Wednesday, 17 July 2013

Bagian XV


Pulang Kampung
Pertengahan Juli. Bulan Ramadhan.
Aku memutuskan untuk berpuasa di Jogja barang setengah bulan sebelum Aku pulang. Ramadhan ini mungkin akan menjadi bulan puasa terakhir Aku berada di Jogja, karena setelah ini Aku memutuskan tuk pulang ke kampung halamanku di Kalimantan.
Pulang ke kampung mungkin adalah solusi terakhir. Hatima menahan Aku supaya tidak pulang, dan kalaupun pulang selepas lebaran kembali lagi ke Jogja. Itu pinta Hatima. Aku hanya bisa menjawab insyallah. Bagiku itu adalah jawaban yang tepat.
Awalnya Hatima tak bisa terima jawabanku itu. Namun, Aku berkali-kali menjelaskan kepadanya agar dia memfokuskan diri pada Hanif, tunangannya itu. Toh, tak lama lagi mereka akan menikah. Bulan desember nanti. Ya, tahun ini.
Aku seperti tak percaya.
Aku mencoba realistis. Hadapi kenyataan.
Melupakan seseorang mungkin telah menjadi hal yang tersulit dalam hidupku. Termasuk melupakan Hatima yang tak lama lagi akan dinikahi oleh orang lain. Hanif. Seorang yang telah resmi menjadi tunangan Hatima. Seorang akademisi tulen. Dosen tetap di sebuah perguruan tinggi.
Hahhhhhh.!
Aku menghela nafas panjang.
Segera Aku alihkan pikiranku.
Aku mulai menyusun rencana untuk nanti setelah Aku berada di kalimantan. Ya, di kampung halamanku. Sepertinya di sana akan menjadi proyek yang bagus buat masa depan serta langkahku selanjutnya dalam melanjuti kehidupan ini.
Hidup harus terus berlanjut. Meski tanpa Mazra dan Hatima. Toh, mereka sudah terlebih dahulu maju daripada Aku. Sudah lebih dahulu melangkah ketimbang Aku yang hanya bisanya merenung meratapi nasib diri. “Aku tak boleh patah arang. Tak boleh putusasa. Karena perubahan adalah hakikat kehidupan”, pikirku.
Aku segera memalingkan perhatian dan pikiranku pada naskah novel yang sedang Aku edit. Oleh seorang rekan Aku dimintanya untuk mengedit naskah novelnya karena akan diterbitkan. Dari pekerjaan ini nantinya Aku akan diberi uang. Lumayanlah buat menambah uangku yang Aku tabung untuk persiapan, bekal pulang pertengahan puasa.
Editan naskah novel selesai sesuai jadwal yang ditargetkan. Segera naskah itu Aku serahkan kepada pak Muk, dan beliau pun memberiku uang atas pekerjaan itu. Alhamdulillah, puji syukurku.
Esok harinya.
Aku segera membeli tiket pesawat.
Segera ku dapatkan tiket itu dan akan berangkat dua hari lagi. Ya, lusa. Aku akan segera pulang ke kampung halaman dan meninggalkan Jogja untuk kali kedua. Mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Tekadku sudah bulat. Aku tak akan kembali lagi ke kota ini, tidak ada keperluan apa-apa. Gus, tak tahu lagi kabarnya. Selain itu, tersiar kabar, uang milik lembaga yang diperjuangkan Gus telah dibawa kabur oleh pak Andra. Lembaga itu dengan sendirinya bubar. Para anggotanya tak tahu entah ke mana. Yang pasti Gus, sebagai ketua telah menyatakan bahwa lembaga ini telah resmi dibubarkan. Begitu pesan singkat yang Aku terima dari Gus tempo hari.
Sadar dengan tidak adanya aktivitas menghasilkan yang dapat Aku kerjakan, membuat Aku yakin bahwa pulang merupakan keputusan paling solutif. Ya, dua hari lagi. Berarti lusa Aku sudah beranjak.
Seperti sudah tidak ada beban, Aku segera mempersiapkan barang-barang yang akan Aku bawa pulang. Berharap tidak banyak barang yang menjadi beban perjalananku nanti, barang yang Aku anggap kurang perlu ku tinggalkan. Lagi pula, di sini masih ada sahabat-sahabatku. Barang ini ku tinggalkan saja untuk mereka, barangkali bermanfaat.
Tiga kardus dan satu koper terisi penuh. Agak banyak barang yang akan Aku bawa pulang kali ini. Titipan orang rumah sangat banyak. Ponakanku bertaburan di mana-mana, tak mungkin rasanya jika Aku pulang dengan tangan hampa tanpa membawa oleh-oleh buat mereka.
Beberapa stel pakaian Aku sudah persiapkan buat mereka. Tak lupa daster yang menjadi pakaian kesenangan mak. Semua sudah tersimpan rapi di dalam koper. Sedangkan tiga kardus lainnya berisi buku. Sebagian untuk pamanku.
Aku putuskan untuk beristirahat lebih cepat malam ini agar bisa bangun pagi. Selain itu, Aku juga mencoba menenagkan pikiran sebelum tiba di rumah. Aku sendiri tak mau orang di rumah justru melihatku dalam keadaan cemberut, kusut, lebih-lebih tampak sedih.
Lagi pula nanti subuh harus bangun untuk sahur. Bismikallahumma ahya wa amuut.
Keesokan harinya, tepat sehari sebelum kepulanganku, Aku manfaatkan untuk berpamitan kepada sahabat-sahabat. Kebanyakan dari mereka menahan, tapi Aku menjelaskan segala hal kepada mereka sehingga mereka pasrah. Ya, mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Namun, mereka berharap suatu saat nanti bisa kembali lagi ke Jogja. Itu pasti kataku. Entah kapan, belum tahu. Tapi yang pasti Aku akan kembali lagi ke Jogja, setidak-tidaknya untuk sekadar berlibur.
Dari belakang Jis menawarkan jasa; ‘Dianter gak Ritt?”, tanyanya.
“Gak usah Jis. Makasih. Soalnya Aku bawa barang banyak banget. Jadi, Aku putuskan naik taksi aja”, jawabku singkat.
Ajis mengangguk.
Fid juga bertanya; “Jam berapa berangkat?”.
“Hhhmm, sore Fid”, jawabku singkat.
“Okelah kalau begitu. Jaga diri baik-baik di rumah. Semoga cepet dapet jodoh”, ujar Fid bercanda.
Kami pun tertawa. Kemudian bubar satu persatu.
Saat hari telah sore, Aku pulang ke kost. Ingin tidur cepat.
Aku memang tak berniat berpamitan atau memberitahukan rencana kepulanganku esok hari kepada Hatima, apalagi Mazra.  Aku sengaja merahasiakan kepulanganku. Ini pilihanku. Ini keputusanku.
Esok harinya, tepat pada pertengahan ramadhan.
Aku bersiap-siap menuju bandara. Saat dipersilahkan menaiki pesawat, sebentar lagi adzan maghrib akan berkumandang. Senja telah tampak di ufuk barat.
Pesawat terbang di kala senja. Aku meninggalkan tanah Jogja. Ya, terbang pulang menju kalimantan. Aku pulang tanpa beban.#

TAMAT
Disqus Comments