Thursday, 25 October 2012

Manifesto Kegagalan Politik Kartel


Sensi sekali ketika wacana hak demokrasi TNI di kancah perpolitikan nasional dilemparkan ke khalayak publik negeri ini. Pro dan kontra adalah keniscayaan. Bukan karena publik ingin meremehkan kapasitas atau kemampuan para prajurit negara itu, tapi faktor sejarahlah yang ada di balik pemikiran kita. Entah apakah konstruksi sejarah tersebut merupakan suatu kekeliruan atau tidak, namun TNI, dulu ABRI, sedikit banyak telah mengukir tinta hitam sepanjang sejarah Orde Baru.
            Orde Baru adalah suatu pelajaran paling berharga dan takkan pernah terlupakan masyarakat kita. Sebab, bagi kita, setidaknya penulis, reformasi ibarat zaman pencerahan bagi Indonesia sebagai sebuah negara merdeka. Selama 32 tahun adalah masa kegelapan yang ditandai matinya demokratisasi, eksklusifitas, sentralisasi kekuasaan serta kuatnya otoritas pemerintah sebagai pemain tunggal dalam seluruh aktivitas negara dan kebijakan-kebijakan, sementara legislatif tak lebih hanyalah tukang stempel belaka.
Luka sejarah
            Apapun bentuk sepak terjang militer sepanjang sejarah Orde Baru patut dijadikan suatu pelajaran. Namun yang pasti atmosfir perpolitikan nasional disadari atau tidak kini pasca reformasi telah banyak berubah. Kompetisi politik dalam pemilihan umum telah terbuka bagi siapa saja dan hak-hak politik itu telah kembali ke pangkuan masyarakat. Semua orang telah diberikan hak pilih sebebas-bebasnya, termasuk para pejabat pemerintahan di seantara negeri ini. Tidak seperti dulu, pejabat pemerintahan dari pusat hingga ke bawah diwajibkan memilih partai politik yang sesuai dengan latar belakang penguasa.
            Pola seperti itu berjalan rapi selama 32 tahun. Hal itu tidak terlepas dari kuatnya koalisi pemerintah dan militer dalam mengurus kehidupan sosial-politik di negeri yang telah merdeka ini. Paling tidak, sejarah itulah yang mengerubungi sebagian besar masyarakat negeri ini ketika dilemparkan wacana hak demokratisasi TNI dalam momentum pesta demokrasi, terutama mereka yang pernah merasa tersingkirkan serta dimarjinalkan oleh penguasa Orde Baru.
            Kita perlu dan wajar khawatir terkait wacana hak pilih dan dipilih TNI. Faktor sejarah telah membuat kita menjadi traumatis. Artinya, secara psikologis kita belum benar-benar siap seratus persen untuk setuju dan menerima begitu saja keterlibatan TNI dalam kancah perpolitikan nasional. Hal yang amat sangat rentan ketika TNI benar-benar memiliki hak pilih dan dipilih adalah kemungkinan besar sistem pemerintahan kita kembali pada pola Orde Baru. Apalagi, tekanan-tekanan politik saat ini memang terasa agak keras dan pedas ditambah lagi pertarungan parpol menunjukan antiklimaks. Persaingan politik yang semakin terasa keras membuat beberapa parpol seakan kehilangan flatform-nya, bahkan tak sedikit kader parpol tertentu malah justru berpindah haluan ke parpol lain, baik disebabkan kekecewaan ataupun terlalu buncitnya pengurus parpol sehingga memupuskan kesempatan. Perpecahan di dalam internal parpol sudah marak terjadi. Dan bagi parpol-parpol besar, perpecahan di internal merupakan suatu ancaman cukup serius.
            Melihat kondisi demikian, wacana hak pilih dan dipilih TNI jadi isu yang terlalu sensitif untuk saat ini. Atmosfir sosial-politik kita secara psikologis belum siap menerima wacana itu dan masyarakat masih cukup trauma. Ada baiknya jika wacana hak pilih dan dipilih TNI ditunda sampai situasi sosial-politik di negeri ini stabil dan parpol-parpol telah mapan, baik mapan dari segi kaderisasi maupaun dalam segi elektabilitasnya.
            Kondisi psikologis parpol dan kadernya saat ini masih labil. Hal ini tampak jelas karena sejatinya parpol yang berkuasa sedang mencari sembari mencoba-coba pola relasi atau kerja sama dengan elemen apa instrumen paling pas untuk mempertahankan eksistensi diri di kursi kekuasaan. Fenomena coba-coba tersebut tampak jelas saat ini di mana pemerintah (parpol) sedang gencar melakukan koalisi dengan para pengusaha atau yang lebih dikenal dengan politik kartel. Perilaku politik kartel menurut David Slater (2004) merupakan bentuk relasi antarelite politik yang dicirikan dengan kolusi antarelite, di mana kekuatan posisi minim sehingga para elit terlindung dari mekanisme akuntabilitas. Dan Sri Mulyani adalah korban dari perilaku politik kartel tersebut.
            Pecahnya beberapa parpol belakangan disebabkan peran ideologi partai telah hilang. Padahal, peran ideologi dalam sebuah partai merupakan faktor penentu perilaku koalisi parpol. Karuan saja, pola koalisi pemerintah dengan penguasaha dianggap telah menggoyahkan eksistensi parpol yang sedang berkuasa karena deal-dealan kepentingan terlalu bersiko. Dan posisi parpol yang sedang berkuasa benar-benar dalam ancaman karena koalisi lainnya kerap meminta jatah lebih besar pada posisi-posisi strategis di lingkungan formal kekuasaan.
            Mencari terobosan baru merupakan jalan alternatif jawaban atas kegagalan itu. Dan wacana terkait hak pilih dan dipilih TNI adalah terobosan alternatif tersebut guna memecahkan kebuntuan dan masa depan kekuasaan. Prospek koalisi pemerintah, parpol dan militer (TNI) di masa mendatang sepertinya akan cerah. Sudah jadi pemahaman umum bahwa TNI (militer) memiliki kekuatan cukup strategis bahkan menjanjikan dalam mempertahankan dominasi kekuasaan di kursi pemerintahan karena Orde Baru telah berhasil membuktikan keberhasilannya selama 32 tahun.
            Pungkasnya, barisan elit politik cukup jeli membaca kondisi sosial-politik serta kecenderungan masyarakat saat ini. Sebab, secara umum, masyarakat telah tenggelam dalam uforia reformasi dan era demokratisasi selama 12 tahun belakangan. Uforia itu telah mengikis ingatan kolektif masyarakat terhadap rezim Orde Baru yang bersekongkol dengan militer dalam rangka mempertahankan dominasi kekuasaan. Masyarakat kita saat ini terkecoh dengan perilaku politik pencitraan yang seakan telah membuktikan bahwa para “alumni” militer atau TNI  berhasil menjaga dominasinya di kursi kekuasaan, meskipun tiga sosok presiden sebelumnya adalah dari kalangan sipil. Tapi, setidaknya, sampai saat ini citra militer di kursi kekuasaan sudah cukup baik di mata publik. Lantas apakah hal itu justru jadi alat legitimasi kuat untuk mewacanakan hak pilih dan dipilih TNI?
Disqus Comments