan Aku menjawab bahwa Aku akan berangkat seorang diri saja. Hatima menyetujuinya seraya berpesan agar Aku lebih mendahului pikiranku daripada egoku. Baiklah, pikirku.
            Aku putuskan hanya membawa tas kecil dalam perjalananku ini karena Aku memang tidak akan berlama-lama dalam kepergianku ini. Aku naik bus berangkat ke sana. Bismillah.
            Delapan jam perjalanan menuju Surabaya Aku sampai di sana hari sudah malam. Tidak mungkin Aku langsung menuju rumah Mazra malam-malam begini pikirku. Akhirnya Aku memutuskan untuk bermalam di sebuah penginapan yang tak jauh dari terminal.
            Keesokan harinya, Aku mencoba menghubungi nomer handphone Mazra sebelum Aku menuju rumahnya. Nomernya aktif, dan jelas sekali yang menjawab adalah suara Mazra, Aku masih hafal betul suaranya itu.
            Setelah menanyakan kabarnya, aku segera mengatakan kepadanya bahwa Aku sekarang sedang berada di Surabaya dan berencana pagi ini akan datang ke rumahnya. Mazra terdengar sedikit kaget dengan keberadaanku di Surabaya ini, dan dengan lirih dia pun mempersilahkanku untuk datang ke rumahnya.
            Tanpa panjang lebar Aku berbicara, dan dengan semangat yang menggebu-gebu, Aku pun bergegas ke terminal untuk menumpang bus yang menuju arah rumah Mazra.
            Kini, Aku seakan terasa hidup kembali dan bernafas lega mendengar Mazra yang ternyata berada di rumahnya, di kampung halamannya. Dan tak lupa Aku mengabarkan kepada Hatima bahwa Mazra memang sedang berada di kampung halamannya. Hatima pun ikut menyemangatiku.
            Kurang-lebih satu jam perjalanan, Aku sudah sampai di rumah Mazra. Dengan langkah kaki mantap, Aku berjalan menuju rumah Mazra dan ketika sampai di depan pintu, Aku mengetuknya seraya memberikan salam.
            Tok..tok..tok..Assalamu’alaikum.!!
            Terdengar suara perempuan dari dalam menjawab salamku. Wa’alaikum salam.!!
            Dengan segera pintu rumah terbuka. Dan Mazra sendiri yang membukakan pintunya. Aku segera menawarkan senyuman melihat sosok Mazra yang mengenakan daster warna merah dan berkerudung.
            “Mari masuk mas”, dia mempersilahkanku masuk dan duduk di sofa.
            Aku pun duduk dengan hati yang gembira sementara Mazra masuk ke dalam dan kembali ke ruang tamu membawakan minuman.
            Sambil menuangkan minuman ke dalam gelas, Aku menatap penuh rindu dengan wajah Mazra yang tampak semakin cantik. Setelah itu Mazra duduk di Sofa berseberangan dengan posisi dudukku sambil tersennyum manis.
            “Apa kabarnya mas, lama nggak bertemu.”, tanyanya santun sambil mempersilahkan minum.
            Aku segera menjawab pertanyaannya mengabaikan kerongkonganku yang sejak tadi terasa kering karena cuaca Surabaya yang panas.
            “Alhamdulillah sehat wal’afiat nduk”, Aku menjawab.
            “Diminum dulu mas tehnya”, tawar Mazra sambil menyodorkan gelas kepadaku.
            Tanpa sungkan Aku pun meminumnya karena rasa dahaga yang luar biasa.
            “Sama siapa mas datang ke sini?”, tanyanya Mazra.
            “Aku sendirian aja. Dan memang tujuannya untuk menemui kamu nduk”, ujarku.
            “Oh gitu. Maaf lho mas aku nggak kasih tau kalau aku pulang kampung. Aku pulang aja mendadak karena suatu hal”, imbuh Mazra.
            Mazra tidak memberitahu sesuatu hal yang dikatakannya mendadak tersebut. Aku kemudian bertanya-tanya dalam hati mengapa dia tak memberitahukan kepadaku. Di wajah Mazra jelas terlihat sedang menyimpan sesuatu yang dirahasiakannya dariku.
            Namun Aku tak mau penasaran, karena yang terpenting bagiku saat ini bahwa tujuanku menemui Mazra telah berhasil, dan hal itu jauh lebih dari cukup.
            Kemudian, Aku menceritakan kepada Mazra bahwa selama ini Aku mencari-cari dirinya di Jogja dan sempat mendatangi rumah mbaknya namun tak berjumpa dengan siapapun di rumah itu, dan Aku menanyakan kepada pak Lis, tetangga sekitar tentang penghuni rumah yang tampak kosong.
            Pak Lis lah yang justru mengabarkan kepadaku bahwa penghuni rumah, termasuk Mazra sedang pulang ke kampung halaman dua bulan yang lalu.
            Setelah mendengarkan cerita dariku, Mazra kemudian pamit mau ke belakang. Agak lama Mazra kembali.
            Aku kaget melihat Mazra kembali justru tidak sendirian. Ia mengajak bapak-ibunya, adik kandungnya, mbaknya dan suaminya, beserta seorang lelaki paruh baya yang Aku sendiri tak mengenalnya. Aku bersalaman dengan mereka dengan penuh takzim.
            Sekeluarga itu tampak ragu dan canggung duduk di sofa menghadapku. Mataku menolot penuh dengan keheranan dan bertanya-tanya, bahkan memang benar-benar tidak paham dengan sikap Mazra sekeluarga yang menurutku tampak sangsi.
            Aku merasa  tak nyaman dengan kondisi yang serba sangsi ini. Mau memulai bicara lidahku kelu, begitu pula Mazra sekeluarga tampak bingung serta tak ada wajah ceria yang terlihat. Mungkin mereka akan memberikan kabar buruk buatku, pikirku spontan. Entah skenario apa, tidak terlintas dalam pikiranku. Yang Aku tahu sekarang bahwa posisiku seperti sedang menjadi terdakwa di hadapan para juru hakim.
            Aku mencoba memecah suasana sangsi itu dengan menanyakan kabar bapak-ibunya Mazra beserta mbaknya dan suami mbaknya. Selain itu, Aku juga mencoba ajak bercanda Eria yang lucu, yang dulu memang terbilang akrab denganku.
            Suasana kemudian berubah mencair, tapi tetap saja menyisakan kesangsian di ruang tamu.
            Belum ada tanda-tanda bahwa Aku akan dihakimi. Tiba-tiba di depan terdengar suara salam dari seorang lelaki. Mazra menghampiri suara itu dan mempersilahkan masuk ke dalam rumah seseorang yang ternyata adalah salah sahabat terbaikku dulu di Jogja. Ya, Satria.
            Aku kaget seakan tak percaya bisa berjumpa Satria di rumah Mazra. Telisik demi telisik ternyata Mazra sejak awal kedatanganku tadi langsung menghubungi Satria untuk datang ke rumah, dan kebetulan rumah Satria hanya berjarak tiga jam dari rumahnya Mazra. Aku kembali tidak paham mengapa Satria dilibatkan dalam pertemuan ini, padahal sejatinya pertemuan ini hanyalah sebuah kebetulan semata.
            Satria duduk di sampingku. Suasana menjadi cair setelah Satria membuka obrolan di antara kami di ruang tamu ini. Satria memang merupakan sosok yang humoris dan bisa dibilang cerewet sehingga suasana yang tadinya sangsi dan canggung seketika berubah menjadi gelak tawa pasca kedatangan Satria.
            “Jadi Ritt ini pak,bu sahabat saya sewaktu kuliah di Jogja dulu, cuma kita sudah lama tidak bertemu karena saya lebih dulu lulus”, papar Satria.
            Bapak dan ibu Mazra hanya mengangguk mendengar penjelasan Satria. Sepertinya mereka tidak begitu apresiatif mendengarkan cerita dari Satria, dan mereka lebih memilih diam saja. Suasana jadi tampak tidak nyaman, mungkin mereka agak tidak setuju dengan kedatanganku ke rumah.
            Dengan berani Aku menyodorkan pertanyaan bernada bimbang.
            “Sebenarnya ini ada apa geh pak, bu, mas, Mazra? Kok sepertinya ada sesuatu yang ingin panjenengan sampaikan ke saya?”, tanyaku penasaran.
            Mas Rinto, suami mbaknya Mazra mengambil posisi seakan ingin angkat bicara. Aku sendiri menoleh kepadanya.
            “Jadi begini mas, kami memang sudah tahu mengenai hubunganmu dengan Mazra selama ini. Kami tahu kalian saling mencintai dan saling mengasihi. Kami awalnya sangat senang karena menurut kami mas Ritt orangnya baik dan bertanggungjawab”, papar Mar Rinto datar.
            Tidak ada yang mencoba berbicara, menunggu kelanjutan dari penjelasan mas Rinto. Begitu pula Aku hanya mengangguk-angguk saja.
            “Satu bulan yang lalu, saat mas Ritt masih berada di kalimantan, kami memutuskan untuk menikahkan adik kami Mazra dengan mas Arif ini (sambil menunjuk pada lelaki yang berada di samping Mazra) atas permintaan kedua orang tua kami”, papar mas Rinto mantap.
            Aku terdiam dan mulutku kelu. Taka da sesuatu pun yang Aku rasakan saat mendengar penjelasan mas Rinto kecuali kepedihan yang sangat mendalam di lubuk hati sana. Detak jantungku berdetak cepat, emosiku terbakar tapi Aku mencoba untuk menahan sekuat-kuatnya segala rasa kepedihan yang menghujam sanubari.
            Sementara Satria berusaha menenangkanku dengan sikapnya. Sepertinya dia memang telah tahu sejak lama tentang pernikahan Mazra dengan Arif, dan diundangnya dia ke rumah ini adalah untuk menenangkanku. Mazra yang menyuruhnya.
            Di sudut lain. Aku melihat mbak Anis, istri mas Rinto tampak merasa tidak enak hati kepadaku, karena sejatinya dia adalah sosok dari keluarga Mazra yang teramat menyetujui hubunganku dengan adiknya Mazra. Tetapi dia sendiri tak dapat berbuat apa-apa, karena pernikahan Mazra dengan Arif murni karena keinginan orang tuanya.
            “Kami sengaja menyembunyikan kabar ini dari kamu mas Ritt, dengan harapan kamu tidak terlalu merasa sakit hati dengan keputusan keluarga ini”, tambah mas Rinto.
            Aku gugup, mencoba untuk menahan ego dan lebih mendahulukan logikaku, sesuai pesan dari Hatima tempo hari. Aku mencoba berpikir realistis, dan itu sangat membantuku dalam mensikapi persoalan ini.
            “Menurut kamu bagaimana mas Ritt?”, tanya mas Rinto santun.
            Mendengar pertanyaan itu Aku lantas bangkit, duduk tegak mencoba menjawabnya dengan perasaan yang tertatih-tatih tapi memperlihatkan ketegaran palsu.
            “Iya. Iya mas, saya mengerti dengan kabar mengejutkan ini. Apapun yang membawa kebahagiaan buat Mazra dan sekelurga saya bisa menerimanya dengan lapang dada”, ujarku.
            “Jika memang ternyata Mazra sudah menikah dengan orang lain selain saya, berarti memang jodoh dia berada di tangan mas Arif ini”, imbuhku bijak.
            “Yang terpenting bagi saya adalah kepastian tentang Mazra. Hari ini saya sudah mendapatkan kepastian itu dan bagi saya ini sudah cukup sebagai jawaban atas segala kegundahan saya selama beberapa hari belakangan”, lanjutku.
            Aku tak melihat aba-aba Mazra ingin menyampaikan sesuatu atau hanya sekedar mengucapkan kata maaf. Ia sendiri sepertinya telah menyerahkan semuanya kepada mas Rinto berharap Aku mengerti dengan penjelasan dari mas iparnya tersebut. Meski sebenarnya Aku sendiri sangat mengharapakan Mazra berkata sesuatu sebagai bentuk pertanggungjawabannya terhadap langkah yang diambilnya menerima lamaran Arif yang sekarang telah resmi menjadi suaminya.
            Aku turut berbahagia melihat Mazra telah diperistri oleh orang lain, meski sebenarnya Aku memendam rasa kesakitan yang cukup mendalam. Aku selalu menampilkan sikap realistis dalam sikap dan cara berpikir untuk menghadapi kenyataan ini.
Lagi pula, kalau dipikir-pikir, Aku sendiri memang merasa tak pantas buat Mazra, dia terlahir dari lingkungan keluarga yang telah lebih baik kondisi perekonomiannya dibadingkan Aku yang hanya seorang pengangguran tanpa kepastian. Sementara suami Mazra merupakan orang yang berlatar-belakang seorang yang mapan dan sejahtera, ganteng, semampai, dan punya masa depan yang pasti cerah.
Tanpa bermaksud membandingkan dengan diriku, secara materi Arif lebih pantas jika disandingkan dengan Mazra, dan Aku mengakuinya penuh dengan kejujuran. Ini hanyalah sebuah pengakuan, bukan berusaha membanding-bandingkan.!
Menurut pengakuan bapak Mazra, Arif dan Mazra memang sejak dahulu, sebelum Mazra kenal denganku, sudah menjalin hubungan namun sempat terputus karena keterputusan komunikasi dan jarak. Mazra pergi studi ke Jogja sedangkan Arif menetap di Tuban sebelum akhirnya mereka dipertemukan oleh takdir jodoh.
Setelah mendengar penjelasan mengenai alasan mengapa Mazra dan Arif menikah, Aku semakin merasakan lapang dada dan telah kuputuskan tuk mengikhlaskannya. Bahkan, Aku sendiri beranggapan bahwa Arif dan Mazra adalah dua pasangan yang bertanggungjawab terhadap perasaan cinta yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka. Memang manusia seharusnya bersikap seperti itu, jika suatu tindakan telah dilakukan, baik itu tindakan dalam bentuk perilaku jasmani maupun rohani, maka harus dipertanggungjawabkan. Termasuk dalam hal cinta dan mencintai, sayang dan menyayangi, serta kasih dan mengasihi, karena ada penilaian tuhan terhadap segala tingkah polah kita, termasuk perilaku hati.
Aku kini telah mendapatkan kejelasan. Pertemuanku dengan Mazra ini, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Bagiku, pertemuan ini sungguh mengharukan, di sana bercampur dua perasaan yaitu rasa sedih dan syukur karena bagiku Tuhan memberikan sebuah jawaban. Dan menurut hematku, hasil itu tidak memandang baik-buruk karena hasil lebih merupakan sebuah nilai. Ya, nilai hasil dari terjemahan terhadap sebuah proses dan daya upaya yang telah dilakukan.
Hari sudah sore.
Aku merasa bahwa kunjunganku ke rumah Mazra sudah cukup dan keperluanku sudah terpenuhi. Aku memutuskan untuk berpamitan dengan Mazra dan sekeluarga untuk kembali ke Jogjakarta. Satria mengantarku ke terminal dan Aku menumpang bus jurusan Jogja.
“Baik. Bapak, Ibu, Mas Rinto, Mbak Anis, Maz Arif dan Mazra, saya pamit untuk kembali ke Jogja”, Aku berdiri mengulurkan tangan bersalaman dengan anggota keluarga Mazra.
“Assalamu’alaikum”, Aku mengundur diri.
Setelah meninggalkan halaman rumah Mazra, Aku tak berniat tuk menoleh ke belakang menatapi rumah tersebut mengemis harapan sekiranya Mazra memanggilku tuk kembali.
Aku dan Satria menaiki sepeda motor menuju terminal.
Satria mengendarai sepeda motor malaju kencang dan tidak berselang lama kami sudah sampai di terminal.
Sesampainya kami di terminal Surabaya, Aku bergegas menaiki bus dan setelah sebelumnya berpamitan dengan Satria.
“Oke Ritt, kamu yang sabar dan tabah ya, ambil hikmahnya”, pesan Satria kepadaku di pintu bus.
“Siip Sat, Aku pasti akan melakukan itu”, sambil mengacungkan jempol dan senyuman Aku meyakini Satria.
Senja telah jatuh di ufuk barat, tak lama kemudian, bus berangkat membawa meninggalkan kota Surabaya, Mazra, dan sahabatku Satria.
Perasaanku bercampur-aduk, hingga Aku tak mampu menyembunyikan kesedihan dan kepiluan hati. Untuk menahan airmata agar tak jatuh, Aku memutuskan untuk tidur.Goodbye Mazra, goodbye mantan kekasihku.!#
Disqus Comments