Meragukan Independensi Pejabat KPK
Semua orang tahu bahwa komisi pemberantasan korupsi berdiri secara independen. Baik secara kelembagaan maupun personalia atau keanggotaan KPK diharuskan independen sesuai dengan ketetuan umum UU tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Begitulah idealnya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negarasebagaimana tertulis dalam UU yang sejak tahun 2003, hingga kini, bernama KPK. Keberadaan komisi ini menjadi sangat penting, strategis dan mulia dalam memberantas praktek penyelewengan kekayaan negara yang marak dilakukan oleh para pejabat negara. Bahkan hingga kini, sedikit demi sedikit praktek penyelewengan terhadap kekayaan negara mulai tersisir serta terbongkar ke permukaan, dan sekaligus menunjukan bahwa praktek korup-mengkorup kekayaan negara di institusi-institusi negara kita telah terjadi sejak lama. Namun dalam perjalanannya, akibat tarik ulur kepentingan serta praktek balas budi antar satu sama lain membuat taring komisi ini tumpul.
Di satu sisi, banyak pihak yang merasa terganggu oleh keberadaan komisi pemberatntasan korupsi karena korupsi adalah tindakan pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Terganggu dalam artian ketakutan kehilangan jabatan atau kekuasaan serta ketakutan akan berhadapan dengan hukum atau sangsi.
Ada dua hal mengganjal yang patut dijadikan alasan lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap KPK. Pertama, soal independensi personalia atau pejabat yang duduk di kursi KPK. Peranyaannya sederhana, benarkah anggota KPK bebas dari pengaruh pihak manapun?. Kedua, soal perebutan kekuasaan secara politik dalam rangka dominasi untuk membawa misi ideologis partai politik pengusung, sekaligus ingin membuktikan kepada masyarakat bahwa parpol tertentu berhak terhadap kepemimpinan negara.
Soal pertama ini menjadi penting karena ongkos politik yang dikeluarkan untuk menduduki jabatan di kursi negara tidaklah sedikit. Lantas, lahan yang paling tepat dalam rangka mengembalikan ongkos politik yang mahal adalah posisi-posisi di kursi pemerintahaan dijadikan sebagai proyek kekuasaan karena kebijakan sudah berada di tangan. Diakui atau tidak, bahwa produk kebijakan merupakan proyek politik yang menghasilkan secara ekonomis dengan sebuah asumsi bahwa gaji, tunjangan serta fasilitas lainnya yang diberikan sesuai dengan ketentuan, tidak akan cukup untuk mengembalikan ongkos politik yang telah habis selama masa pemilihan. Mau tidak mau, korupsi dijadikan jalan alternatif untuk menambah penghasilan dalam rangka mengembalikan ongkos politik yang telah terkuras habis. Di sana, muncullah ketidaksenangan terhadap KPK yang acap kali gencar menyisir para pejabat yang melakukan penyelewengan-penyelewengan melalui proyek kebijakan yang telah dikeluarkan. Kegerahan mereka akan keberadaan KPK dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya ialah upaya pelemahan serta diskriminasi terhadap pejabat KPK, dan bahkan mungkin, mereka akan menitipkan salah satu anggota kelompok penguasa untuk duduk di komisi pemberantasan korupsi. Tujuannya ialah pendiktean terhadap kinerja KPK.
Selanjutnya, setelah mereka berhasil menitipkan salah satu anggota kelompok penguasa di KPK, maka upaya pendiktean akan semakin mudah. Terjadilah tarik ulur kepentingan karena pihak yang dominatif di kursi kekuaasaan sangat khawatir kehilangan jabatan yang sedang mereka pegang apabila di suatu hari justru terindikasi melakukan tindak pidana korupsi.
Kini, kita menyimpan harapan besar terhadap KPK, terutama pimpinan terpilih yang baru Busyro Moqoddas, benar-benar independen secara pribadi, serta anggota lainnya. Sebab, kita tak banyak tahu sejauh mana ukuran independensi personalia KPK, yang pasti, pasca dipenjarakannya Antasari Azhari, KPK terkesan tumpul dan nyaris tidak lagi berperan karena setelahnya Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah juga terjabak dalam tindak pidana yang dituduhkan kepada kedua pejabat KPK itu.
Artinya, bahwa di KPK terlalu banyak tantangan yang harus dihadapi, tidak hanya tantangan secara mental, tapi nyawa sekalipun bisa jadi taruhan. Dan kini, tantangan tersebut nyata di hadapan Busyro Muqoddas yang kini mengemban misi berat sekaligus mulia sebagai pemimpin atau figur baru di KPK. Meski secara pengalaman di bidang hukum Busyro bukan tidak memiliki pengalaman, terlebih lagi ia pernah duduk di Komisi Yudisial. Namun begitu, kita patut ragu dengan sosok Busyro karena secara personal iapun juga pernah bergelut dalam bidang politik, meskipun kini ia dipandang sebagai tokoh yang independen, namun siapalah tahu sejauh mana independensi Busyro sebagai ketua KPK.