Pasca kran demokrasi
terbuka kompetisi politik semakian hari menunjukan wajah radikal dalam
memperebutkan dominasi kekuasaan. Kursi-kursi kekuasaan kini tidak lagi
ditempati oleh orang-orang yang notabene seorang negarawan, tapi justru diisi
oleh para politikus karbitan. Negeri ini membutuhkan seorang negarawan, bukan
politikus, sebab, politik cenderung membawa kepentingan pihak tertentu
ketimbang demi kemaslahatan bersama serta sarat dengan perilaku
tunggang-menunggang antar satu sama lain untuk kemudian mendominasi.
Demokrasi
substansial yang kita idam-idamkan sebagai jalan alternatif untuk membangun
bangsa ini telah kalah dengan praktek-praktek demokrasi prosedural. Perilaku
demokrasi ini (baca: demokrasi prosedural) menafikan proses berdemokrasi ideal
yang kita semua harapkan, dan hal ini menunjukan dua indikasi negatif. Pertama, kesadaran berdemokrasi
kita masih jauh panggang dari api. Maksudnya, praktek demokrasi di negeri ini
belum terterapkan dengan baik, tapi masih mencari identitas karena Indonesia
dapat dikatakan masih trauma dengan praktek pemerintahan otoritarian yang
berjalan selama tiga dasawarsa lebih dua tahun. Kedua, pragmatisme politik.
Maksudnya, kegagalan kita dalam memahami demokrasi membuat wajah demokrasi
substansi berganti menjadi demokrasi prosedural, bukan demokrasi itu sendiri
yang diinginkan, tetapi demokrasi hanya diterapkan secara formalitas dan
praktek di dalamnya tidak demikian.
Dalam pada itu,
dampak lebih luas dari praktek demokrasi prosedural membuat masyarakat negeri
ini kehilangan kepercayaan kepada para pemimpin. Runtuhnya kepercayaan publik
negeri akan membuat komposisi kepemerintahan goyah karena gelombang kritik yang
terus-menerus datang silih berganti dan sekali lagi atas nama demokrasi (dalam
arti kebebasan mengeluarkan pendapat atau aspirasi).
Terlepas dari itu,
dalam kondisi demikian maka posisi agamawan sepertinya masih cukup netral.
Namun, selama ini, tokoh-tokoh agama masih cenderung enggan tampil ke hadapan
publik karena terlalu khawatir akan terjerumus ke dalam jurang politik. Karena
bagaimanapun, asumsi kebanyakan orang, bahwa agama tidak ada hubungannya dengan
negara, yang berarti secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa campur tangan
agamawan tidak dibutuhkan untuk mengurus negara. Lantas apa yang terjadi?
Praktek amoral
seperti korupsi, mafia, hingga pembunuhan masih terus terjadi. Konflik antar
suku, ras, dan etnis masih menggema di seantaro negeri ini. Setidak-tidaknya
contoh yang sedikit ini mengindikasikan bahwa negara kita memang telah rapuh,
dan disintegrasi bangsa seakan sudah di pelupuk mata.
Disadari atau tidak, kita berharap banyak
kepada para tokoh agama di negeri ini mengulurkan tangan “suci”nya untuk
bersama-sama menyelesaikan persoalan bangsa ini. Agamawan tidak harus terjun ke
dunia politik, hanya saja mereka diberikan ruang dan kesempatan.
Inilah saatnya
agamwan harus turun gunung. Tentu harapan ini tidak berangkat dari ruang
kosong, dan harapan ini berangkat dari refleksi panjang kita setelah melihat
serta menyaksikan peliknya persoalan demi persoalan yang mendera bangsa ini.
Bukan hanya persoalan korupsi, mafia pajak ataupun kasus-kasus terheboh
lainnya, tapi jujur harus kita akui bahwa negara ini sedang mencari sosok
pemimpin yang tangguh. Seoarang pemimpin yang lahir murni dari
kepercayaan masyarakat,
bukan pemimpin yang lahir dari rahim praktek demokrasi prosedural yang sarat
dengan manipulasi itu.
Tokoh-tokoh agama
dapat dikatakan masih suci dari dosa-dosa politik. Meskipun pada kenyataannya
ada sebagian agamawan yang justru memilih terjun ke dunia politik membawa
bendera agama sebagai legitimasi. Namun sungguh disayangkan, terobosan tersebut
malah justru membuat pamor sebagai seorang agamawan menurun dratis. Pilihan
sebagian agamawan terjun ke dunia politik merupakan ibarat sedang melawan arus
dan membawa kosekuensi logis akan ditinggalkan umat, sebab politik saat ini
sarat dengan kecurigaan.
Untuk itu, secara
pribadi penulis cenderung tidak sepakat jika para tokoh agama terjun bebas ke
dunia politik dengan alas an apapun. Sebab, jika melihat percaturan
perpolitikan di negeri ini akan dengan segera mengikis habis citra
serta martabat seorang agamawan di mata umat atau masyarakat. Para tokoh
agama memang dibutuhkan oleh negara ini tetapi bukan berarti mereka harus
terjun langsung ke dalam politik praksis. Agamawan harus netral, mereka juga
harus mampu jadi moderat dalam membantu menyelesaikan persoalan-persoalan
bangsa, kalau perlu menjadi pengagas karena peran agamawan sangat mendesak
dibutuhkan. Perilaku kaum elit penguasa saat ini membahayakan eksistensi negara
dan jika para tokoh agama tak turun tangan maka praktek amoral para pejabat
kita. Harapan ini mungkin terlalu berlebihan, tetapi harapan ini tentu
berangkat dari sebuah kepercayaan, setidaknya penulis, terhadap para tokoh
agama karena sejarah telah membuktikan bahwa agamawanlah yang telah memiliki
peran besar dalam membantu mengusir penjajah. Artinya, agamawan tidak bisa
lepas begitu saja dari tanggung jawab sejarah dan moral mengenai masa depan
bangsa, karena mereka juga merupakan elemen terpenting buat sebuah negara.