ILUSTRASI |
Lain presiden, lain pula menteri-menterinya. Lain menteri, lain pula kebijakannya. Sekilas begitulah fakta di pemerintahan Indonesia. Presiden ternyata punya tim pengevaluasi kinerja para pembantunya yang kita kenal menteri itu. Usia menteri ditentukan kinerjanya. Jika kinerjanya baik maka panjang pula usianya duduk di kursi elit tersebut. Tentu saja baik di sini sesuai dengan standar seorang presiden maupun wakilnya. Itu untuk menteri yang dipilih dari kalangan profesional.
Beda lagi kalau untuk menteri yang diutus partai politik karena standar bagusnya sebuah kinerja diukur menggunakan barometer politik dan kepentingan tertentu. Ketua parpol tentu memiliki standar yang tidak sama dengan presiden sehingga penilaian keberhasilan dan keefektifan kinerja sesuai dengan kesepakatan antara presiden dan parpol tersebut. Demikian itulah cara elit negara dalam mengelola pemerintahan.
Satu semesetar sudah usia Joko Widodo menjabat sebagai presiden RI. Begitu pula halnya Jusuf Kalla yang menjadi wakilnya. Meski ini bukan pengalaman pertama kali bagi JK jadi seorang Wapres. Selama enam bulan masanya, Jokowi-JK menuai kritik yang tak sedikit. Semua kalangan tampak angkat bicara mengkomentari berbagai kebijakan serta kinerja pemerintahan. Komentar itu berupa masukan, saran, dukungan, bahkan sampai kritik tajam. Tetapi saya punya keyakinan berbeda soal komentar dan kritik yang datang keluar-masuk itu.
Saya menilai, komentar dan kritik itu tampak seperti semata hanya sebuah upaya pencitraan belaka. Pencitraan guna menaikkan great diri di mata publik sebagai sebuah usaha kecil untuk mempersiapkan diri menyambut progres di masa mendatang. Ah, sudahlah, lupakan saja! Toh, tidak ada salahnya dari pencitraan karena aktualisasi diri, mengutip teori Abraham Maslow adalah kebutuhan tertinggi di dalam diri manusia.
Terlepas dari itu, aroma tak sedap mulai berhembus dari kursi pemerintahan. Saya berani katakan tidak sedap karena bongkar pasang kabinet lebih merupakan keputusan politik ketimbang soal profesionalisme bekerja. Bagi saya, terlampau dini apabila melakukan evaluasi dengan cara mengganti posisi menteri untuk kemudian diganti dengan sosok baru. Coba bayangkan saja, baru seumur jagung pemerintahan Jokowi-JK dalam memimpin negara tetapi sudah buru-buru melemparkan wacana resuffle kabinet. Kalau memang maunya begitu, mengapa tidak sekalian saja presiden diganti sekaligus?
Hemat saya, rencana resuffle kabinet Jokowi-JK sebaiknya tidak perlu dalam waktu dekat. Biarlah para menteri itu belajar bekerja optimal masing-masing di kementeriannya sampai target yang telah dicanangkan. Toh, sosok menteri baru pun bukanlah jaminan utama apakah nantinya akan menempuh keberhasilan dalam melaksanakan agenda kepemerintahan. Malah nantinya menteri baru justru punya kebijakan baru pula, sementara masa pengabdian tidak lama karena hanya akan berakhir selama lima tahun saja.