Wednesday, 24 October 2012

Kajian Kritis UU BHP



            Pembatalan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tidak perlu disesali. Apalagi sampai menimbulkan kontroversi di mana-mana, karena keputusan tersebut sudah sepatutnya agar pemerintah berperan aktif dalam proses memajukan kualitas pendidikan nasional serta dapat dirasakan seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang status sosial yang disandang di semua lapisan masyarakat.
UU BHP pasal 3 menyebutkan bahwa tujuan BHP adalah  memajukan satuan pendidikan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi. Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 111 tahun 2008 (Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 tahun 2007) tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Daftar Bidang Usaha Terbuka dengan persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tingkat tinggi, serta pendidikan nonformal dapat dimasuki oleh modal asing dengan batas kepemilikan modal asing sebesar 49 persen.
Itu adalah fakta pahit bila UU BHP terus dijalankan pemerintah. Dan masyarakatlah yang harus menelan pil pahit tersebut karena akses pendidikan hanya akan sampai kepada mereka yang memiliki modal besar alias berkantong tebal. Artinya, UU BHP secara eksplisit mengindikasikan ongkos untuk mengakses pendidikan formal harus dengan modal besar. Dengan demikian, masyarakat yang memiliki latar belakang rendah status sosialnya akan tersingkirkan begitu saja untuk memperoleh hak pendidikan di negeri ini.
Substansi Persoalan
            Ada dua persoalan krusial bila UU BHP tetap dipertahankan. Pertama, biaya pendidikan akan terus mengalami kenaikan. Kedua, munculnya embrio ideologi kompetisi di dalam seleksi penerimaan siswa atau pelajar untuk dinyatakan berhak memperoleh pendidikan.
            Kita sepakat bahwa seluruh warga negara berhak memperoleh pendidikan. UU 1945 telah menyebutkan hal itu dengan sangat tegas dan jelas. Tetapi, pertanyaan reflektifnya, mengapa masih ada anak generasi bangsa ini yang notabene mayoritas berusia produktif untuk belajar justru tidak belajar bersama di sekolah-sekolah formal? Mereka malah terlihat jelas berkeliaran di perempatan jalan mencari nafkah serta menganggur tanpa melakukan aktivitas yang produktif untuk mengisi sisi kognitifnya dengan mengenyam pendidikan.
            Sering kali kita menemukan alasan paling mendasar mengapa mereka terpaksa melakukan aktivitas-aktivitas mengais nafkah ialah karena persoalan biaya sekolah yang mahal. Selain itu juga, disebabkan hilangnya karakter pendidikan kita yang mampu menyakinkan kepada mereka bahwa sekolah itu penting untuk bekal masa depan. Itu karena bersekolah dianggap hanya akan menghabiskan biaya semata, sementara kebutuhan fisiologis menjadi pertimbangan mendasar.
            Fenomena ini menggariskan bahwa animo sebagian masyarakat terhadap pendidikan sudah sedemikian menurun untuk tak dikatakan apatis. Persoalan paling krusial sebenarnya terletak pada pembiayaan yang semakin melangit dengan berbagai macam dalih sebagai alibi para steak holders belaka. Bahwa lembaga pendidikan telah menjelma menjadi lahan bisnis adalah fakta yang bukan lagi rahasia, kita telah kadung mafhum. Kualitas pendidikan selalu saja diukur oleh seberapa besar biaya atas nama pengadaan prasarana yang superlengkap serta memanjakan. Akhirnya, pendidikan kita semakin tenggelam terlalu di dalam pragmatisme belaka bahkan ahistoris, sementara pendidikan menjadi kebutuhan mutlak.
            Hal lain terkait ideologi kompetisi. Menang dan kalah merupakan dua pilihan dalam logika ideologi warisan neoliberalisme ini. Artinya, ketika kualitas pendidikan terus ditekan dengan kualifikasi tertentu, maka peserta didik yang tidak memenuhi kualifikasi tersebut otomatis akan tersingkirkan alias kalah dalam kompetisi pemenangan siswa yang dianggap cerdas atau pintar. Lantas pertannyaannya, akan di kemanakan mereka yang kalah karena dianggap tidak kompetitif atau berkualitas itu? Jelasnya, akan disingkirkan begitu saja, dianggap tak berhak mengakses pendidikan dan pendidikan akan melayani mereka yang menang serta dianggap pintas serta berkualitas atau kompetitif (potensial) semata.
            Terlepas dari hal itu, kita perlu ingat bahwa UU BHP merupakan titipan World Bank dan IMF agar segera diterapkan maksimal batas akhir tahun 2010. Tapi, DPR RI telah buru-buru mengesahkan dua tahun lebih awal RUU BHP menjadi UU BHP pada tanggal 17 Desember 2008 silam, yakni semasa di bawah nakhoda Bambang Sudibyo sebagai Menteri Pendidikan. Jargon ekonomi neoliberalisme ialah pasar bebas dengan basis IMF dan World Bank membawa misi besar, yakni menolak campurtangan pemerintah dalam transaksi ekonomi (deregulatif).
            Kajian kritisnya terletak pada bagaimana pengelolaan pendidikan dilakukan secara partisipatoris. Maksudnya, kita menolak secara tegas intervensi dan intimidasi asing dalam proses pendidikan nasional, sebab kita memiliki sejarah serta metodologi sendiri. Pendidikan mutlak demi proses humanisasi serta kesadaran kritis yang tidak hanya sekedar selesai dalam wacana, tetapi harus menyentuh pada praktek pengelolaan serta metodologi pengajaran. Selain itu, kajian kritis setidaknya melalui pertimbangan maslahat dan mudlorot bila UU BHP tetap dipertahankan. Jika kajian kritis kita seperti di atas, maka UU BHP lebih dominan mudlorotnya (keburukan) ketimbang maslahatnya (kebaikan). Melalui pertimbangan normatif ini, maka pembatalan UU BHP oleh MK bisa dikatakan tepat serta tak keliru, karena analisis di atas cukup menjadi catatan krusial yang perlu digarisbawahi.
Disqus Comments