Wednesday, 24 October 2012

Anomali Pendidikan Karakter

Anomali Pendidikan Karakter

Penerapan wacana pendidikan karakter dirasa percuma jika kita melihat realitas yang terjadi belakangan di negeri ini. Pasalnya, meski gagasan ini cerah, tapi faktanya bertolak-belakang dengan perilaku para petinggi negara yang cenderung amoral. Padahal, di tangan merekalah kebijakan itu digenggam. Dan dalam kenyataannya, setelah kebijakan itu disepakati sekaligus diterapkan, kita patut menyayangkan karena hal itu hanya dijadikan semacam formalitas belaka. Di depan, secara retorik, mereka bertutur mendukung secara penuh, tapi di belakang, perilaku mereka justru tidak menunjukkan dukungan, malah menciderai gagasan cerah pendidikan karakter. Menciderai maksud penulis, bahwa para petinggi negara tak sedikit yang terlibat kasus-kasus yang bersangkutan dengan hukum serta gaya hidup yang gemar menghambur-hamburkan uang negara secara sia-sia tanpa jelas arah serta tujuan penggunaannya.

Sikap serta perilaku demikian itu jelas tidak memberikan suritauladan yang baik bagi generasi bangsa kita. Padahal, suritauladan yang baik, terutama kepada peserta didik dalam upaya menerapkan wacana pendidikan karakter tentu saja amat sangat diperlukan, mengingat, pendidikan karakter bukan hanya untuk menyentuh sisi kognisi siswa, tapi juga menyentuh sikap serta perilaku atau sisi psikomotorik mereka.

Pendidikan merupakan pilar utama dalam sebuah bangsa merdeka untuk meneruskan agenda pembangunan serta menciptakan suatu peradaban. Pendidikan sejatinya tidak hanya bertujuan untuk proses pembebasan dan proses pembangkitan kesadaran kritis semata, seperti gagasan ideal Paulo Freire. Tetapi, pendidikan juga harus mampu membentuk karakter serta kepribadian peserta didik untuk mengembangkan bakat, minat, kemampuan serta potensi lain yang telah lekat di dalam diri siswa. Dengan begitu, siswa diharapkan nantinya akan menjadi insan yang memiliki karakter khas sesuai kemampuan yang dimilikinya.

Lembaga pendidikan sejatinya memiliki kewajiban untuk memproduksi sikap-sikap mulia yang berkaitan dengan moralitas. Sikap serta tingkah laku mulia tidak didapatkan hanya melalui ucapan semata, tapi perlu praktek dan suritauladan yang baik pula. Dan suritauladan yang baik diperoleh dari sikap serta perilaku seorang tenaga pendidik juga mereka para steakholders, termasuk para petinggi negara. Dari merekalah peserta didik akan mengambil contoh atau suritauladan, sebab mereka (steakholders) terlanjur dipandang sebagai pihak yang memiliki pengetahuan lebih banyak ketimbang peserta didik. Perilaku serta moralitas pendidik adalah penentu dalam upaya penerapan wacana pendidikan karakter, sehingga sangat perlu dipahami serta diperhatikan secara saksama.

Salah satu problem penerapan pendidikan karakter di negeri ini ialah soal suritauladan yang baik sebagai percontohan kepada peserta didik. Bayangkan saja apa sekiranya yang akan terjadi jika para steakholders di negeri ini mencontohkan tindakan serta perilaku amoral dan tindakan pelanggaran hukum lainnya di hadapan siswa. Secara psikologis, siswa, di jenjang apapun, akan menyerap sesuatu yang mereka dengar serta lihat. Sedangkan mendengar dan melihat adalah dua metode pembelajaran yang efektif dalam proses transfer serta penerimaan ilmu. Dan adapun soal moralitas, juga sangat ditentukan oleh kedua faktor itu, sehingga, jika siswa kerap melihat serta mendengarkan tindakan-tindakan amoral atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh mereka yang notabene adalah steakholders, maka secara psikologis tentu akan sangat mempengaruhi pikiran, sikap serta pandangan siswa. Untuk itulah mengapa perkara menciptakan lingkungan yang baik sangat diperlukan dalam proses mendidik siswa, agar mereka terbiasa dengan kondisi lingkungan yang kondusif. Jika sudah terbiasa, maka akan menjadi kebiasaan. Dan seterusnya, jika sudah jadi kebiasaan maka akan menjadi budaya yang sulit untuk ditinggalkan. Maka harapan kita, kebiasaan yang dilihat serta didengar siswa adalah sesuatu yang baik atau positif dalam upaya membentuk mentalitas mereka.

Sebaliknya, jika kebiasaan yang buruk sering dilihat serta didengarkan siswa, maka keburukan juga yang akan tumbuh di dalam diri mereka. Dan keburukan itu sangat mudah bahkan cepat menjalar. Itulah realitas saat ini yang kerap dipertontonkan ke hadapan masyarakat serta generasi bangsa kita, sehingga wajar saja jika banyak kalangan pesimis apakah pendidikan karakter relevan untuk diterapkan karena bertolak-belakang dengan kondisi negara yang kian menunjukkan wajah sembraut, terutama perilaku serta moralitas para petinggi negeri ini.

Inilah pertanyaan besar kita mengenai keberlangsungan penerapan wacana pendidikan karakter di Indonesia. Jika kondisi demikian tidak berubah, maka negeri ini akan semakin sulit menciptakan rumusan pendidikan yang berkualitas, lagi mencerdaskan. Pendidikan kita selama ini berjalan monoton, yakni tidak mampu memberikan suatu rumusan yang strategis dalam merumuskan konsep mencerdaskan kehidupan masyarakat dan para generasi penerus bangsa ini. Pendidikan hanya disetting untuk memperoleh angka tinggi sebagai standar kecerdasan. Itulah logika positivistik yang sampai saat ini masih jadi konsep andalan dalam dunia pendidikan serta proses belajar mengajar di lembaga pendidikan di Tanah Air.
Disqus Comments