Kartini dan Politik Perempuan
Nada sinis tampaknya mengisi peringatan hari Kartini tahun ini. Kesinisan tersebut bukan ditujukan kepada Kartini, tapi terhadap fenomena politik lokal (Pilkada) yang akan segera digelar dalam waktu dekat. Pasalnya, setidaknya ada dua hal yang menjadi titik perhatian terkait Pilkada, yakni tampilnya istri-istri penguasa dan muncul pula beberapa artis dari kalangan kaum Hawa sebagai calon di beberapa daerah.
Bukan persoalan perempuan atau tidaknya. Dalam konteks ini, kita tampak menyaksikan sebuah pemandangan yang sedikit mengusik, sebab, majunya mereka serasa bukan representasi dari perjuangan kesetaraan gender yang selama ini gencar diupayakan para aktivis gender di negeri ini. Pun Kartini puluhan tahun silam. Tapi, yang terlihat malah justru absurd, karena jelaslah kiranya bahwa mereka yang mencalonkan diri dapat dikatakan minim pengetahuan serta pemahaman utuh tertang apa yang selama ini para Aktivis perempuan perjuangkan. Kita, tepatnya penulis terlanjur memiliki dua persepsi miring menyikapi fenomena ini ; partama, penguasa mewariskan kekuasaan kepada sang istri (takut kehilangan kekuasaan), kedua, para artis tampak agak meremehkan posisi kepemimpinan daerah.
Anda bisa setuju atau tidak terhadap asumsi subjektif ini. Namun, mungkin kita mesti melek mata melihat sosok pemimpin daerah yang notabene istri penguasa dan sosok seperti Julia Perez (Juve). Calon dari istri penguasa atau petahana paling santer terdengar menjelang perhelatan Pilkada 2010 ini terdapat dibeberapa daerah, seperti, Kediri, Ngawi, Malang, Bantul (DIY), Indramayu, Kepulauan Riau, Bone, Labuhan Batu (Sumsel), Sukoharjo (Jateng), Sidoarjo. Sedangkan dari kalangan selebritis terdapat sejumlah nama, seperti Julia Perez (Pacitan), Vena Melinda (Blitar), dan Ratih Sanggarwati (Ngawi).
Renungan Hari Kartini
Tanpa bermaksud meragukan kualitas serta kapabelitas mereka, setidaknya fenomena tersebut mesti menjadi renungan bersama. Apakah mereka tampil atas dasar kesadarannya terhadap perjuangan Raden Ajeng Kartini, yang merupakan inspirasi para aktivis perempuan untuk menghapus praktek-praktek diskriminatif serta subordinatif terhadap kaum perempuan selama ini. Terlebih, saat ini adalah momentum yang tepat untuk mengadakan sebuah refleksi bersama. Hari ini, kita memperingati hari Kartini, 17 April, yang merupakan agenda tahunan kaum perempuan khususnya, mengenang perjuangan Kartini untuk mengukuhkan eksistensi peran perempuan di dalam seluruh lini kehidupan.
Bagi kaum perempuan memperingati hari Raden Ajeng Kartini memberikan sebuah inspirasi tersendiri. Inspirasi perjuangan kesetaraan, perlawanan terhadap dominasi laki-laki dalam berbagai bidang, subordinasi serta prilaku diskriminatif. Perjuangan kesetaraan perempuan adalah cita-cita mulai seorang Kartini yang kemudian melahirkan spirit bagi kaum Hawa untuk bangun sekaligus membuka mata akan posisi mereka di dalam berbagai lini kehidupan sosial. Itu diperingati pada setiap bulan April.
Cita-cita Kartini tak hanya ditujukan kepada kaum perempuan semata. Tapi, seharusnya juga dipahami kaum laki-laki agak tidak bertindak serta memperlakukan semena-mena terhadap perempuan dengan alasan apapun, atau karena streotip sosial dan kultural yang selama ini terbangun di benak masing-masing. Perempuan pun butuh dihormati. Menghormati perempuan, salah satu caranya ialah menempatkan mereka tidak dalam posisi marginal. Terlebih, dalam era domokratisasi, hak-hak perempuan sudah harus dipahami secara kolektif agar peran mereka tak dilihat kasat mata demi cita-cita kesejahteraan dan keadilan sosial nyata wujudnya.
Masa Kartini tentu saja berbeda dengan masa kini. Artinya, Kartini hidup dengan kesadaran penuh sebagai seorang wanita pejuang tangguh agar keberadaan perempuan tak dipandang sebelah mata oleh negara, karena mereka mampu dan memiliki segudang potensi serta kapasitas untuk membangun sebuah negara menuju perubahan ke arah perbaikan demi terwujudnya kesejahteraan sosial.
Sederetan aturan yang termaktub dalam UU belum sepenuhnya menjamin kemerdekaan perempuan. Meskipun dalam banyak hal sebenarnya peran perempuan telah menunjukan keadaan lebih baik. Tapi, bukan berarti perempuan telah terbebas dari tindakan-tindakan diskriminatif. Pelecehan seksual, streotip beraroma marginal, kekerasan, subordinasi, beban kerja, perdagangan perempuan adalah serangkaian persoalan yang kerap menghampiri perempuan. Dan itu terus terjadi. Mandat UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan masih belum menjadi jaminan utuh kemerdekaan perempuan. Begitu pula UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan UU Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, masih menjadi materi yang sungkan pertegas.
Pesimis vs Optimis
Deretan berbagai persoalan yang menimpa kaum perempuan adalah bentuk nyata bahwa perjuangan mereka belumlah tuntas. Dan itu sekaligus menjadi sebuah perkejaan rumah bagi siapapun di negeri ini yang mencita-citakan tegaknya keadilan sosial. Tentu, bukan perkejaan mudah mewujudkannya, terutama kaum perempuan yang hingga saat ini masih tersandung oleh berbagai berbagai aturan yang tak sensitif gender ditambah lagi streotip-streotip negatif terhadap kaum perempuan terbentang di tengah-tengah masyarakat. Jika praktek serta streotip marjinal terhadap perempuan masih subur, maka perjuangan perempuan untuk kesetaraan bisa dikatakan masih relatif berat dan membutuhkan waktu panjang.
Kesadaran seperti ini adalah sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan bagi para pelopor perjuangan kesetaraan gender di kalangan perempuan khususnya. Butuh aktor sekaligus figur berkapasitas, baik pengalaman, kesadaran, kepekaan, maupun daya intelektualitas tajam menyikapi persoalan ini. Namun kini, rasa pesimis rasnya lebih dominan ketimbang optimisnya melihat calon-calon pemimpin dari kalangan perempuan yang lebih mengutamakan kursi kekuasaan ketimbang kepentingan perjuangan kaum Hawa. Dan hal yang paling mengerikan bila mulai bermunculan sikap apatis dari masyarakat ketika melihat sosok calon pemimpin perempuan yang justru memberikan citra buruk terhadap mereka. Ambil contoh misalnya, Julia Perez. Tak sedikit kalangan yang terhenyak ketika nama itu terdaftar di dalam deretan calon pemimpin daerah. Atau Ayu Azhari yang beberapa bulan lalu juga sempat membuat kita mengelus dada. Sulit rasanya menumbuhkan rasa optimis ketika menyaksikan fakta di lapangan. Bukankah saat ini para Aktivis perempuan atau Kartini muda bertebaran di mana-mana?