KPK VS POLRI/ILUSTRASI |
Perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri harusnya membuat kita malu. Ya, malu karena keduanya sama-sama lembaga atau institusi penegak hukum di negeri ini. Kedua lembaga yang sama-sama dicintai rakyat itu malah bertengkar dan tampak saling bermusuhan. Lantas, lembaga penegak hukum mana lagi yang patut kita percaya jika bukan keduanya?
Begitulah kekuasaan. Semakin ia dicintai serta didukung oleh rakyatnya, maka pada saat bersamaan birahi kuasa para elitnya semakin besar pula dan tak terbendung. Mirisnya, kekuasaan yang digenggam oleh elitnya justru dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Dukungan deras yang mengalir dari rakyat seperti dijadikan alat serta legimitasi oleh elitnya untuk menggunakan hak dan kewenangannya bertindak semau perutnya.
Pemaparan singkat di atas memang sifatnya hanyalah suatu keluhan belaka. Tetapi justru dengan keluhan itu menunjukkan tentang kepedulian terhadap nasib negara.
Sebagai rakyat kecil, tentu keluhan, aspirasi dan suara seperti ini tak ada artinya dibandingkan mereka yang punya jabatan, nama besar yang dianggap lebih kredibel, serta punya kapasitas dalam mengkritisi nasib bangsa. Suara rakyat adalah suara Tuhan, seperti yang sering digemborkan hanyalah sebuah semboyan belaka. Sebab, yang dimaksud dari kalimat itu adalah suara rakyat yang berjamaah, bergerombol dan berkelompok sehingga membentuk suara bersama lalu itu dianggap sebagai suara tuhan. Akan tetapi, jika suara itu hanya datang dari satu orang, maka tak akan ada gunanya.
Kembali ke persoalan semula. Kisruh atau cekcok antara KPK versus Polri memang cukup memprihatinkan. Pertengkaran antar dua lembaga penegakkan hukum yang tadinya berawal dari persoalan pribadi para elit justru melibatkan lembaga atau institusi yang selanjutnya menjadi bola panas yang menggelinding ke sana ke mari hingga membawa-bawa orang lain tuk ikut serta dalam pertikaian. Ada pihak yang mendukung, di pihak lain mencela serta mengkritik dengan pernyataan-pernyataan tajam dan menukik.
Semua yang terlibat dalam pertikaian KPK-Polri mati-matian membela kelompok masing-masing di antara kedua kubu tersebut. Mereka bicara atas nama negara dan dalih-dalih nasioalisme patriotisme yang digembar-gemborkan, dan anehnya hal itu justru berdiri di atas pertikaian antar sesama anak bangsa. Bukankah hal itu memalukan?
Sekali lagi, tulisan ini hanyalah sebuah coretan dari keluhan belaka. Saya tidak punya ide cemerlang untuk turut serta mensikapi atau memberikan usulan cara penyelesaian dari pertikaian KPK-Polri itu. Lagi pula, solusi apa yang mau diberikan, toh pertikaian di level elit hanyalah akal-akalan politik praksis belaka. Rakyat hanyalah tempat mengadu, rakyat adalah barisan orang kecil yang ingin digerakkan dan diorganisir semata. Tak lebih, hanya begitu saja kepentingannya. Sumpah, begitu saja!
Mengutip pernyataan Pramoedya Ananta Toer, bahwa tidak ada yang selalu benar, sekalipun kebenaran selalu diusahakan. Pernyataan ini relevan dengan kondisi kekinian, khususnya kisruh KPK-Polri yang belakangan sedang ramai. Semua orang terus mengatakan dirinya benar, tetapi sebenarnya tidak ada kebenaran sejati melainkan hanyalah sebuah permainan politik belaka.
Dari itu dapat disimpulkan, pertikaian serta berbagai dinamika lainnya di pusat pemerintahan sebuah negara semata hanyalah permainan politik yang terjadi oleh berbagai motif. Ujung-ujungnya, motif kepentingan untuk berkuasalah di sebalik semua pertikaian dan dinamika tersebut. Lalu, rakyat kecil mau bilang apa? Mau berbuat apa?
Ya, kita rakyat kecil hanyalah barisan penonton dan suporter setia yang saban harinya disuguhi di depan pelupuk mata. Rakyat kecil hanya mampu menggunakan aspek keimanan paling kecilnya, yakni melawan, mengkritik dengan hati karena ketidakberdayaan.