Saturday 21 March 2015

Balada Cinta Beda Generasi dan Pengalaman Hidup

ILUSTRASI
Cinta sebenarnya tak mengenal ruang dan waktu. Kesucian cinta tak akan tegilas dan terkikis oleh jaman. Meski jaman berubah, cinta tak mengikuti arus perubahan itu, kecuali motif-motif yang mengiringinya. Suatu hari, Mufied menemui pelabuhan cintanya. Seorang dara belia nan rupawan dijadikannya sebagai persinggahan akhir dari pelayaran cintanya setelah bertahu-tahun mengembara dan mencari. Sebagai pribadi yang tak mudah jatuh cinta dan mengumbar perasaan cinta, Mufied terbilang sosok yang pilih-pilih dalam mencari kekasih. Padahal, selama bertahun-tahun tak sedikit para gadis yang menyatakan cinta kepada dirinya.

Dari sekian banyak gadis itu, semuanya harus gigit jari karena Mufied tetap tak bergeming serta masih tetap setia dengan kesendiriannya. Hingga tahun ketiga, barulah Mufied membuka hatinya. Dia menemukan sosok gadis yang mampu membuatnya jatuh cinta. Tak perlu waktu lama bagi Mufied tuk merasakan cinta, hanya butuh waktu satu bulan. Singkat bukan? Meski begitu, perasaan cinta itu bukan datang secara tiba-tiba melainkan sarat dengan pertimbangan psikis yang berkecamuk. Mufied awalnya bimbang, galau dan ragu apakah perasaan cinta yang tumbuh di dalam jiwanya benar-benar sejati. Sampai akhirnya Mufied menyatakan perasaan cintanya itu kepada gadis yang dianggapnya telah berhasil mencuri hatinya.

Singkat cerita, cinta Mufied diterima. Mufied bergembira tak alang kepalang. Meski di satu sisi dirinya berpikir tentang jarak usia antara dirinya dan sang gadis terpaut cukup jauh. Ya, delapan tahun Mufied jauh lebih tua dalam hitungan usia. Mufied berusia 29 tahun, sedangkan si gadis masih 21 tahun, usia yang relatif masih muda. Menurut Mufied, faktor kedewaan berpikir si gadis adalah faktor utama yang meluluhkan jiwanya. "Dia tampak dewasa dalam berpikir, logis dan visioner," Mufied menilai. Berkali-kali Mufied merasakan pemikiran logisnya dibantah si gadis taatkala sedang berdiskusi dan terlibat dalam suatu perdebatan sengit. Penilaian Mufied tak salah. Si gadis memang terbilang sosok wanita yang cerdas. Bahkan kecerdasannya bisa dibilang melebihi Mufied yang jelas-jelas lebih dahulu lulus dalam studi. Fakta ini mungkin dapat dijadikan kesimpulan empiris bahwa kecerdasan seseorang tak pernah mengenal batas usia dan jenjang pendidikan.

Perubahan jaman mungkin bisa dibilang fakta temporer dari kemajuan peradaban manusia. Arus teknologi yang begitu deras berhasil merubah minset seseorang karena wawasan dan pengetahuan amat mudah diakses serta didapatkan saban waktunya. Cinta Mufied dan si gadis, yang tak disebutkan namanya, bisa dibilang cinta beda generasi.

Cinta beda generasi yang terpaut cukup jauh ini menjadi fakta menarik sekaligus unik karena dikelilingi beragam perbedaan mendasar antar dua pribadi manusia. Tentunya bukan perkara mudah menyatukan antar kedua generasi yang terpaut terlalu jauh dari segi usia itu. Faktor usia tentu saja bukanlah perkara remeh temeh, sebab dari sisi pengalaman hidup tentu Mufied dan si gadis jauh berbeda. Kalau tak terlalu jauh, perbedaan keduanya seumpama langit dan bumi. Bayangkan saja, pertikaian keduanya kerap kali pecah akibat pengalaman hidup yang berseberangan.

Pengalaman hidup Mufied yang datar dan normatif kadang kala berbenturan dengan pengalaman hidup si gadis yang penuh dengan dinamika kebebasan dalam konteks pergaulan. Mufied acap kali merundung kecewa serta memedam kepedihan juga keputusasaan setelah ia tahu tentang fakta yang pernah terjadi pada si gadis di masa lampau. Berulang kali Mufied menghibur diri dengan berpikir bahwa hal itu adalah sebuah kemakluman sekaligus kosekuensi logis dari sebuah fakta yang harus diterimanya secara lapang dada dan besar hati.

Mufied terkadang merasa tak mampu menguasai egonya. Di sisi lain, dirinya sudah terlanjur cinta. Lalu pertanyaannya kemudian, benarkah cinta mampu jadi penghapus pengalaman buruk di masa lampau? Mufied linglung sekaligus bingung harus bertanya kepada siapa. Bahkan Tuhan sekalipun dianggapnya tak kunjung memberikan jawaban dari kegundahan Mufied. Lebih-lebih, si gadis suatu ketika pernah menangis sebagai wujud dari rasa penyesalan yang sangat mendalam. "Andai bisa kuputar waktu, aku ingin mengulanginya bersamamu, ya hanya bersamamu," ujar si gadis beserta tangis penyesalannya. "Tapi waktu tak dapat mundur, semua telah terlanjur terjadi, dan aku tak tahu harus bagaimana lagi," sedu sedan si gadis sembari mengungkapkan rasa penyesalan. "Dan pada akhirnya aku pasrah, kalau kamu mau terima aku, keadaanku sudah terlanjur begini adanya, andai pun kamu tak bisa terima, aku tak memaksamu tuk terus mencintaiku, tapi aku tak sanggup jika harus kamu tinggal," dia menghiba. Mufied pun lantas menjatuhkan air mata. Dadanya serasa sesak, gejolak jiwanya benar-benar telah membunuh akal sehatnya.

Sambil memeluk si gadis, Mufied berkata: "Sedari awal, aku sudah tanamkan di dalam diriku bahwa aku siap menerima kamu apapun itu keadaannya," ucap Mufied lirih. Suasana pun menjadi semakin haru biru, keduanya sama-sama tenggelam dalam kesedihan yang mendalam. Ah sudahlah! Kisah seperti ini kadang kala dikecam oleh sebagian kalangan karena dianggap sebagai bentuk pelecehan. "Andai Komnas HAM dan para aktivis gender mau mendengarakan kisah semacam ini, niscaya akan aku ceritakan kepada mereka betapa pedihnya jika berada di posisiku," gumam Mufied dalam hati. Menurut Mufied, masih banyak kisah dari orang lain tentang kejadian serupa yang pernah ia dengar dari beberapa sahabat karibnya sejak beberapa tahun belakangan.

"Ah, mungkin aku harus lebih banyak belajar dari sosok Minke yang cintanya kepada Annelis," Mufied. Wallahu a'lam bish-showab..
Disqus Comments