Ribut-ribut soal rencana revisi UU KPK Nomor Nomor 30 Tahun 2002 tersaji di hadapan publik negeri. Belum sempat proses sosialisasi dan penjelasan rencana revisi tersebut sampai ke telinga publik, aksi-aksi penolakan sudah lebih dahulu mencegatnya di tengah-tengah jalan.
Rasa-saranya, hanya kalangan tertentu yang berhak melakukan kajian terhadap rencana revisi dari UU KPK tersebut, setelahnya mereka menggalang massa untuk melakukan penolakan-penolakan.
Inilah contoh sederhana betapa pengetahuan itu terkadang tampil menghegemoni. Beragam aksi penolakan itu sukses. Presiden dan DPR RI memutuskan untuk menunda revisi UU KPK tersebut pada Senin, 22 Februari 2016 kemarin. Hanya saja, rencana tersebut tidak dihapus dari daftar program legislasi nasional (Prolegnas).
Artinya, revisi UU KPK tersebut tetap akan dibahas, tetapi tak tahu entah kapan. Kita tunggu saja bung. Sudah, meribut-ributkan soal revisi UU KPK tentu tiada habisnya. Sebab, kebijakan itu kadang lebih dominan oleh motif politisnya ketimbang kepentingan nasional dan negara. Sehingga dapat disimpulkan, revisi UU KPK merupakan urusan politik. Apa lacur?
Ya, KPK adalah lembaga yang membahayakan bagi para elite-elite negara. Jika peran, fungsi dan wewenangnya mampu berjalan sesuai dengan kehendak UU, niscaya bandit-bandit berdasi di lingkungan kekuasaan tidak akan hidup mewah nan glamor seperti terlihat oleh pandangan mata telanjang publik negeri. Untuk itulah mengapa proses pemilihan pimpinan dan anggota KPK selalu tampak alot dan diulur-ulur, sebab terjadi tarik ulur dalam proses pemilihan siapa sosok yang dianggap pantas menggawangi lembaga anti-rasuah itu. Tarik ulur proses pemilihan tersebut tidak terlepas dari proses politik yang melatarinya.
Tanpa bermaksud curiga, jabatan publik di berbagai institusi-institusi negara dijabat oleh sosok-sosok yang sarat dengan muatan kepentingan-kepentingan, termasuk KPK. Toh, sudah menjadi rahasia umum kongkalikong di lembaga-lembaga tinggi negara kerap mengiasi dinamika pemilihan pejabat publik. Jadi, hipotesis di atas bisa terjawab ketika prinsip keterbukaan dan kejujuran dijadikan sebagai panglima.
Akan tetapi, pertanyaan selanjutnya muncul, apakah ihwal itu bisa terwujud? Bagi saya, kita hanya bisa bermimpi sampai gerakan revolusi itu tiba, namun entah kapan. Tak tahulah.! CONTOH KASUS: Meski Sudah Tahu Ada Aliran Dana Rp 30 M Ke Teman Ahok, KPK Enggan Keluarkan Surat Penyelidikan