Wednesday, 24 October 2012

Sawit dan Kedaulatan Ekonomi Kalbar



Perdagangan bebas bila tak segera dihentikan, maka akan merugikan Kalimantan Barat yang memiliki potensi ekonomi cukup menjanjikan. Dalam undang-undang, negara kita telah menyatakan pihak asing memiliki hak untuk menyewa tanah hingga mencapai 95 tahun lamanya, waktu yang cukup untuk menguras dan mengeruk kekayaan alam negeri ini habis-habisan. Pihak asing benar-benar telah memanfaatkan jangka waktu tersebut untuk mengeruk kekayaan alam  negeri ini seoptimal mungkin dan pihak yang paling dirugikan tak lain ialah masyarakat pribumi. 
Kerugian ini telah sangat dirasakan oleh masyarakat petani pribumi Kalimantan Barat. Pasalnya, meski harga kelapa sawit mengalami kenaikan dari Rp. 1.134 per kilogram menjadi Rp. 1231 per kilogram justru petani hanya memperoleh keuntungan sedikit, sementara perusahaan-perusahaan asing yang menikmatinya. Terutama perusahaan-perusahaan Malaysia merasakan keuntungan berlipat pasca kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) di putaran pasar dunia saat ini. 
Setidaknya ada dua kerugian dalam kasus kelapa sawit ini. Pertama, kenaikan harga minyak sawit mentah menguntungkan pihak asing karena  dominasi perusahaannya. Kedua, perizinan bupati Kalimantan barat terkait pembukaan lokasi perkebunan kepala sawit sehingga akan berdampak pada kerusakan alam Indonesia, khususnya Kalbar.         Berangkat dari fakta hasil pemetaan Dinas Kehutanan Kalbar tahun 2009, di empat kabupaten, yakni Bengkayang, Sambas, Sanggau, dan Ketapang, setidaknya terdapat 67 izin perkebunan sawit seluas 400.000 haktare yang diterbitkan pemkab merambah kawasan hutan (Kompas, 24/02/2010).  Ditambahkan dalam sepuluh tahun terakhir empat propinsi di Kalimantan mengeluarkan izin perkebunan sawit mencapai 996 buah, dan Kalbar menempati urutan pertama dengan izin 329, Kalteng 302, Kaltim 297 dan Kalsel 68. Semuanya berada di pulau Borneo atau Kalimantan. 
Kondisi ini cukup memprihatinkan. Mengingat kedaulatan ekonomi atau meminjam istilah mantan presiden Soekarno berdiri dengan kaki diri sendiri (Berdikari) masih jauh panggang dari api dan hanya selesai dalam bentuk wacana, tapi miskin implementasi. Pemerintah masih belum mau melepaskan diri dari intervensi pihak-pihak asing meski keuntungan yang diperoleh dari perusahaan-perusahaan kaum kapitalis itu hanya secuil, ironisnya kita sudah berbangga hati. 
Kemerdekaan Ekonomi Rakyat
Disadari atau tidak, dalam konteks ekonomi Negara kita belum seutuhnya merdeka. Meski secara politik tahun 1945 Indonesia telah mengumandangkan pekik kemerdekaan, namun sangat disayangkan, kemerdekaan tersebut berhenti sampai pada terbebasnya Negara dari kungkungan penjajahan secara fisik. Pemaknaan kemerdekaan nampaknya terlalu parsial hanya sebatas pada kemerdekaan secara perang bukan kemerdekaan seutuhnya sebagaimana impian kita bersama selama ini. Spirit kemerdekaan 64 tahun silam itu tak diterjemahkan secara universal yang melingkupi di segala bidang dan sendi kehidupan, budaya, ekonomi, politik, dan seterusnya. 
Terutama dalam bidang dan sendi ekonomi. Indonesia masih saja terbelit utang yang terus membengkak karena kebijakan pemerintah yang gemar mengutang ke luar negeri demi menutupi defisit APBN akibat perilaku korup secara besar-besaran para petinggi Negara dengan maksud memperkaya diri sendiri. Beberapa tahun belakangan, praktek nista bernama korupsi gencar terungkap karena memang telah berakar serta beranak-pinak, tak saja di tingkatan pemerintah pusat, tapi bahkan merambah hingga ke pemerintah daerah. Kemerdekaan rakyat dalam bidang ekonomi merupakan sebuah keniscayaan bahkan harga mati. Termasuk di dalam sektor perkebunan kelapa sawit yang merupakan salah satu lumbung pendapatan perekonomian masyarakat cukup produktif di kawasan Kalimantan dan Sumatera. Tak terkecuali di Kalimantan Barat. 
Kontrol Melalui Regulasi
Beberapa kalangan menyatakan bahwa Indonesia tak mungkin bisa melepaskan diri dari intervensi asing. Mengingat, neoliberalisme dan sekulerisasi telah terlampau akut dan terorganisir secara sistematis di bumi pertiwi menelusup ke berbagai bidang, bahkan dapat dikatakan telah mendarah daging. Tapi bukan berarti kita tidak bisa, meski harus membutuhkan jangka waktu yang relatif panjang. Buktinya Venezuela telah berhasil melepaskan diri dari intervensi asing kurang lebih 50 tahun lamanya, begitupun China telah mampu membangun kekuatan ekonomi dengan menerapkan revolusi pendidikan dan kebudayaan pada masa Deng Xioping, sehingga mereka benar-benar mampu berdikari secara ekonomi yang nyaris sempurna. 
Indonesia bukan tak mungkin melakukan hal serupa. Kita dapat melakukannya melalui regulasi atau kebijakan berupa UU untuk mengontrol segala bentuk intervensi asing yang sudah sangat berlebihan terhadap kekayaan nasional. Menurut hemat penulis, telah tertanam sebuah kesadaran kolektif terhadap wacana kedaulatan ekonomi, bahkan di tahun 1984 silam para ekonom dengan gencar mengagas ekonomi pancasila di Yogyakarta, tinggal bagaimana implementasinya di hari-hari mendatang. Setidaknya hal itu menjadi modal utama. Kita telah lama merindukan kesejahteraan. Tentu saja kesejahteraan bersama, bukan kesejahteraan kelompok tertentu apalagi individual karena semangat menghapus nepotisme telah lama tertanam di benak seluruh anak negeri ini. Dan rasa memiliki terhadap negeri sendiri jauh lebih penting, bukan nasionalisme  yang tampak pada permukaan belaka tapi minus substansi.
Disqus Comments