Benarkah Jogja Tidak Aman?
Sejak dua bulan terakhir hingga kini Jogja dapat dikatakan tidak aman. Hal ini terkait berita tentang pembacokan oleh beberapa orang yang mengendarai sepeda motor matik warna putih sembari menenteng pedang. Pelaku biasanya beraksi pada tengah malam di jalan-jalan yang sepi dan gelap menghampiri siapa saja, tak kenal sesiapa, yang lewat lantas disabet dengan pedang.
Begitulah kurang dan lebih berita yang dua bulan ini beredar di tengah-tengah masyarakat. Terlebih, berita itu juga menyebar lewat pesan singkat sms sehingga jadi perbincangan hangat di tengah-tengah masyarakat. Pantas saja masyarakat resah serta khawatir atas berita ini karena ternyata aksi vandalisme itu sungguh benar adanya, terbukti setelah beberapa orang telah jadi korban.
Motif dari aksi premanisme itu bermacam-macam. Ada sebagian orang mengatakan bahwa motifnya ialah perampokan atau perampasan, ada pula sebagian lain mengatakan aksi itu bermotif hanya sekadar membacok atau pelaku sedang mengidap penyakit jiwa (psikopat). Sebagian lain lagi mengatakan bahwa motif di balik aksi itu ialah aliran-aliran tertentu yang memang sengaja melakukan pembacokan atas dasar pemahaman tertentu.
Apapun motif serta tujuan di balik aksi tersebut yang pasti masyarakat Jogja kini sedang resah dan was-was. Fenomena ini juga menghasilkan suatu kesimpulan obyektif bahwa kota Gudheg saat ini sedang rawan dari tindakan kriminal dan tidak aman. Tentu saja hal ini menjadi pekerjaan rumah pihak keamanan Jogja menyisir ke segala penjuru kota untuk meringkus para pelaku atau komplotan pelaku penganiayaan yang beraksi dengan menggunakan senjata tajam itu. Sebab, kabarnya para pelaku tidak sentral pada satu tempat tetapi berpindah-pindah (no maden) ke tempat lain dalam melakukan aksinya. Jalan Solo, jalan Ring Road Utara, jalan Magelang, jalan Parangtritis, merupakan beberapa kawasan yang dianggap rawan, serta beberapa jalan lainnya yang cenderung sepi dan minim cahaya penerang jalan alias gelap.
Terkait keamanan tampaknya masyarakat amat sangat perlu dilibatkan. Sebab, aksi penganiayaan yang beraksi menggunakan senjata tajam itu berpindah-pindah dan tak pasti tempatnya di mana mereka beraksi. Para pelaku pun tentu tidak bodoh melakukan aksinya di tempat-tempat di mana ada aparat keamanan. Untuk itu keterlibatan masyarakat tentu sangat strategis dalam rangka memastikan kemanan warga terutama pada saat malam hari tiba serta keamanan kota Jogja pada umumnya.
Terlepas dari itu, entah mengapa pada saat Jogja sedang akan ramai justru kemanan kota budaya ini justru terancam. Setidaknya, ada dua momentum besar dalam dua bulan terakhir di Jogja, pertama perhelatan muktamar Muhammadiyah, dan kedua penerimaan mahasiswa baru. Kedua momentum itu tentu mengundang keramaian Jogja yang seharusnya tingkat kemanan secara umum mestinya sudah dapat dipastikan agar masyarakat menjadi yakin. Fenomena aksi pembacokan oleh komplotan itu jelas merupakan sebuah kejadian yang amat langka terjadi di Jogja selama beberapa dekade terakhir. Bahkan, sebenarnya Jogja dapat dikatakan kota yang relatif aman dari tindakan-tindakan kekerasan seperti pembacokan ini.
Kontras
Jika mengacu kepada Jogja yang dikenal sebagai kota pendidikan tentu kejadian ini sangat kontras. Masyarakat yang berpendidikan tentu kecil kemungkinannya melakukan aksi-aksi kekerasan dan penganiayaan semacam ini, lebih-lebih bila sampai membunuh nyawa orang lain.
Secara teori, tingkat kriminalitas di tengah-tengah masyarakat yang telah berpendidikan relatif jarang terjadi. Gesekan-gesekan sosial yang akan menimbulkan ketegangan-ketegangan, kalaupun terjadi akan segera teratasi, tidak berlama-lama. Terlebih, fakta-fakta pluralitas serta multikultural dalam kehidupan sosial di Jogja terlihat amat kentara sehingga kota yang dipimpin oleh seorang Sultan ini diberikan sebuah gelar prestisius sebagai the city of tolerance oleh berbegai kalangan.
Kehidupan sosial kota Jogja yang terdiri dari berbagai suku, ras, etnis serta agama justru membuat suatu pemandangan pluralitas. Artinya, Jogja secara umum telah berhasil menjadi sebuah kota yang tinggi tingkat toleransinya dalam kehidupan bermasyarakat, yang oleh beberapa kalangangan fakta-fakta itu merupakan representasi kebhinekaan Indonesia. Para pendatang secara tidak langsung telah berhasil membuat Jogja sebagai barometer utama pluraslisme di negeri ini. Kedatangan para pendatang yang terdiri dari berbagai suku, ras, etnis dan bergabung dengan masyarakat local yang amat kental dengan budaya Jawa melahirkan sikap toleransi tumbuh subur di Jogja. Bahkan, gesekan-gesekan sosial atau ketegangan-ketegangan justru tidak mendapat tempat di dalam keaneka-ragaman dalam kehidupan sosial masyarakat Jogjakarta. Atas fenomena komlpotan penganiayaan yang beraksi menggunakan senjata tajam berkeliaran di malam hari itu, masihkah Jogja mampu mempertahankan karakternya sebagai kota toleransi?