Wednesday, 24 October 2012

Cepat, Menjadi Lebih Baik



Tak pelak, slogan kampanye para calon presiden (capres) begitu populer di mata publik saat ini. Salah satu slogan yang sangat populer tersebut adalah milik Jusuf Kalla (JK), "lebih cepat lebih baik", yang dalam kesempatan pemilihan presiden (pilpres) kali ini maju sebagai capres didampingi Wiranto dari Partai Hanura. Ini satu pasangan yang mendapatkan kelebihan tersendiri di mata masyarakat dan memiliki perbedaan dibanding dua pasangan lainnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono dan Megawati-Prabowo.
Dalam kancah perpolitikan sebenarnya JK dan Wiranto bukanlah sosok baru, sehingga keduanya bisa dibilang komplet. Mereka pasangan Jawa dan luar Jawa atau lebih populer dengan sebutan pasangan Nusantara. Sebab, sudah beberapa dekade, kepemimpinan Indonesia seakan "didominasi" figur dari kawasan Pulau Jawa. Soekarno, Soeharto, Gus Dur atau Abdurrahman Wahid, Megawati, dan SBY semuanya dari Jawa. Hanya BJ Habibie yang berasal dari luar Jawa. Itu pun menjadi presiden karena mengisi posisi yang ditinggalkan Soeharto yang lengser dan dia hanya menjabat sekitar satu setengah tahun saja.
Dengan demikian, kehadiran JK dalam kontestasi pilpres sebagai capres melahirkan sejarah baru di kepemimpinan nasional, apalagi nanti jika benar JK terpilih. Tak ayal, perhatian publik pun seakan tertuju pada sosok pria kelahiran Watampone, Sulawesi Selatan, 66 tahun silam ini.
Negeri ini terlalu membuat miris kalau dikisahkan segala problema yang menimpanya. Tetapi, bukan berarti kita tidak memiliki sisi baiknya. Dalam beberapa hal, sebenarnya sudah terjadi perbaikan (perubahan), namun belum sampai pada tingkat optimalisasi. Bahkan, terkadang proses perbaikan berhenti di tengah jalan (tidak tuntas) lantaran pemerintah kita yang kesulitan menjaga konsistensinya.
Masalah kemiskinan, misalnya, sampai saat ini pemerintah kita belum mampu mengentasnya. Seakan kemiskinan menjadi sebuah fenomena umum, bahkan lumrah di sebuah negara merdeka seperti Indonesia. Lebih parah lagi, ada anggapan yang menyatakan bahwa kemiskinan sebagai sebuah kodrat atau takdir Tuhan. Ada si kaya dan si miskin.
Tetapi, tampaknya kita harus mulai membedakan antara persoalan kodrati dan yang tidak kodrati. Sesuatu yang kodrati memang terjadi karena kehendak Tuhan. Pria dan wanita, tua dan muda, kiri dan kanan, semua itu sengaja diciptakan oleh Tuhan untuk memberikan keseimbangan hidup manusia.
Dalam konteks kemiskinan, tampaknya masih perlu kiranya untuk diperdebatkan sekaligus dipertanyakan. Sebab, berbicara mengenai kemiskinan, tentu berkaitan dengan sistem yang mengelola sumber daya manusia. Terjadinya kemiskinan secara ekonomi di masyarakat tak terlepas dari buruknya sistem atau tata cara pengelolaannya.
Pengelolaan sumber daya manusia (SDM) maupun sumber daya alam (SDA) terkadang belum sampai pada level optimal, bahkan cenderung didominasi oleh kalangan tertentu yang lebih memikirkan keuntungan pribadi. Akibatnya, wacana ekonomi berbasis kerakyatan seakan menjadi hal yang mustahil diterapkan jika sistem tersebut tak segera dibenahi. Akhirnya, masyarakat yang tidak memiliki kekuatan apa-apa kena imbasnya dan makin tenggelam dalam kemiskinan dan penderitaan yang berkepanjangan.
Semua orang menyadari betul kondisi tersebut, tak terkecuali pemerintah. Salah satu upayanya yaitu mengeluarkan kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) yang kontradiktif. Sebab, upaya seperti ini hanya untuk jangka pendek yang tak mungkin dilakukan terus-menerus.
Terlepas dari itu semua, mewujudkan Indonesia menjadi lebih baik merupakan sebuah keniscayaan. Kita sudah terlalu lelah menyaksikan sekaligus mengalami kondisi yang tidak menentu. Setelah 63 tahun merdeka, seakan negeri ini tak beranjak serta menunjukkan perubahan yang signifikan dalam berbagai hal, mulai dari budaya, politik, pendidikan, sampai pada kebijakan perekonomian. Negara kita telah jauh dari kemajuan jika tak mau dibilang melarat atau terpuruk. Alih-alih mau berubah, stagnasi justru terjadi di berbagai bidang dan kian tampak jelas di hadapan kita semua.
Berbagai persoalan bangsa tampak jelas di hadapan kita menunggu upaya penyelesian secara konkret. Butuh sosok pemimpin yang bijak nan bervisi jelas bahkan cepat (tangkas) untuk menjawab berbagai persoalan yang melilit tersebut agar kita segera keluar dari keterpurukan ini. Salah-salah, malah justru negeri ini jatuh dalam kategori negara gagal (failed state), di mana kondisi negeri tak kunjung membaik. Dalam waktu yang mendesak perubahan mutlak diwujudkan demi melanjutkan agenda kemerdekaan.
Hari ini rakyat Indonesia dihadapkan pada momentum pilpres, memilih calon pemimpin untuk lima tahun ke depan. Harapan besar rakyat membubung tinggi di seantaro negeri. Harapan akan perbaikan serta perubahan tersandar di pundak JK-Wiranto, Megawati-Prabowo, dan SBY-Boediono jika salah satu pasangan keluar sebagai pemenang nanti.
Rakyat membutuhkan kepemimpinan yang inovatif serta implementatif. Dan, hal ini akan didapatkan pada akar budaya Indonesia serta dikombinasikan dengan masukan dari lintas generasi dan budaya untuk memberikan sesuatu hasil yang unik. Untuk itu, harus melalui beberapa tahap, seperti yang dikemukakan Effendi Sirodjuddin dalam bukunya.
Pertama, menciptakan kecerdasan sosial (social intelligence). Kedua, membandingkan dan mempelajari berbagai macam indikator modal intelektual negara. Ketiga, membandingkan berbagai macam dewan global. Keempat, inovasi sosial untuk memelihara keberlangsungan dan pembaruan masyarakat. Kelima, perpindahan dan konsentrasi sumber daya manusia.
Meski hal ini terdapat dalam konteks perekonomian, rasanya patut untuk dicoba sebagai terobosan awal menuju perubahan yang hakiki. Sebab, bagaimanapun, bidang yang paling vital dalam keberlangsungan hidup manusia adalah perekonomian. Anda boleh setuju atau tidak dengan pendapat ini, namun faktanya bahwa kekuatan ekonomi telah mendominasi berbagai hal saat ini. Dengan demikian, segala kebijakan apa pun, ketika akan diterapkan pasti dengan pertimbangan untung dan rugi.
Oleh karena itu, visi menjadi lebih baik patut diperhitungkan dalam menentukan sebuah pilihan kepada seorang pemimpin. Sebab, visi akan menunjukkan kesungguhan pada diri sosok kandidat. Terlepas dari apakah berahi kekuasaan yang lebih dominan akan dapat kita nilai dari makna visi dan misi yang diusung sebagai sumber kekuatan para calon. 
Disqus Comments