Pembatalan
Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
tidak perlu disesali. Apalagi sampai menimbulkan kontroversi di mana-mana,
karena keputusan tersebut sudah sepatutnya agar pemerintah berperan aktif dalam
proses memajukan kualitas pendidikan nasional serta dapat dirasakan seluruh
rakyat Indonesia tanpa pandang status sosial yang disandang di semua lapisan
masyarakat.
UU BHP pasal 3 menyebutkan bahwa tujuan
BHP adalah memajukan satuan pendidikan dengan menerapkan manajemen
berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi. Keputusan
Presiden (Kepres) Nomor 111 tahun 2008 (Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 77 tahun 2007) tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Daftar Bidang
Usaha Terbuka dengan persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Dalam peraturan
tersebut disebutkan bahwa pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tingkat
tinggi, serta pendidikan nonformal dapat dimasuki oleh modal asing dengan batas
kepemilikan modal asing sebesar 49 persen.
Itu adalah fakta pahit bila UU BHP terus dijalankan pemerintah.
Dan masyarakatlah yang harus menelan pil pahit tersebut karena akses pendidikan
hanya akan sampai kepada mereka yang memiliki modal besar alias berkantong
tebal. Artinya, UU BHP secara eksplisit mengindikasikan ongkos untuk mengakses
pendidikan formal harus dengan modal besar. Dengan demikian, masyarakat yang
memiliki latar belakang rendah status sosialnya akan tersingkirkan begitu saja
untuk memperoleh hak pendidikan di negeri ini.
Substansi
Persoalan
Ada
dua persoalan krusial bila UU BHP tetap dipertahankan. Pertama, biaya
pendidikan akan terus mengalami kenaikan. Kedua, munculnya embrio ideologi
kompetisi di dalam seleksi penerimaan siswa atau pelajar untuk dinyatakan
berhak memperoleh pendidikan.
Kita sepakat bahwa seluruh warga
negara berhak memperoleh pendidikan. UU 1945 telah menyebutkan hal itu dengan
sangat tegas dan jelas. Tetapi, pertanyaan reflektifnya, mengapa masih ada anak
generasi bangsa ini yang notabene mayoritas berusia produktif untuk belajar
justru tidak belajar bersama di sekolah-sekolah formal? Mereka malah terlihat
jelas berkeliaran di perempatan jalan mencari nafkah serta menganggur tanpa
melakukan aktivitas yang produktif untuk mengisi sisi kognitifnya dengan
mengenyam pendidikan.
Sering kali kita menemukan alasan
paling mendasar mengapa mereka terpaksa melakukan aktivitas-aktivitas mengais
nafkah ialah karena persoalan biaya sekolah yang mahal. Selain itu juga,
disebabkan hilangnya karakter pendidikan kita yang mampu menyakinkan kepada
mereka bahwa sekolah itu penting untuk bekal masa depan. Itu karena bersekolah
dianggap hanya akan menghabiskan biaya semata, sementara kebutuhan fisiologis
menjadi pertimbangan mendasar.
Fenomena ini menggariskan bahwa animo
sebagian masyarakat terhadap pendidikan sudah sedemikian menurun untuk tak
dikatakan apatis. Persoalan paling krusial sebenarnya terletak pada pembiayaan
yang semakin melangit dengan berbagai macam dalih sebagai alibi para steak
holders belaka. Bahwa lembaga pendidikan telah menjelma menjadi lahan bisnis
adalah fakta yang bukan lagi rahasia, kita telah kadung mafhum. Kualitas
pendidikan selalu saja diukur oleh seberapa besar biaya atas nama pengadaan
prasarana yang superlengkap serta memanjakan. Akhirnya, pendidikan kita semakin
tenggelam terlalu di dalam pragmatisme belaka bahkan ahistoris, sementara
pendidikan menjadi kebutuhan mutlak.
Hal lain terkait ideologi kompetisi.
Menang dan kalah merupakan dua pilihan dalam logika ideologi warisan
neoliberalisme ini. Artinya, ketika kualitas pendidikan terus ditekan dengan
kualifikasi tertentu, maka peserta didik yang tidak memenuhi kualifikasi
tersebut otomatis akan tersingkirkan alias kalah dalam kompetisi pemenangan
siswa yang dianggap cerdas atau pintar. Lantas pertannyaannya, akan di
kemanakan mereka yang kalah karena dianggap tidak kompetitif atau berkualitas
itu? Jelasnya, akan disingkirkan begitu saja, dianggap tak berhak mengakses
pendidikan dan pendidikan akan melayani mereka yang menang serta dianggap
pintas serta berkualitas atau kompetitif (potensial) semata.
Terlepas dari hal itu, kita perlu
ingat bahwa UU BHP merupakan titipan World Bank dan IMF agar segera diterapkan
maksimal batas akhir tahun 2010. Tapi, DPR RI telah buru-buru mengesahkan dua
tahun lebih awal RUU BHP menjadi UU BHP pada tanggal 17 Desember 2008 silam,
yakni semasa di bawah nakhoda Bambang Sudibyo sebagai Menteri Pendidikan. Jargon
ekonomi neoliberalisme ialah pasar bebas dengan basis IMF dan World Bank
membawa misi besar, yakni menolak campurtangan pemerintah dalam transaksi
ekonomi (deregulatif).
Kajian kritisnya terletak pada
bagaimana pengelolaan pendidikan dilakukan secara partisipatoris. Maksudnya,
kita menolak secara tegas intervensi dan intimidasi asing dalam proses
pendidikan nasional, sebab kita memiliki sejarah serta metodologi sendiri.
Pendidikan mutlak demi proses humanisasi serta kesadaran kritis yang tidak
hanya sekedar selesai dalam wacana, tetapi harus menyentuh pada praktek
pengelolaan serta metodologi pengajaran. Selain itu, kajian kritis setidaknya
melalui pertimbangan maslahat dan mudlorot bila UU BHP tetap dipertahankan.
Jika kajian kritis kita seperti di atas, maka UU BHP lebih dominan mudlorotnya
(keburukan) ketimbang maslahatnya (kebaikan). Melalui pertimbangan normatif
ini, maka pembatalan UU BHP oleh MK bisa dikatakan tepat serta tak keliru,
karena analisis di atas cukup menjadi catatan krusial yang perlu digarisbawahi.