Tak
pelak, slogan kampanye para calon presiden (capres) begitu populer di mata
publik saat ini. Salah satu slogan yang sangat populer tersebut adalah milik
Jusuf Kalla (JK), "lebih cepat lebih baik", yang dalam kesempatan
pemilihan presiden (pilpres) kali ini maju sebagai capres didampingi Wiranto
dari Partai Hanura. Ini satu pasangan yang mendapatkan kelebihan tersendiri di
mata masyarakat dan memiliki perbedaan dibanding dua pasangan lainnya, Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono dan Megawati-Prabowo.
Dalam
kancah perpolitikan sebenarnya JK dan Wiranto bukanlah sosok baru, sehingga
keduanya bisa dibilang komplet. Mereka pasangan Jawa dan luar Jawa atau lebih
populer dengan sebutan pasangan Nusantara. Sebab, sudah beberapa dekade,
kepemimpinan Indonesia seakan "didominasi" figur dari kawasan Pulau
Jawa. Soekarno, Soeharto, Gus Dur atau Abdurrahman Wahid, Megawati, dan SBY
semuanya dari Jawa. Hanya BJ Habibie yang berasal dari luar Jawa. Itu pun
menjadi presiden karena mengisi posisi yang ditinggalkan Soeharto yang lengser
dan dia hanya menjabat sekitar satu setengah tahun saja.
Dengan
demikian, kehadiran JK dalam kontestasi pilpres sebagai capres melahirkan
sejarah baru di kepemimpinan nasional, apalagi nanti jika benar JK terpilih.
Tak ayal, perhatian publik pun seakan tertuju pada sosok pria kelahiran
Watampone, Sulawesi Selatan, 66 tahun silam ini.
Negeri
ini terlalu membuat miris kalau dikisahkan segala problema yang menimpanya.
Tetapi, bukan berarti kita tidak memiliki sisi baiknya. Dalam beberapa hal, sebenarnya
sudah terjadi perbaikan (perubahan), namun belum sampai pada tingkat
optimalisasi. Bahkan, terkadang proses perbaikan berhenti di tengah jalan
(tidak tuntas) lantaran pemerintah kita yang kesulitan menjaga konsistensinya.
Masalah
kemiskinan, misalnya, sampai saat ini pemerintah kita belum mampu mengentasnya.
Seakan kemiskinan menjadi sebuah fenomena umum, bahkan lumrah di sebuah negara
merdeka seperti Indonesia. Lebih parah lagi, ada anggapan yang menyatakan bahwa
kemiskinan sebagai sebuah kodrat atau takdir Tuhan. Ada si kaya dan si miskin.
Tetapi,
tampaknya kita harus mulai membedakan antara persoalan kodrati dan yang tidak
kodrati. Sesuatu yang kodrati memang terjadi karena kehendak Tuhan. Pria dan
wanita, tua dan muda, kiri dan kanan, semua itu sengaja diciptakan oleh Tuhan
untuk memberikan keseimbangan hidup manusia.
Dalam
konteks kemiskinan, tampaknya masih perlu kiranya untuk diperdebatkan sekaligus
dipertanyakan. Sebab, berbicara mengenai kemiskinan, tentu berkaitan dengan
sistem yang mengelola sumber daya manusia. Terjadinya kemiskinan secara ekonomi
di masyarakat tak terlepas dari buruknya sistem atau tata cara pengelolaannya.
Pengelolaan
sumber daya manusia (SDM) maupun sumber daya alam (SDA) terkadang belum sampai
pada level optimal, bahkan cenderung didominasi oleh kalangan tertentu yang
lebih memikirkan keuntungan pribadi. Akibatnya, wacana ekonomi berbasis
kerakyatan seakan menjadi hal yang mustahil diterapkan jika sistem tersebut tak
segera dibenahi. Akhirnya, masyarakat yang tidak memiliki kekuatan apa-apa kena
imbasnya dan makin tenggelam dalam kemiskinan dan penderitaan yang
berkepanjangan.
Semua
orang menyadari betul kondisi tersebut, tak terkecuali pemerintah. Salah satu
upayanya yaitu mengeluarkan kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) yang
kontradiktif. Sebab, upaya seperti ini hanya untuk jangka pendek yang tak
mungkin dilakukan terus-menerus.
Terlepas
dari itu semua, mewujudkan Indonesia menjadi lebih baik merupakan sebuah
keniscayaan. Kita sudah terlalu lelah menyaksikan sekaligus mengalami kondisi
yang tidak menentu. Setelah 63 tahun merdeka, seakan negeri ini tak beranjak
serta menunjukkan perubahan yang signifikan dalam berbagai hal, mulai dari
budaya, politik, pendidikan, sampai pada kebijakan perekonomian. Negara kita telah
jauh dari kemajuan jika tak mau dibilang melarat atau terpuruk. Alih-alih mau
berubah, stagnasi justru terjadi di berbagai bidang dan kian tampak jelas di
hadapan kita semua.
Berbagai
persoalan bangsa tampak jelas di hadapan kita menunggu upaya penyelesian secara
konkret. Butuh sosok pemimpin yang bijak nan bervisi jelas bahkan cepat
(tangkas) untuk menjawab berbagai persoalan yang melilit tersebut agar kita
segera keluar dari keterpurukan ini. Salah-salah, malah justru negeri ini jatuh
dalam kategori negara gagal (failed state), di mana kondisi negeri tak kunjung
membaik. Dalam waktu yang mendesak perubahan mutlak diwujudkan demi melanjutkan
agenda kemerdekaan.
Hari
ini rakyat Indonesia dihadapkan pada momentum pilpres, memilih calon pemimpin
untuk lima tahun ke depan. Harapan besar rakyat membubung tinggi di seantaro
negeri. Harapan akan perbaikan serta perubahan tersandar di pundak JK-Wiranto,
Megawati-Prabowo, dan SBY-Boediono jika salah satu pasangan keluar sebagai
pemenang nanti.
Rakyat
membutuhkan kepemimpinan yang inovatif serta implementatif. Dan, hal ini akan
didapatkan pada akar budaya Indonesia serta dikombinasikan dengan masukan dari
lintas generasi dan budaya untuk memberikan sesuatu hasil yang unik. Untuk itu,
harus melalui beberapa tahap, seperti yang dikemukakan Effendi Sirodjuddin
dalam bukunya.
Pertama,
menciptakan kecerdasan sosial (social intelligence). Kedua, membandingkan dan
mempelajari berbagai macam indikator modal intelektual negara. Ketiga,
membandingkan berbagai macam dewan global. Keempat, inovasi sosial untuk
memelihara keberlangsungan dan pembaruan masyarakat. Kelima, perpindahan dan
konsentrasi sumber daya manusia.
Meski
hal ini terdapat dalam konteks perekonomian, rasanya patut untuk dicoba sebagai
terobosan awal menuju perubahan yang hakiki. Sebab, bagaimanapun, bidang yang
paling vital dalam keberlangsungan hidup manusia adalah perekonomian. Anda
boleh setuju atau tidak dengan pendapat ini, namun faktanya bahwa kekuatan
ekonomi telah mendominasi berbagai hal saat ini. Dengan demikian, segala
kebijakan apa pun, ketika akan diterapkan pasti dengan pertimbangan untung dan
rugi.
Oleh
karena itu, visi menjadi lebih baik patut diperhitungkan dalam menentukan sebuah
pilihan kepada seorang pemimpin. Sebab, visi akan menunjukkan kesungguhan pada
diri sosok kandidat. Terlepas dari apakah berahi kekuasaan yang lebih dominan
akan dapat kita nilai dari makna visi dan misi yang diusung sebagai sumber
kekuatan para calon.