Pulang Kampung
Pertengahan Juli. Bulan
Ramadhan.
Aku memutuskan untuk
berpuasa di Jogja barang setengah bulan sebelum Aku pulang. Ramadhan ini
mungkin akan menjadi bulan puasa terakhir Aku berada di Jogja, karena setelah
ini Aku memutuskan tuk pulang ke kampung halamanku di Kalimantan.
Pulang ke kampung
mungkin adalah solusi terakhir. Hatima menahan Aku supaya tidak pulang, dan
kalaupun pulang selepas lebaran kembali lagi ke Jogja. Itu pinta Hatima. Aku
hanya bisa menjawab insyallah. Bagiku itu adalah jawaban yang tepat.
Awalnya Hatima tak bisa
terima jawabanku itu. Namun, Aku berkali-kali menjelaskan kepadanya agar dia memfokuskan
diri pada Hanif, tunangannya itu. Toh, tak lama lagi mereka akan menikah. Bulan
desember nanti. Ya, tahun ini.
Aku seperti tak
percaya.
Aku mencoba realistis.
Hadapi kenyataan.
Melupakan seseorang
mungkin telah menjadi hal yang tersulit dalam hidupku. Termasuk melupakan
Hatima yang tak lama lagi akan dinikahi oleh orang lain. Hanif. Seorang yang
telah resmi menjadi tunangan Hatima. Seorang akademisi tulen. Dosen tetap di
sebuah perguruan tinggi.
Hahhhhhh.!
Aku menghela nafas
panjang.
Segera Aku alihkan
pikiranku.
Aku mulai menyusun
rencana untuk nanti setelah Aku berada di kalimantan. Ya, di kampung halamanku.
Sepertinya di sana akan menjadi proyek yang bagus buat masa depan serta
langkahku selanjutnya dalam melanjuti kehidupan ini.
Hidup harus terus
berlanjut. Meski tanpa Mazra dan Hatima. Toh, mereka sudah terlebih dahulu maju
daripada Aku. Sudah lebih dahulu melangkah ketimbang Aku yang hanya bisanya
merenung meratapi nasib diri. “Aku tak boleh patah arang. Tak boleh putusasa.
Karena perubahan adalah hakikat kehidupan”, pikirku.
Aku segera memalingkan
perhatian dan pikiranku pada naskah novel yang sedang Aku edit. Oleh seorang
rekan Aku dimintanya untuk mengedit naskah novelnya karena akan diterbitkan. Dari
pekerjaan ini nantinya Aku akan diberi uang. Lumayanlah buat menambah uangku
yang Aku tabung untuk persiapan, bekal pulang pertengahan puasa.
Editan naskah novel
selesai sesuai jadwal yang ditargetkan. Segera naskah itu Aku serahkan kepada
pak Muk, dan beliau pun memberiku uang atas pekerjaan itu. Alhamdulillah, puji
syukurku.
Esok harinya.
Aku segera membeli
tiket pesawat.
Segera ku dapatkan
tiket itu dan akan berangkat dua hari lagi. Ya, lusa. Aku akan segera pulang ke
kampung halaman dan meninggalkan Jogja untuk kali kedua. Mungkin ini untuk yang
terakhir kalinya. Tekadku sudah bulat. Aku tak akan kembali lagi ke kota ini,
tidak ada keperluan apa-apa. Gus, tak tahu lagi kabarnya. Selain itu, tersiar
kabar, uang milik lembaga yang diperjuangkan Gus telah dibawa kabur oleh pak
Andra. Lembaga itu dengan sendirinya bubar. Para anggotanya tak tahu entah ke
mana. Yang pasti Gus, sebagai ketua telah menyatakan bahwa lembaga ini telah
resmi dibubarkan. Begitu pesan singkat yang Aku terima dari Gus tempo hari.
Sadar dengan tidak
adanya aktivitas menghasilkan yang dapat Aku kerjakan, membuat Aku yakin bahwa
pulang merupakan keputusan paling solutif. Ya, dua hari lagi. Berarti lusa Aku
sudah beranjak.
Seperti sudah tidak ada
beban, Aku segera mempersiapkan barang-barang yang akan Aku bawa pulang. Berharap
tidak banyak barang yang menjadi beban perjalananku nanti, barang yang Aku
anggap kurang perlu ku tinggalkan. Lagi pula, di sini masih ada sahabat-sahabatku.
Barang ini ku tinggalkan saja untuk mereka, barangkali bermanfaat.
Tiga kardus dan satu
koper terisi penuh. Agak banyak barang yang akan Aku bawa pulang kali ini. Titipan
orang rumah sangat banyak. Ponakanku bertaburan di mana-mana, tak mungkin
rasanya jika Aku pulang dengan tangan hampa tanpa membawa oleh-oleh buat
mereka.
Beberapa stel pakaian
Aku sudah persiapkan buat mereka. Tak lupa daster yang menjadi pakaian kesenangan
mak. Semua sudah tersimpan rapi di dalam koper. Sedangkan tiga kardus lainnya
berisi buku. Sebagian untuk pamanku.
Aku putuskan untuk beristirahat
lebih cepat malam ini agar bisa bangun pagi. Selain itu, Aku juga mencoba
menenagkan pikiran sebelum tiba di rumah. Aku sendiri tak mau orang di rumah
justru melihatku dalam keadaan cemberut, kusut, lebih-lebih tampak sedih.
Lagi pula nanti subuh
harus bangun untuk sahur. Bismikallahumma ahya wa amuut.
Keesokan harinya, tepat
sehari sebelum kepulanganku, Aku manfaatkan untuk berpamitan kepada
sahabat-sahabat. Kebanyakan dari mereka menahan, tapi Aku menjelaskan segala
hal kepada mereka sehingga mereka pasrah. Ya, mereka pun tidak bisa berbuat
apa-apa.
Namun, mereka berharap
suatu saat nanti bisa kembali lagi ke Jogja. Itu pasti kataku. Entah kapan,
belum tahu. Tapi yang pasti Aku akan kembali lagi ke Jogja, setidak-tidaknya
untuk sekadar berlibur.
Dari belakang Jis menawarkan
jasa; ‘Dianter gak Ritt?”, tanyanya.
“Gak usah Jis. Makasih.
Soalnya Aku bawa barang banyak banget. Jadi, Aku putuskan naik taksi aja”,
jawabku singkat.
Ajis mengangguk.
Fid juga bertanya; “Jam
berapa berangkat?”.
“Hhhmm, sore Fid”,
jawabku singkat.
“Okelah kalau begitu.
Jaga diri baik-baik di rumah. Semoga cepet dapet jodoh”, ujar Fid bercanda.
Kami pun tertawa. Kemudian
bubar satu persatu.
Saat hari telah sore,
Aku pulang ke kost. Ingin tidur cepat.
Aku memang tak berniat
berpamitan atau memberitahukan rencana kepulanganku esok hari kepada Hatima,
apalagi Mazra. Aku sengaja merahasiakan
kepulanganku. Ini pilihanku. Ini keputusanku.
Esok harinya, tepat
pada pertengahan ramadhan.
Aku bersiap-siap menuju
bandara. Saat dipersilahkan menaiki pesawat, sebentar lagi adzan maghrib akan
berkumandang. Senja telah tampak di ufuk barat.
Pesawat terbang di kala
senja. Aku meninggalkan tanah Jogja. Ya, terbang pulang menju kalimantan. Aku pulang
tanpa beban.#
TAMAT