GEDUNG KPK |
Kebenaran hukum berada di tangan pengadilan. Begitulah esensi negara hukum. Orang tidak bisa begitu saja dituding telah melanggar hukum kalau sidang perkara di pengadilan belum diputuskan dan begitu sebaliknya.
Baru-baru ini, publik negeri disuguhkan tontotan yang memuakkan. Pertikaian KPK versus Polri. Memuakkan, tentu saja, karena tontonan itu memperlihatkan ke hadapan publik bahwa elit-elit negara tak pernah akur dalam mengurusi negeri tercinta ini. Satu sama lainnya saling mengkritik, bertengkar, menjegal, menuding, menjatuhkan serta berebut kekuasaan. Terlepas apakah itu sikap politik, yang jelas dinamika demikian itu sungguh bukanlah tontonan elok bagi rakyat.
Aksi saling lapor dan tuding antara KPK dan Polri beberapa hari belakangan ibarat cerita sinetron. Panjang dan ber-episode hingga melibatkan orang banyak. Dari persaksiaan mata kita, baik lewat layar televisi maupun media massa, tampak jelas KPK dan Polri saling serang dan bermusuhan. KPK yang saya maksud di sini adalah elitnya, bukan institusinya. Miris memang. Sebab, KPK dan Polri adalah dua lembaga penegakan hukum yang amat dicintai rakyat. Tapi apa hendak dikata, keduanya kini seolah telah berseberangan dan bermusuhan.
Pertikaian dan permusuhan kedua lembaga itu tentu saja akibat kelakuan elitnya yang bertindak atas nama hak dan wewenang. Pertanyaannya, benarkah mereka telah menggunakan hak dan wewenangnya sesuai dengan aturan yang berlaku?
Saya ragu. Sungguh ragu. Bahkan menaruh curiga kalau-kalau elit-elitnya telah memanfaatkan kedua lembaga itu untuk kepentingan politik pribadi maupun kelompok tertentu. Bisa jadi. Lihat saja dari cara mereka bertikai, saling menuding dan menjatuhkan. Itu yang tampak di mata publik. Namun, yang terjadi di balik layar, ada semacam operasi intelijen yang bermain di mana kelompok di belakang layar itu punya kepentingan besar untuk berkuasa dan menguasai. Sedang aktor-aktor yang tampil di permukaan adalah bidak-bidak catur yang digerakan dari belakang layar.
Meminjam istilah Sutan Bhatoegana, pertikaian elit KPK dan Polri jadi ngeri-ngeri sedap. Bagi saya, orang pertama yang menabuh genderang perang KPK versus Polri adalah Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Keduanya adalah elit KPK. Bagaimana tidak, tak lama setelah Komjen Budi Gunawan dicalonkan secara tunggal sebagai Polri oleh presiden Joko Widodo (Jokowi), tiba-tiba AS dan BW tampil ke hadapan publik untuk menetapkan BG sebagai tersangka kasus gratifikasi dan kepemilikan rekening gendut.
Sontak BG, bahkan sang presiden geram. BG tak terima. Jokowi kaget. Sementara AS dan BG bangga lalu membusungkan dada dan percaya diri. AS dan BW tentu saja merasa berada di atas angin, menang. Bagaimana dikatakan tidak menang orang KPK itu lembaga rasuah, dipercaya dan didukung penuh oleh publik negeri selama ini karena dianggap telah berhasil membongkar kasus-kasus korupsi selama bertahun-tahun. Namun, pertanyaan reflektifnya, apakah selamanya elit KPK benar dalam bertindak?
Berangkat dari pertanyaan itu, spekulasi-spekulasi pun bermunculan. AS dan BW dituding gegabah dan latah. Penetapan BG sebagai tersangka sarat dengan muatan politik, pesanan dari orang yang berkepentingan, hingga melanggar aturan. Buntut dari kelakuan AS dan BW, bola panas liar dan menggelinding ke segala arah. KPK dan Polri pun mulai goncang. BW tiba-tiba ditangkap, elit-elit KPK satu per satu diungkap tindakan jahatnya yang selama ini terkubur dan terkunci rapi. Elit-elit Polri bergerak, menguak segala fakta pelanggaran hukum yang pernah dilakukan elit-elit KPK. Hebatnya, KPK tetap bersikeras melanjutkan tudigannya kepada BG. Hanya fokus pada satu kasus itu saja, karena mungkin tak ada kasus lainnya, atau mungkin ketakutan. Entahlah! Yang jelas, elit KPK tak mau boroknya diketahui publik karena selama bertahun-tahun terkenal bersih. Benarkah bersih?
Bagi saya, lonceng kematian KPK telah berbunyi nyaring. Sedikit membenarkan pernyataan Jimly Asshiddiqie, sebenarnya kasus ini bermaksud untuk membubarkan KPK. Tapi sayang sekali, elit KPK lah yang sebetulnya pihak yang ingin membubarkan lembaga rasuah itu. Andai AS dan BW tak latah, tentu pertikaian ini tak akan terjadi, dan tindakan pelanggaran hukum yang pernah mereka lakukan tentu tak akan diketahui dan diungkap ke publik negeri. Biarlah kejahatan mereka itu terkubur dan terkunci, terpenting agenda pemberantasan korupsi tetap berjalan sampai waktu yang tak ditentukan, kalau perlu sampai hari kiamat.
Ah, harusnya AS dan BW kalau mau terlibat dalam politik praksis tinggal mundur saja dari kursi KPK. Gampang saja sebenarnya, tetapi tampaknya mereka ingin memanfaatkan kepercayaan dan dukungan publik untuk mengangkat elektabilitas dirinya. Cara usang dan norak!
Lantas bagaimana dengan elit-elit Polri? Sebenarnya kalau mau diivestigasi sama saja, tak ubahnya elit-elit KPK itu. Hanya saja, mungkin mereka bermain lebih cantik dan aman. Entahlah! Yang jelas, lonceng kematian KPK telah sangat nyaring bunyinya, hingga memekakkan telinga publik negeri.