ILUSTRASI |
Selepas wisuda tiga tahun silam, aku malang melintang ke mana-mana guna mengukir pengalaman sekaligus memperkuat jati diri. Apa saja aku kerjakan selagi bisa, meski tanpa imbalan dan keuntungan. Semuanya sengaja aku setting demikian semata hanya untuk pembelajaran setelah menyandang gelar sarjana. Dunia tulis menulis aku geluti, bahkan sampai saat ini. Tercatat sebagai seorang wartawan pun pernah aku jajaki selama satu tahun di Ibu Kota.
Menyandang status sebagai kuli tinta, kata orang memang amat mengasyikkan sekaligus mengesankan. Lebih-lebih di Jakarta yang notabene pusat pemerintahan negara ini. Wawasanku pun terasa semakin terbuka. Setelah setahun di Ibu Kota bekerja sebagai kuli tinta di sebuah perusahaan media, aku memutuskan untuk berhenti dan kembali ke Yogyakarta. Keputusan itu bisa dibilang tak terduga karena aku tak pernah berpikir kembali lagi ke pangkuan kota Gudheg untuk berdomisili meski aku sadari meninggalkan tanggungan di Yogya.
Ya, keponakanku kutitipkan di kota itu untuk melanjutkan studi di sebuah perguruan tinggi. Sebenarnya, aku sudah mulai betah di Jakarta meski baru seumur jagung menapakinya. Mulai tahu bagaimana cara atau jalan menaklukkan sebuah kota yang sibuk dengan segenap aktivitasnya. Hidup di Jakarta adalah sebuah tantangan tersendiri bagiku. Singkatnya, aku hidup di Ibu Kota sebagai seorang kuli tinta hanya setahun saja. Ingin sekali aku melanjutkan pekerjaan tersebut, namun jalan hidup sepertinya berkehendak lain. Entah bagaimana ceritanya, sepulang dari Kalbar selepas lebaran tahun 2014, ibarat memang sudah ditakdirkan tiba-tiba aku terbang ke Yogya, bukan justru ke Jakarta.
Meski memang ada suatu keperluan di Yogya, tetapi setelah sampai aku malah enggan beranjak lagi ke Jakarta, aku justru larut di Yogya. Entah mengapa, tiap kali aku ingin ke Jakarta, jalanku selalu kandas, tak ada lagi tujuan, semua terasa sudah tertutup rapat dan aku terikat di Yogya sampai detik ini. Padahal, berulang kali aku mengirimkan lamaran kerja agar aku bisa lagi kembali ke Ibu Kota, tetapi dari sekian banyak surat lamaran itu tak ada satupun mendapatkan respon. Kawan-kawan di sana berulang kali memberikan informasi tentang pekerjaan, dan aku pun tak pernah melewatkan informasi tersebut. Sekali lagi, tetap saja kandas, tak ada respon hingga lima bulan lamanya waktu berlalu. Cepat sekali, pikirku. Aku masih terus bertahan di Yogya. Untuk bertahan, segala upaya aku lakukan sembari menanti kesempatan-kesempatan.
Namun, sempat terlintas dalam pikiran, mungkin takdir hidupku memang berdomisili di Yogya sebagaimana mimpiku sejak kecil dahulu kala. Memang, sejak kecil aku memimpikan Yogya sebagai kota tujuan kalau aku sampai berlabuh ke tanah Jawa. Mimpi itu ternyata jadi kenyataan, karena tahun 2005 silam secara tidak sengaja aku sudah berada di Yogya selepas studi di Solo selama empat tahun di sebuah pondok pesantren ternama. Setelah menempuh studi alias kuliah selama enam tahun di Yogya, rasa-rasanya diri sudah menyatu dengan kota yang dipimpin oleh seorang sultan ini.
Mungkin hanya sebuah perasaan saja, tetapi yang jelas selalu ada jalan bagiku untuk kembali ke Yogya entah karena suatu keperluan apa. Sekali lagi, aku berpikir Yogya mungkin telah jadi takdir bagi diriku, toh kembali ke kampung halaman di Kalbar pun aku malas-malasan. Kalau pun pulang kampung, itu semata karena kerinduanku kepada sosok ibu. Ya, ibu yang pertama kali merestui langkahku ke pulau Jawa 15 tahun silam. Andai saja beliau tak merestui kala itu sudah barang tentu aku tak sampai di tanah Jawa ini. Kini, tampaknya aku akan mengabdikan hidupku di Yogya.
Mau ke Ibu Kota pun aku belum kunjung menemukan jalan dan kepastian. Padahal, kondisi seperti ini sebenarnya cukup membuat diri bimbang, sebab lambat laun tapi pasti aku harus mulai menata hidupku yang selama ini tak menentu. Apalagi sekarang umurku sudah mulai bertambah. Ya, 30 tahun tentu saja bukan usia muda lagi. Aku harus mulai menata hidupku agar orientasi diri semakin jelas dan menentu. Toh selama ini aku bekerja dan hasilnya hanya habis begitu saja, tak ada wujud dan juntrungannya kecuali terbuang entah ke mana, tak tahu menahu, tak ada wujud nyatanya, serta tak tahu juga untuk siapa. Sekarang, Yogya telah kupilih dengan segenap hati untuk aku menjalani dan melanjutkan aktivitas hidup. Seorang dara telah menantiku di daerah istimewa ini, Yogya. Refleksi, sunyi.