Wednesday, 24 October 2012

Menanti Agamawan Turun Gunung



Pasca kran demokrasi terbuka kompetisi politik semakian hari menunjukan wajah radikal dalam memperebutkan dominasi kekuasaan. Kursi-kursi kekuasaan kini tidak lagi ditempati oleh orang-orang yang notabene seorang negarawan, tapi justru diisi oleh para politikus karbitan. Negeri ini membutuhkan seorang negarawan, bukan politikus, sebab, politik cenderung membawa kepentingan pihak tertentu ketimbang demi kemaslahatan bersama serta sarat dengan perilaku tunggang-menunggang antar satu sama lain untuk kemudian mendominasi.
Demokrasi substansial yang kita idam-idamkan sebagai jalan alternatif untuk membangun bangsa ini telah kalah dengan praktek-praktek demokrasi prosedural. Perilaku demokrasi ini (baca: demokrasi prosedural) menafikan proses berdemokrasi ideal yang kita semua harapkan, dan hal ini menunjukan dua indikasi negatif. Pertama, kesadaran berdemokrasi kita masih jauh panggang dari api. Maksudnya, praktek demokrasi di negeri ini belum terterapkan dengan baik, tapi masih mencari identitas karena Indonesia dapat dikatakan masih trauma dengan praktek pemerintahan otoritarian yang berjalan selama tiga dasawarsa lebih dua tahun. Kedua, pragmatisme politik. Maksudnya, kegagalan kita dalam memahami demokrasi membuat wajah demokrasi substansi berganti menjadi demokrasi prosedural, bukan demokrasi itu sendiri yang diinginkan, tetapi demokrasi hanya diterapkan secara formalitas dan praktek di dalamnya tidak demikian.
Dalam pada itu, dampak lebih luas dari praktek demokrasi prosedural membuat masyarakat negeri ini kehilangan kepercayaan kepada para pemimpin. Runtuhnya kepercayaan publik negeri akan membuat komposisi kepemerintahan goyah karena gelombang kritik yang terus-menerus datang silih berganti dan sekali lagi atas nama demokrasi (dalam arti kebebasan mengeluarkan pendapat atau aspirasi).
Terlepas dari itu, dalam kondisi demikian maka posisi agamawan sepertinya masih cukup netral. Namun, selama ini, tokoh-tokoh agama masih cenderung enggan tampil ke hadapan publik karena terlalu khawatir akan terjerumus ke dalam jurang politik. Karena bagaimanapun, asumsi kebanyakan orang, bahwa agama tidak ada hubungannya dengan negara, yang berarti secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa campur tangan agamawan tidak dibutuhkan untuk mengurus negara. Lantas apa yang terjadi?
Praktek amoral seperti korupsi, mafia, hingga pembunuhan masih terus terjadi. Konflik antar suku, ras, dan etnis masih menggema di seantaro negeri ini. Setidak-tidaknya contoh yang sedikit ini mengindikasikan bahwa negara kita memang telah rapuh, dan disintegrasi bangsa seakan sudah di pelupuk mata.
Disadari atau  tidak, kita berharap banyak kepada para tokoh agama di negeri ini mengulurkan tangan “suci”nya untuk bersama-sama menyelesaikan persoalan bangsa ini. Agamawan tidak harus terjun ke dunia politik, hanya saja mereka diberikan  ruang dan kesempatan.
Inilah saatnya agamwan harus turun gunung. Tentu harapan ini tidak berangkat dari ruang kosong, dan harapan ini berangkat dari refleksi panjang kita setelah melihat serta menyaksikan peliknya persoalan demi persoalan yang mendera bangsa ini. Bukan hanya persoalan korupsi, mafia pajak ataupun kasus-kasus terheboh lainnya, tapi jujur harus kita akui bahwa negara ini sedang mencari sosok pemimpin yang tangguh. Seoarang pemimpin yang lahir murni dari kepercayaan  masyarakat, bukan pemimpin yang lahir dari rahim praktek demokrasi prosedural yang sarat dengan manipulasi itu.
Tokoh-tokoh agama dapat dikatakan masih suci dari dosa-dosa politik. Meskipun pada kenyataannya ada sebagian agamawan yang justru memilih terjun ke dunia politik membawa bendera agama sebagai legitimasi. Namun sungguh disayangkan, terobosan tersebut malah justru membuat pamor sebagai seorang agamawan menurun dratis. Pilihan sebagian agamawan terjun ke dunia politik merupakan ibarat sedang melawan arus dan membawa kosekuensi logis akan ditinggalkan umat, sebab politik saat ini sarat dengan kecurigaan.
Untuk itu, secara pribadi penulis cenderung tidak sepakat jika para tokoh agama terjun bebas ke dunia politik dengan alas an apapun. Sebab, jika melihat percaturan perpolitikan di negeri ini akan dengan segera mengikis habis citra serta martabat seorang agamawan di mata umat atau masyarakat. Para tokoh agama memang dibutuhkan oleh negara ini tetapi bukan berarti mereka harus terjun langsung ke dalam politik praksis. Agamawan harus netral, mereka juga harus mampu jadi moderat dalam membantu menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa, kalau perlu menjadi pengagas karena peran agamawan sangat mendesak dibutuhkan. Perilaku kaum elit penguasa saat ini membahayakan eksistensi negara dan jika para tokoh agama tak turun tangan maka praktek amoral para pejabat kita. Harapan ini mungkin terlalu berlebihan, tetapi harapan ini tentu berangkat dari sebuah kepercayaan, setidaknya penulis, terhadap para tokoh agama karena sejarah telah membuktikan bahwa agamawanlah yang telah memiliki peran besar dalam membantu mengusir penjajah. Artinya, agamawan tidak bisa lepas begitu saja dari tanggung jawab sejarah dan moral mengenai masa depan bangsa, karena mereka juga merupakan elemen terpenting buat sebuah negara. 
Disqus Comments