Kehadiran perguruan tinggi adalah bentuk paling kongkret dari kemajuan pendidikan suatu bangsa. Tak terkecuali Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara yang menempatkan pendidikan sebagai pilar utama kemerdekaan. Kejayaan negara-negara yang lebih dahulu merdeka merupakan buah hasil dari kemajuan dalam bidang pendidikan yang kemudian merembet ke bidang lainnya sehingga kian jadi negara yang kokoh hingga berkarakter. Pendidikan adalah modal utama pembangunan, bahkan tak terbayangkan jika suatu negara tidak mengarusutamakan pendidikan sebagai bekal pembangunan.
Berkat kemajuan dalam bidang pendidikan masyarakat kita tumbuh suatu pengakuan kolektif bahwa lembaga-lembaga pendidikan telah berhasil mencetak insan-insan berkualitas baik secara keilmuan atau intelektualitas maupun mentalitas. Pengakuan masyarakat tersebut tentu tidak dapat dihindari karena seluruh masyarakat telah mengakui secara kolektif akan peran serta fungsi penting nan strategis lembaga pendidikan untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin sekaligus pembaharu di masa yang akan datang. Maka wajarlah kiranya Ki Hajar Dewantara sepulangnya dari pengasingan lantas mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa pada tanggal 3 Juli 1922 untuk menekankan pendidikan kepada masyarakat agar tumbuh dan berkembang rasa rasa kebangsaan serta mencintai tanah air tumpah darah dan modal perjuangan untuk merebut kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya. Terlebih jika kita mengacu pada gagasan Paulo Freire yang menyatakan bahwa tugas pendidikan esensinya ialah memproduksi kesadaran kritis untuk suatu proses pembebasan, sehingga dengan itu tercapailah tujuan sesungguhnya pendidikan, yakni transformasi sosial.
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil. Kini, masyarakat Indonesia sadar betapa pendidikan merupakan aspek paling krusial serta modal utama bagi sebuah negara dalam proses pembangunan. Pendidikan pun kini telah mengalami perkembangan cukup drastis dari hari ke hari, sehingga melahirkan sebuah konsep pendidikan yang terlembagakan, mulai dari tingkatan Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), dan Perguruan Tinggi (PT), tersebar di seluruh pelosok negeri. Bahkan, muncul konsep lembaga pendidikan Sekolah Luar Biasa, serta sekolah-sekolah lainnya yang bertujuan memberikan suatu pendidikan kepada masyarakat.
Dari beberapa jenjang pendidikan tersebut, tingkatan yang memperoleh porsi perhatian lebih ialah Perguruan Tinggi. Sebab, pada jenjang ini dianggap level pendidikan tinggi yang sangat menentukan arah masa depan pelajar sebagai generasi penerus bangsa ini. Betapa masyarakat memiliki kepercayaan penuh, baik kapasitas intelektual maupun mentalitas para pelajar sebagai individu yang pandai bahkan lumbung pengetahuan.
Ini bukanlah sekadar asumsi subjektif penulis semata. Tapi berangkat dari sebuah pandangan masyarakat, terutama masyarakat yang notabene nun jauh di pelosok, di mana akses pendidikan jauh dari pandangan mata. Mereka merasa betapa bangganya ketika mampu menyekolahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi, terutama di kota-kota besar, yang lebih maju dalam hal pendidikan, dan anak-anaknya tersebut kembali ke daerah dengan membawa segudang pengetahuan serta pengalaman yang telah diperoleh selama menempuh pendidikan tinggi.
Sebuah refleksi
Hingga hari inipun, pengakuan masyarakat terhadap pendidikan, terutama pada jenjang perguruan tinggi masih sama seperti sediakala. Namun, lambat laun pengakuan tersebut disadari atau tidak, telah mengalami pergeseran-pergeseran menuju ke arah yang lebih cenderung pragmatis. Pertanyaan yang kemudian diajukan kepada para pelajar yang studi di perguruan tinggi bergeser kepada hal yang bersifat orientasi pekerjaan, yakni studi yang diambil akan mengantarkan pelajar ke instansi atau lembaga mana untuk memperoleh status sosial dan penghasilan ekonomi?
Pertanyaan ini cukup realistis. Sebab, dalam asumsi masyarakat kita saat ini ialah bahwa perguruan tinggi bertujuan untuk mencetak para pekerja yang siap pakai sebagai bentuk kongkret implementasi dari pengetahuan serta pengalaman yang telah didapatkan. Bahayanya, asumsi masyarakat seperti ini justru kini berkembang jadi semacam kepercayaan yang menggantungkan harapan-harapan bersifat matrealistik. Akhirnya, studi hanya sekadar dianggap sebagai kegiatan formalistik serta jembatan untuk memperoleh sekaligus mengejar pekerjaan dan status sosial semata.
Pergeseran asumsi ini jadi wajar karena sistem pendidikan kita mengadopsi sekaligus menerapkan logika positivistik, di mana pendidikan lebih dimaksudkan untuk mengembangkan kecerdasan, ketrampilan, dan keahlian peserta didik belaka, serta menafikan komitmen, keyakinan dan kepercayaan terhadap realitas sistem ketidakadilan sosial. Kesadaran kritis sebagai modal untuk menciptakan transformasi sosial dan menjawab problematika sosial telah terkikis habis oleh sistem yang sengaja diciptakan agar proses pendidikan menjadi ahistoris.
Ketika kemudian harapan masyarakat tersebut terhadap peserta didik tidak terwujud, lantas kepercayaan masyarakat terhadap perguruan tinggi berada di persimpangan jalan. Seakan muncul sebuah kesimpulan dari kebanyakan masyarakat bahwa studi hanyalah menghabiskan biaya belaka. Di tambah lagi dengan ongkos pendidikan yang kini kian melangit, semakin mempertegas sikap apatis masyarakat akan eksistensi pendidikan.
Oleh karenanya, mengembalikan fungsi serta tujuan pendidikan ke arah semula adalah pilihan yang tak dapat ditawar-tawar. Soal orientasi adalah urusan nomor dua, yang terpenting esensi pendidikan tersampaikan kepada para peserta didik, setidaknya agar kesadaran mereka tertanamkan.
Pertanyaan reflektif kita saat ini, mampukah lembaga-lembaga pendidikan dan perguruan tinggi (kampus) mengembalikan fungsi serta perannya sebagai wadah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan generasi mendatang? Adakah sejumput harapan bergantung di sana pada saat pendidikan kita yang kian carut marut serta tak jelas arah tujuan? Atau pendidikan kita kini yang telah mengalami pergeseran orientasi sehingga kehilangan substansi di mata masyarakat? Dalam hal ini pemerintah memiliki tanggung jawab yang sangat besar, karena beban sejarah serta beban moral untuk segera mengembalikan tujuan, peran, serta fungsi lembaga-lembaga pendidikan seperti sediakala didirikan dan diperlukan.