Wednesday, 24 October 2012

Kartono Pejuang Kesetaraan Jender


        Diskursus mengenai kesetaraan jender sangat menarik perhatian, bahkan tema tentang jender menjadi isu yang sangat seksi. Seksi dalam arti menarik perhatian orang kebanyakan untuk membahas, menelaah serta mengkaji wacana kesetaraan status sosial antara laki-laki dan perempuan itu. Dan setelah itu lantas diperjuangkan di segala lini bidang kehidupan, lingkungan sosial, ekonomi, pembangunan, budaya, pendidikan, serta bidang-bidang lainnya demi menghindari praktek ketidakadilan jender (gender inequalities) dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan dalam konteks sebuah negara merdeka.
        Pembahasan isu jender tentu tidak berangkat dari ruang kosong nan hampa. Tapi berangkat dari realitas kehidupan sosial masyarakat yang kerap memandang perempuan di tempat terendah dibanding laki-laki dengan alasan kodrati secara fisik maupun psikologis yang dalam kadar tertentu sebenarnya dapat berubah sesuai kebutuhan serta perubahan zaman. Stigma umumnya masyarakat terhadap keberadaan perempuan itulah yang acap menimbulkan diskriminasi atau sikap semena-mena atas perempuan oleh laki-laki dan dibenarkan di dalam realitas budaya tertentu. Di titik kulminasi inilah para analis dan ilmuan teoritik dan empirik mencoba menegaskan setegas-tegasnya definisi antara seks dan jender. Maka, lahirlah perbedaan definisi antara seks dan jender, di mana seks merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia, laki-laki dan perempuan, yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin. (Mansour, 2007: 7-8). Dengan berbagai perbedaan ciri-ciri alat kelamin yang amat sangat mencolok, ibarat perbedaan dua sisi mata uang koin tapi tak dapat dipisahkan karena saling membutuhkan antara satu sama lain, bahkan saling melengkapi. sedangkan jender adalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam konteks status sosial agar terhindar dari praktek ketidakadilan sosial atau bias jender.
        Beberapa kasus seperti kekerasan dalam rumah tangga (KdRT), kekerasan seksual, pelecehan, pemerkosaan, pemukulan, hingga pembunuhan adalah deretan pemandangan kelam bila dipandang mata telanjang. Kekerasan tidak hanya secara fisik tapi juga psikologis yang menyisakan kisah kelam mengisi relung hati dan pikiran kita bertahun-tahun lamanya, bahkan hingga saat ini. Kekerasan Rudolph John Campbell MecLeod terhadap istrinya Margaretha (Matahari) dalam kisah Remy Sylado berakhir pada penyesalan Rudolph karena telah menampar istrinya hingga pingsan setelah diketahui tak lagi virgin. Tapi, kenyataan itu Rudolph terima meski terlihat penerimaan yang dipaksakan.
        Terlepas dari pembahasan itu, kesadaran masyarakat Indonesia khususnya terhadap wacana atau isu kesetaraan jender beberapa dekade terakhir mengalami peningkatan signifikan. Berbagai perserikatan dan organisasi keperempuanan mewabah di mana-mana, seminar, lokakarya, diskursus-diskursus bertemakan jender tergelar secara massif. Bahkan, dalam konteks kepemerintahan negeri ini memiliki kementerian perempuan yang digawangi Linda Agum Gumelar. Muncul pula berbagai yayasan perlindungan perempuan dari tindakan diskriminasi dan kekerasan. Di zaman dulu, kita mengenal Raden Ajeng Kartini sebagai tokoh sejarah pembela serta pejuang kesetaraan perempaun dari praktek ketidakadilan dan subordinasi. Kartini tentu saja menjadi inspirasi tersendiri berbagai gerakan perjuangan kesetaraan jender di negeri ini. Karena sejatinya laki-laki dan perempuan adalah sama di mata masyarakat bahkan di mata Tuhan sekalipun dalam doktrin agama, sebab, Tuhan hanya membedakan manusia melalui ketakwaannya saja. Tujuan utama Tuhan Yang Maha Esa menciptakan kaum perempuan ialah untuk keseimbangan dan perangkat pasangan yang saling dukung-mendukung  lelaki dalam mengarungi kehidupan secara adil dan harmonis. Adapun beberapa teks-teks agama yang kerap merajakan kaum lelaki sebenarnya tergantung pada penafsiran secara proporsional sesuai kadar yang dibutuhkan. Dalam konteks ini kita juga perlu penafsiran yang komprehensif tidak serampangan apalagi hanya tekstualis karena akan mengakibatkan kekeliruan yang tak kunjung berujung. Jadi, secara substansi agama tak pernah melakukan diskriminasi melalui tekas-teks kitab suci terhadap perempuan tergantung bagaimana kebijaksanaan masing-masing dalam menafsirkannya.
Di mata sufi
        Ambil sebagai contoh saja seorang sosok sufi Ibnu Arabi amat sangat menghormati serta menjunjung tinggi seorang perempuan di dalam kehidupan sufinya. Ia tak segan-segan berguru kepada seorang perempuan bernama Fatimah binti Ibnu Al-Mutsanna,  perempuan asal Sevilla yang telah menginjak usia senja, 90 tahun tapi konon, rupanya masih menawan, sehingga Ibnu Arabi menjadi seorang sufi yang dikenal dunia sampai saat ini karena berguru padanya. Ia pun mengajarkan kepada kita bagaimana memposisikan perempuan. Sufi asal Andalusia ini menyatakan bahwa Tuhan tak pernah terlihat dalam keadaan tak berwujud, dan melihat-Nya dalam diri seorang perempuan adalah yang paling sempurna dari segalanya. Wajah perempuan wajah Tuhan dalam istilah Muhammad Fayyad (Basis, 2007). Dari sini dapat disimpulkan secara empirik bahwa agama (islam) sungguh memuliakan kaum perempuan dan menempatkannya sebagai bagian dari proses keberhasilan mengarungi hidup. Setidaknya fakta ini sedikit banyak menepis anggapan bahwa islam selalu menempatkan perempuan di posisi yang sekunder.
        Bahwa kesadaran akan kesetaraan perempuan dan laki-laki juga telah tertulis di dalam tinta sejarah kehidupan manusia, bahkan menjadi sosok terpenting yang mulia sebagaimana harusnya ia diposisikan. Artinya, jauh hari sebelum wacana atau isu jender disuguhkan ke hadapan publik dunia, praktek kesetaraan antara perempuan dan laki-laki sudah terlebih dahulu diaplikasikan. Sehingga, tak ada alasan lain dalam kehidupan ini, terkecuali menempatkan perempuan bergandengan atau beriringan dengan lelaki, dalam segala aspek.
Kartono penerus Kartini
        Wacana ini sebetulnya pernah mampir di opini (forum) koran Kompas pada hari peringatan kelahiran R.A Kartini 21 April 2010 lalu oleh Rifka Annisa Yogyakarta. Intinya, muncul harapan bahwa gerakan perjuangan kesetaraan jender juga digalakan oleh kaum lelaki, dengan demikian setidaknya muncul suatu pemahaman kolektif bahwa kaum Adam pun melakukan perjuangan kongkret memperjuangkan kesetaraan tersebut. Jika tidak demikian, maka akan terus muncul satu pemahaman bahwa kaum lelaki selama ini setuju-setuju saja dengan praktek kekerasan terhadap perempuan yang dominan dilakukan para lelaki.
        Kartono adalah nama lain dari Kartini. Artinya, pesan yang ingin disampaikan di sini ialah bahwa lelaki juga bisa memperjuangkan kesetaraan jender walaupun dia adalah  seorang lelaki. Kartono namanya. Karena rasa-rasanya tak mungkin pejuang kesetaraan jender dari lelaki dijuluki Kartini, sebab nama itu lebih tepat jika menempel pada sosok seorang wanita. Gelar “pahlawan” kesetaraan jender dari kaum lelaki ini amat sangat menarik perhatian mengingat tampak betapa kaum Adam di era demokrasi ini kerap muncul ke permukaan menggelorakan wacana kesetaraan antar lelaki dan perempuan, entah itu dalam bidang sosial, politik, ekonomi, pembangunan, pendidikan, bahwa keterlibatan perempuan dalam seluruh proses itu tak boleh dipandang sebelah mata, apalagi dianggap remeh-temeh. Memperjuangkan hak-hak, partisipasi serta keterlibatan perempuan di seluruh bidang sama artinya memperjuangkan hak asasi kemanusiaan. Spirit ini menjadi daya gedor sekaligus amunisi kaum lelaki yang dibangun atas dasar kebersamaan dan pentingnya kesetaraan agar pembangunan berjalan beriringan dan seimbang. Ibarat dalam permainan sepak bola, satu tim, para pemain saling mendukung, menyokong, saling berpacu berlari, untuk mencetak gol, bahkan tak menutup kemungkinan perempuan itulah sang pencetak gol tersebut
        Wacana dominasi lelaki di segala aspek kehidupan bukan kehendak logis demokrasi. Dan dalam kadar tertentu saya menilai budaya patriarki sudah tidak lagi relevan atau sesuai  konteks zaman kekinian. Meski banyak kalangan menilai bahwa budaya patriarki telah membudaya di negeri ini, bahkan telah mengakar. Agaknya, asumsi seperti ini telah terpatahkan, sebab, kesetaraan jender dalam konteks ke-indonesiaan kita menunjukan peranan dan kiprah perempuan. Perempuan Indonesia sudah unjuk gigi, bahkan dalam tinta sejarah kenegaraan modern kita adalah Megawati Soekarnoputri yang telah berhasil mengikis budaya patriarki dengan tampilnya dia sebagai presiden Indonesia. Setidaknya, tampilnya Mega di kursi kepala negara sedikit banyak telah mengikis stigma bias jender terhadap perempuan. Begitulah
Disqus Comments