Wednesday, 24 October 2012

Diplomasi Sastra


Hubungan persahabatan atau hubungan diplomatik dengan negara-negara luar merupakan kebutuhan sekunder sebuah negara. Tak terkecuali Indonesia . Hubungan diplomatik antar negara dibutuhkan karena faktor politik luar negeri yang terkadang karut marut akibat egoisme kepentingan (conflict of interest), kepentingan ideologis, kepentingan ekonomi serta kepentingan pertahanan dan keamanan masing-masing negara. Ambil contoh semisal, Amerika Serikat dengan kepentingan kapitalismenya, Uni Soviet (dulu) dengan kepentingan ideologi komunisnya, serta China dengan kepentingan ekonomi dan perdagangannya, amat sangat mencolok beberapa dekade belakangan. Terutama pasca revolusi ekonomi dan kebudayaan yang dideklarasikan Deng Xioping sebagai seorang revolusioner kebangkitan RRC.
Konflik kepentingan antar negara di dunia berujung pada sikap sentimentil. Ambisi untuk saling menguasai begitu kuat dan dominan, sehingga berujung pada penjajahan, konfrontasi secara fisik maupun nonfisik membuat perperangan nyaris tak terelakkan. Kosekuensi peperangan; penderitaan dan kehancuran tak lagi menjadi sebuah pertimbangan logis. Hubungan antar negara menegang, nyaris menjadi mustahil terbina, cita-cita perdamaian antar umat manusia di dunia ibarat hanya sebuah mimpi yang mustahil berwujud nyata, dan hanya tertulis dalam secarik kertas kesepakan di PBB. Meski sebenarnya, itu telah menjadi sebuah komitmen kolektif negara-negara di dunia, tak tak jarangproses negosiasi berakhir dengan kebuntuan karena tarik ulur kepentingan.
Namun, seiring berakhirnya perang dunia I, perang dunia II, dan perang dingin, kesadaran akan perdamaian dunia kembali menyeruak ke permukaan. Seakan menyulut nafas baru bagi masa depan harmonisasi antar umat manusia. Hal itu ditandai dengan betapa gencarnya beberapa negara dunia terus mengupayakan jalinan diplomatis antar negara. Hubungan kerjasama dalam beberapa bidang segera diwacanakan, dengan jaminan agar saling menopang sesuai potensi yang dimiliki negara. Tak tertinggal Indonesia . Selain perdamaian dunia, adalah misi utama PBB, karena Indonesia termasuk anggota PBB, bagi Indonesia, perdamaian dunia (kemerdekaan) adalah satu kemutlakan dan keniscayaan yang tak dapat ditawar-tawar. Karena itulah kebutuhan dunia untuk menjaga eksistensi keberlangsungan kehidupan umat manusia di bumi.
Masih sebatas formalitas
Kepentingan pertahanan, keamanan dan ekonomi masih terlalu dominan sebagai wadah menjalin hubungan diplomatik antarbangsa. Atau, karena faktor kesamaan (kemiripan) sebuah prioritas pembangunan negara, realitas kehidupan sosial, serta faktor sejarah yang melatarbelakangi kedua negara. Bagi negara-negara yang pernah dijajah pada masa silam, faktor kesamaan atau kemiripan merupakan salah satu alasan utama. Sebab, penjajahan setidaknya telah menyisakan bekas dan jejaknya di bumi jajahan, terlebih bila proses jajahan berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang hingga puluhan bahkan ratusan tahun. Indonesia pernah mengalami.
Namun, faktor kepentingan tertentu lebih dominatif. Sebagai contoh, hubungan diplomatik antara Indonesia dengan China, tereratkan karena kepentingan perekonomian dan perdagangan yang dimatrealkan dalam sebuah perjanjian ACFTA beberapa bulan lalu, bahkan, hingga saat ini masih berlangsung. Hubungan diplomatik Indonesia dengan Australia , contoh lain, dalam aspek pertahanan dan keamanan karena Indonesia menanggung beban moral terkait ledakan bom mahadahsyat oleh sekelompok teroris di pantai Kuta, Bali enam tahun silam, yang menelan korban mayoritas warga negara Kanguru itu. Atau, hubungan pertahanan antara Indonesia dengan negara tetangga Malaysia terkait perebutan blok Ambalat serta hubungan dalam bidang budaya terkait beberapa kasus klaim kebudayaan tradisional Indonesia oleh Malaysia , seperti batik, Reog Ponorogo, dan beberapa nyayian daerah. Hubungan diplomatik itu sekilas masih hanya sebatas formalitas belaka, yang lahir oleh sebuah momentum atau suatu peristiwa. Namun, kita patut memberikan sedikit banyak apresiasi terhadap kebijakan tersebut.
Libatkan berbagai aktor
Hubungan diplomatik dengan wadah apapun adalah positif. Untuk menjalin kerjasama. Menciptakan rasa saling percaya antarbangsa. Namun, pertanyaannya, sudahkah hubungan diplomatik tersebut mampu menciptakan rasa saling percaya?
Sejauh ini, jawabannya belum. Hal ini disebabkan diplomasi hanya dilakukan secara monoton. Di sisi lain, diplomasi cenderung hanya dilakukan oleh aktor profesi diplomat belaka. Diplomasi telah menjadi sebuah profesi. Dengan asumsi agar proses diplomasi dilakukan secara professional. Padahal, diplomasi dapat melibatkan profesi lain atau mencakup berbagai individu dan kelompok yang berkecimpung di dalam komunikasi internasional dengan berbagai latar belakang; mahasiswa, budayawan, sastrawan, usahawan, agamawan, dan lain-lain.
Diplomasi ekonomi, pertahanan, dan kebudayaan, mungkin, merupakan beberapa wadah yang umum digunakan sebagai jalan. Tapi, bukan berarti telah ideal. Penulis mengusulkan satu wadah, jalan atau alat diplomasi, yakni bidang sastra. Usulan ini bukan tanpa alasan. Sebab , Indonesia pernah melakoni hal ini jauh hari sebelum pekik kemerdekaan dikumandangkan. Kongkretnya , Indonesia di bawah pimpinan Soekarno telah meracik hubungan diplomatik Indonesia-Rusia. Meski harus diakui ada unsur kepentingan ideologi, tapi, di sisi lain hubungan kedua negara ini juga berdasarkan pertukaran karya-karya sastra. Hubungan ini terjalin hamonis dan akrab setelah Tsar Nikolas II pada tahun 1894 mengangkat seorang pengarang monograf sebagai kanselor jenderal di Batavia , M. Bakunin. Penulis buku tropical holand, five years in java. Dialah tokoh (penulis) yang telah memperkenalkan para sastrawan negeri ini kepada para penikmat sastra di Rusia. Seperti Chairil Anwar, Sanusi Pane, Amir Hamzah, Sitor Situmorang, Sanusi Apin, Armijin Pane dan lain-lain.
Tak sedikit buah karya para sastrawan Indonesia ditulis dengan bahasa Rusia sekaligus dikonsumsi oleh para penikmat sastra di Rusia sebagai bacaan dan rujukan sastra. Dan ini, terus berlanjut kepada para sastrawan Indonesia angkatan berikutnya. Seperti Pramoedya Ananta Toer, salah satu karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia berjudul Bumi Manusia (tetralogi). Tokoh sastrawan lain, Toha Mohtar, Putu Wijaya, Umar Kayam, Mochtar Lubis dan para sastrawan seangkatannya. Tradisi ini berlanjut pada karya-karya WS Rendra dan Taufiq Ismail. Dan sebaliknya, karya-karya sastrawan Rusia pun diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh sastrawan tanah air. Sebuah pertukaran karya sastra yang apik dan saling mendukung. Dari sini, artinya, bidang sastra sangatmemungkinkan sebagai wadah diplomasi antarbangsa sebagai ruang terobosan baru untuk menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara luar, sebab, sastra dapat dikatakan sebagai ruang yang cukup netral dari aroma politik yang sejak dulu menunjukan wajah radikal nan buas.
Disqus Comments