Hubungan persahabatan
atau hubungan diplomatik dengan negara-negara luar merupakan kebutuhan sekunder
sebuah negara. Tak terkecuali Indonesia . Hubungan diplomatik antar negara
dibutuhkan karena faktor politik luar negeri yang terkadang karut marut akibat
egoisme kepentingan (conflict of interest), kepentingan ideologis,
kepentingan ekonomi serta kepentingan pertahanan dan keamanan masing-masing
negara. Ambil contoh semisal, Amerika Serikat dengan kepentingan kapitalismenya,
Uni Soviet (dulu) dengan kepentingan ideologi komunisnya, serta China dengan
kepentingan ekonomi dan perdagangannya, amat sangat mencolok beberapa dekade
belakangan. Terutama pasca revolusi ekonomi dan kebudayaan yang dideklarasikan
Deng Xioping sebagai seorang revolusioner kebangkitan RRC.
Konflik kepentingan antar
negara di dunia berujung pada sikap sentimentil. Ambisi untuk saling menguasai
begitu kuat dan dominan, sehingga berujung pada penjajahan, konfrontasi secara
fisik maupun nonfisik membuat perperangan nyaris tak terelakkan. Kosekuensi
peperangan; penderitaan dan kehancuran tak lagi menjadi sebuah pertimbangan
logis. Hubungan antar negara menegang, nyaris menjadi mustahil terbina,
cita-cita perdamaian antar umat manusia di dunia ibarat hanya sebuah mimpi yang
mustahil berwujud nyata, dan hanya tertulis dalam secarik kertas kesepakan di
PBB. Meski sebenarnya, itu telah menjadi sebuah komitmen kolektif negara-negara
di dunia, tak tak jarangproses negosiasi berakhir dengan kebuntuan karena tarik
ulur kepentingan.
Namun, seiring berakhirnya
perang dunia I, perang dunia II, dan perang dingin, kesadaran akan perdamaian
dunia kembali menyeruak ke permukaan. Seakan menyulut nafas baru bagi masa
depan harmonisasi antar umat manusia. Hal itu ditandai dengan betapa gencarnya
beberapa negara dunia terus mengupayakan jalinan diplomatis antar negara.
Hubungan kerjasama dalam beberapa bidang segera diwacanakan, dengan jaminan
agar saling menopang sesuai potensi yang dimiliki negara. Tak tertinggal
Indonesia . Selain perdamaian dunia, adalah misi utama PBB, karena Indonesia
termasuk anggota PBB, bagi Indonesia, perdamaian dunia (kemerdekaan) adalah
satu kemutlakan dan keniscayaan yang tak dapat ditawar-tawar. Karena itulah
kebutuhan dunia untuk menjaga eksistensi keberlangsungan kehidupan umat manusia
di bumi.
Masih sebatas formalitas
Kepentingan pertahanan,
keamanan dan ekonomi masih terlalu dominan sebagai wadah menjalin hubungan
diplomatik antarbangsa. Atau, karena faktor kesamaan (kemiripan) sebuah prioritas
pembangunan negara, realitas kehidupan sosial, serta faktor sejarah yang
melatarbelakangi kedua negara. Bagi negara-negara yang pernah dijajah pada masa
silam, faktor kesamaan atau kemiripan merupakan salah satu alasan utama. Sebab,
penjajahan setidaknya telah menyisakan bekas dan jejaknya di bumi jajahan,
terlebih bila proses jajahan berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang
hingga puluhan bahkan ratusan tahun. Indonesia pernah mengalami.
Namun, faktor kepentingan
tertentu lebih dominatif. Sebagai contoh, hubungan diplomatik antara Indonesia
dengan China, tereratkan karena kepentingan perekonomian dan perdagangan yang
dimatrealkan dalam sebuah perjanjian ACFTA beberapa bulan lalu, bahkan, hingga
saat ini masih berlangsung. Hubungan diplomatik Indonesia dengan Australia ,
contoh lain, dalam aspek pertahanan dan keamanan karena Indonesia menanggung
beban moral terkait ledakan bom mahadahsyat oleh sekelompok teroris di pantai
Kuta, Bali enam tahun silam, yang menelan korban mayoritas warga negara Kanguru
itu. Atau, hubungan pertahanan antara Indonesia dengan negara tetangga Malaysia
terkait perebutan blok Ambalat serta hubungan dalam bidang budaya terkait
beberapa kasus klaim kebudayaan tradisional Indonesia oleh Malaysia , seperti
batik, Reog Ponorogo, dan beberapa nyayian daerah. Hubungan diplomatik itu
sekilas masih hanya sebatas formalitas belaka, yang lahir oleh sebuah momentum
atau suatu peristiwa. Namun, kita patut memberikan sedikit banyak apresiasi
terhadap kebijakan tersebut.
Libatkan berbagai aktor
Hubungan diplomatik dengan
wadah apapun adalah positif. Untuk menjalin kerjasama. Menciptakan rasa saling
percaya antarbangsa. Namun, pertanyaannya, sudahkah hubungan diplomatik
tersebut mampu menciptakan rasa saling percaya?
Sejauh ini, jawabannya belum.
Hal ini disebabkan diplomasi hanya dilakukan secara monoton. Di sisi lain,
diplomasi cenderung hanya dilakukan oleh aktor profesi diplomat belaka.
Diplomasi telah menjadi sebuah profesi. Dengan asumsi agar proses diplomasi
dilakukan secara professional. Padahal, diplomasi dapat melibatkan profesi lain
atau mencakup berbagai individu dan kelompok yang berkecimpung di dalam
komunikasi internasional dengan berbagai latar belakang; mahasiswa, budayawan,
sastrawan, usahawan, agamawan, dan lain-lain.
Diplomasi ekonomi, pertahanan,
dan kebudayaan, mungkin, merupakan beberapa wadah yang umum digunakan sebagai
jalan. Tapi, bukan berarti telah ideal. Penulis mengusulkan satu wadah, jalan
atau alat diplomasi, yakni bidang sastra. Usulan ini bukan tanpa alasan. Sebab
, Indonesia pernah melakoni hal ini jauh hari sebelum pekik kemerdekaan
dikumandangkan. Kongkretnya , Indonesia di bawah pimpinan Soekarno telah
meracik hubungan diplomatik Indonesia-Rusia. Meski harus diakui ada unsur
kepentingan ideologi, tapi, di sisi lain hubungan kedua negara ini juga
berdasarkan pertukaran karya-karya sastra. Hubungan ini terjalin hamonis dan
akrab setelah Tsar Nikolas II pada tahun 1894 mengangkat seorang pengarang
monograf sebagai kanselor jenderal di Batavia , M. Bakunin. Penulis buku tropical holand, five years in java.
Dialah tokoh (penulis) yang telah memperkenalkan para sastrawan negeri ini
kepada para penikmat sastra di Rusia. Seperti Chairil Anwar, Sanusi Pane, Amir
Hamzah, Sitor Situmorang, Sanusi Apin, Armijin Pane dan lain-lain.
Tak sedikit buah karya para
sastrawan Indonesia ditulis dengan bahasa Rusia sekaligus dikonsumsi oleh para
penikmat sastra di Rusia sebagai bacaan dan rujukan sastra. Dan ini, terus
berlanjut kepada para sastrawan Indonesia angkatan berikutnya. Seperti
Pramoedya Ananta Toer, salah satu karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Rusia berjudul Bumi Manusia (tetralogi). Tokoh sastrawan lain, Toha Mohtar,
Putu Wijaya, Umar Kayam, Mochtar Lubis dan para sastrawan seangkatannya.
Tradisi ini berlanjut pada karya-karya WS Rendra dan Taufiq Ismail. Dan
sebaliknya, karya-karya sastrawan Rusia pun diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh sastrawan tanah air. Sebuah pertukaran karya sastra yang apik
dan saling mendukung. Dari sini, artinya, bidang sastra sangatmemungkinkan
sebagai wadah diplomasi antarbangsa sebagai
ruang terobosan baru untuk menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara
luar, sebab, sastra dapat dikatakan sebagai ruang yang cukup netral dari aroma
politik yang sejak dulu menunjukan wajah radikal nan buas.