Diskursus mengenai kesetaraan
jender sangat menarik perhatian, bahkan tema tentang jender menjadi isu yang
sangat seksi. Seksi dalam arti menarik perhatian orang kebanyakan untuk
membahas, menelaah serta mengkaji wacana kesetaraan status sosial antara laki-laki
dan perempuan itu. Dan setelah itu lantas diperjuangkan di segala lini bidang
kehidupan, lingkungan sosial, ekonomi, pembangunan, budaya, pendidikan, serta
bidang-bidang lainnya demi menghindari praktek ketidakadilan jender (gender
inequalities) dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan dalam konteks sebuah
negara merdeka.
Pembahasan
isu jender tentu tidak berangkat dari ruang kosong nan hampa. Tapi berangkat
dari realitas kehidupan sosial masyarakat yang kerap memandang perempuan di
tempat terendah dibanding laki-laki dengan alasan kodrati secara fisik maupun
psikologis yang dalam kadar tertentu sebenarnya dapat berubah sesuai kebutuhan
serta perubahan zaman. Stigma umumnya masyarakat terhadap keberadaan perempuan
itulah yang acap menimbulkan diskriminasi atau sikap semena-mena atas perempuan
oleh laki-laki dan dibenarkan di dalam realitas budaya tertentu. Di titik
kulminasi inilah para analis dan ilmuan teoritik dan empirik mencoba menegaskan
setegas-tegasnya definisi antara seks dan jender. Maka, lahirlah perbedaan
definisi antara seks dan jender, di mana seks merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia, laki-laki dan perempuan, yang ditentukan
secara biologis yang melekat pada jenis kelamin. (Mansour, 2007: 7-8). Dengan
berbagai perbedaan ciri-ciri alat kelamin yang amat sangat mencolok, ibarat
perbedaan dua sisi mata uang koin tapi tak dapat dipisahkan karena saling
membutuhkan antara satu sama lain, bahkan saling melengkapi. sedangkan jender
adalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam konteks status sosial
agar terhindar dari praktek ketidakadilan sosial atau bias jender.
Beberapa
kasus seperti kekerasan dalam rumah tangga (KdRT), kekerasan seksual,
pelecehan, pemerkosaan, pemukulan, hingga pembunuhan adalah deretan pemandangan
kelam bila dipandang mata telanjang. Kekerasan tidak hanya secara fisik tapi
juga psikologis yang menyisakan kisah kelam mengisi relung hati dan pikiran
kita bertahun-tahun lamanya, bahkan hingga saat ini. Kekerasan Rudolph John
Campbell MecLeod terhadap istrinya Margaretha (Matahari) dalam kisah Remy
Sylado berakhir pada penyesalan Rudolph karena telah menampar istrinya hingga
pingsan setelah diketahui tak lagi virgin. Tapi, kenyataan itu Rudolph terima
meski terlihat penerimaan yang dipaksakan.
Terlepas
dari pembahasan itu, kesadaran masyarakat Indonesia khususnya terhadap wacana
atau isu kesetaraan jender beberapa dekade terakhir mengalami peningkatan
signifikan. Berbagai perserikatan dan organisasi keperempuanan mewabah di
mana-mana, seminar, lokakarya, diskursus-diskursus bertemakan jender tergelar
secara massif. Bahkan, dalam konteks kepemerintahan negeri ini memiliki
kementerian perempuan yang digawangi Linda Agum Gumelar. Muncul pula berbagai
yayasan perlindungan perempuan dari tindakan diskriminasi dan kekerasan. Di
zaman dulu, kita mengenal Raden Ajeng Kartini sebagai tokoh sejarah pembela
serta pejuang kesetaraan perempaun dari praktek ketidakadilan dan subordinasi.
Kartini tentu saja menjadi inspirasi tersendiri berbagai gerakan perjuangan
kesetaraan jender di negeri ini. Karena sejatinya laki-laki dan perempuan
adalah sama di mata masyarakat bahkan di mata Tuhan sekalipun dalam doktrin
agama, sebab, Tuhan hanya membedakan manusia melalui ketakwaannya saja. Tujuan
utama Tuhan Yang Maha Esa menciptakan kaum perempuan ialah untuk keseimbangan
dan perangkat pasangan yang saling dukung-mendukung lelaki dalam mengarungi kehidupan secara adil
dan harmonis. Adapun beberapa teks-teks agama yang kerap merajakan kaum lelaki
sebenarnya tergantung pada penafsiran secara proporsional sesuai kadar yang
dibutuhkan. Dalam konteks ini kita juga perlu penafsiran yang komprehensif
tidak serampangan apalagi hanya tekstualis karena akan mengakibatkan kekeliruan
yang tak kunjung berujung. Jadi, secara substansi agama tak pernah melakukan
diskriminasi melalui tekas-teks kitab suci terhadap perempuan tergantung
bagaimana kebijaksanaan masing-masing dalam menafsirkannya.
Di mata sufi
Ambil sebagai contoh saja seorang
sosok sufi Ibnu Arabi amat sangat menghormati serta menjunjung tinggi seorang
perempuan di dalam kehidupan sufinya. Ia tak segan-segan berguru kepada seorang
perempuan bernama Fatimah binti Ibnu Al-Mutsanna, perempuan asal Sevilla yang telah menginjak usia senja, 90
tahun tapi konon, rupanya masih menawan, sehingga Ibnu Arabi menjadi seorang
sufi yang dikenal dunia sampai saat ini karena berguru padanya. Ia pun mengajarkan kepada kita bagaimana memposisikan perempuan. Sufi asal
Andalusia ini menyatakan bahwa Tuhan tak pernah terlihat dalam keadaan tak berwujud,
dan melihat-Nya dalam diri seorang perempuan adalah yang paling sempurna dari
segalanya. Wajah
perempuan wajah Tuhan dalam istilah Muhammad Fayyad (Basis, 2007). Dari sini
dapat disimpulkan secara empirik bahwa agama (islam) sungguh memuliakan kaum
perempuan dan menempatkannya sebagai bagian dari proses keberhasilan mengarungi
hidup. Setidaknya fakta ini sedikit banyak menepis anggapan bahwa islam selalu
menempatkan perempuan di posisi yang sekunder.
Bahwa
kesadaran akan kesetaraan perempuan dan laki-laki juga telah tertulis di dalam
tinta sejarah kehidupan manusia, bahkan menjadi sosok terpenting yang mulia
sebagaimana harusnya ia diposisikan. Artinya, jauh hari sebelum wacana atau isu
jender disuguhkan ke hadapan publik dunia, praktek kesetaraan antara perempuan
dan laki-laki sudah terlebih dahulu diaplikasikan. Sehingga, tak ada alasan
lain dalam kehidupan ini, terkecuali menempatkan perempuan bergandengan atau
beriringan dengan lelaki, dalam segala aspek.
Kartono penerus Kartini
Wacana ini sebetulnya pernah
mampir di opini (forum) koran Kompas pada hari peringatan kelahiran R.A Kartini
21 April 2010 lalu oleh Rifka Annisa Yogyakarta. Intinya, muncul harapan bahwa
gerakan perjuangan kesetaraan jender juga digalakan oleh kaum lelaki, dengan
demikian setidaknya muncul suatu pemahaman kolektif bahwa kaum Adam pun
melakukan perjuangan kongkret memperjuangkan kesetaraan tersebut. Jika tidak
demikian, maka akan terus muncul satu pemahaman bahwa kaum lelaki selama ini
setuju-setuju saja dengan praktek kekerasan terhadap perempuan yang dominan
dilakukan para lelaki.
Kartono
adalah nama lain dari Kartini. Artinya, pesan yang ingin disampaikan di sini
ialah bahwa lelaki juga bisa memperjuangkan kesetaraan jender walaupun dia
adalah seorang lelaki. Kartono namanya.
Karena rasa-rasanya tak mungkin pejuang kesetaraan jender dari lelaki dijuluki
Kartini, sebab nama itu lebih tepat jika menempel pada sosok seorang wanita. Gelar
“pahlawan” kesetaraan jender dari kaum lelaki ini amat sangat menarik perhatian
mengingat tampak betapa kaum Adam di era demokrasi ini kerap muncul ke
permukaan menggelorakan wacana kesetaraan antar lelaki dan perempuan, entah itu
dalam bidang sosial, politik, ekonomi, pembangunan, pendidikan, bahwa
keterlibatan perempuan dalam seluruh proses itu tak boleh dipandang sebelah
mata, apalagi dianggap remeh-temeh. Memperjuangkan hak-hak, partisipasi serta
keterlibatan perempuan di seluruh bidang sama artinya memperjuangkan hak asasi
kemanusiaan. Spirit ini menjadi daya gedor sekaligus amunisi kaum lelaki yang
dibangun atas dasar kebersamaan dan pentingnya kesetaraan agar pembangunan
berjalan beriringan dan seimbang. Ibarat dalam permainan sepak bola, satu tim, para
pemain saling mendukung, menyokong, saling berpacu berlari, untuk mencetak gol,
bahkan tak menutup kemungkinan perempuan itulah sang pencetak gol tersebut
Wacana dominasi lelaki di segala
aspek kehidupan bukan kehendak logis demokrasi. Dan dalam kadar tertentu saya
menilai budaya patriarki sudah tidak lagi relevan atau sesuai konteks zaman kekinian. Meski banyak kalangan
menilai bahwa budaya patriarki telah membudaya di negeri ini, bahkan telah
mengakar. Agaknya, asumsi seperti ini telah terpatahkan, sebab, kesetaraan
jender dalam konteks ke-indonesiaan kita menunjukan peranan dan kiprah
perempuan. Perempuan Indonesia sudah unjuk gigi, bahkan dalam tinta sejarah
kenegaraan modern kita adalah Megawati Soekarnoputri yang telah berhasil
mengikis budaya patriarki dengan tampilnya dia sebagai presiden Indonesia.
Setidaknya, tampilnya Mega di kursi kepala negara sedikit banyak telah mengikis
stigma bias jender terhadap perempuan. Begitulah