Politik Dinasti Pilkada 2010
Genderang Pilkada telah siap ditabuh. Bila tak ada aral melintang, pesta politik daerah atau Pilkada akan jatuh pada bulan maret tahun ini. Bertepatan dengan bulan keenam masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono serta Boediono sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia pasca dilantik 21 Oktober tahun lalu. Bupati adalah kepenjangan tangan pemerintah pusat untuk menjalankan tugas negara di tingkatan daerah.
Muncul fenomena menarik perhatian terkait figur-figur calon dalam Pilkada kali ini. Yakni mengenai calon-calon, baik yang telah pasti maupun belum, yang ditaburi oleh istri-istri penguasa, berarti incumbentatau petahana. Kemunculan mereka karena sang suami telah habis haknya untuk mencalonkan diri kembali, karena terbentur UU yang membatasi kepemimpinan yang hanya boleh untuk dua periode. Tak hanya itu, alasan mendasar yang mereka kemukakan ialah untuk melanjutkan program suami yang belum sempat terealisasikan semasa menjabat. Benarkah?
Alasan tersebut menunjukan kepercayaan yang cukup tinggi serta memotivasi sang istri akan memenangkan Pilkada. Ditambah lagi oleh dukungan kuat dari sang suami, sehingga menebalkan keyakinan untuk tidak mundur selangkah pun demi mempertahankan kursi yang pernah diduduki suaminya. Seakan muncul kesan tidak rela bila kursi tersebut diserahkan begitu saja kepada orang lain, sedang perjuangan suami dianggap telah nyaris berhasil sebelumnya.
Istri-istri penguasa bertaburan di berbagai daerah sebagai calon dalam Pilkada. Seperti, Bantul (Yogyakarta, Malang (Jawa Timur), Kota Surabaya/Sidoarjo (Jawa Timur), Ngawi (Jawa Timur), Sukoharjo (Jawa Tengah), Indramayu (Jawa Barat), Labuhan Batu (Sumatera Utara), serta Kediri (Jawa Timur) yang merupakan kerabat incumbent (Kompas, 5/3/10). Namun, tampaknya mereka adalah sosok atau calon kuat memenangkan Pilkada, selain karena petahana tetapi juga didukung oleh kantong tebal.
Politik Uang?
Munclunya istri-istri penguasa mengindikasi telah terjadinya disorientasi politik. Munculnya para artis malah membenarkan wujud pragmatis partai politik. Hal ini diakibatkan oleh besarnya biaya politik yang harus dikeluarkan di dalam seluruh proses perjalanan menuju Bupati. Ongkos mahal saat ini seakan telah menjadi syarat mutlak bila ingin terjun ke kancah politik lokal maupun nasional. Bila tak ada uang maka tak usah terjun ke dalam dunia politik praksis karena akan sia-sia belaka. Stigma ini telah mengakar dalam. Kualitas politik akan ditentukan oleh seberapa besar uang yang harus dimiliki sekaligus dikeluarkan. Kemenangan ditentukan dengan uang dan semua hal yang berkenaan dengan politik, mutlak dengan uang.
Politik menggunakan kekuatan uang sesungguhnya sesuatu yang buruk bagi masa depan perpolitikan nasional. Hal ini terjadi disebabkan pemahaman politik kaum elit sangat minim, platform yang tak jelas, kurang mampu menciptakan kepercayaan akan citra diri di mata masyarakat, tak banyak mengerti kondisi sosiologis, serta psikologis pemilih, dan juga akibat komunikasi politik yang tak berjalan dengan baik. Suara masyarakat akhirnya dihargai dengan uang, maka tak heran bila di kemudian hari masyarakat justru menyerang balik atas setiap kebijakan-kebijakan yang dianggap merugikan mereka. Aspirasi atau suara masyarakat yang memilih diri calon pada saat pemilihan berakhir pada saat itu saja, karena secara kultur masyarakat tak pernah merasa terikat oleh figur calon yang telah terpilih.
Ini adalah wajah krisis politik dalam pentas perpolitikan Indonesia. Pembelajaran politik terhadap masyarakat tak akan pernah terwujud bila para elit politik terus-terusan menggunakan kekuatan uang dalam setiap momentum perhelatan politik. Salah satu penyebabnya, sekaligus, akibatnya ialah muncul semacam fenomena politik dinasti. Yakni, waris-mewariskan kekuasaan yang berujung pada tindakan nepotisme kalangan elit karena terlalu besar kekhawatiran hilangnya kursi kekuasaan yang dianggap empuk serta menguntungkan itu.
Krisis Kepemimpinan
Selain itu, bertaburnya istri-istri penguasa, incumbent, dalam pentas Pilkada menunjukkan telah terjadi krisis kepemimpinan. Tanpa bermaksud mereduksi kaum perempuan, kita juga mesti kritis membaca track record para calon Bupati yang kebanyakan dilakoni perempuan yang merupakan keluarga penguasa sebelumnya. Apakah mereka memiliki kapasitas, kualitas, kapabelitas, serta akuntabilitas mumpuni dalam mengawal pembangunan di daerah masing-masing khususnya, atau hanya karena alasan pragmatis belaka.
Buktinya, tak sedikit kaum perempuan yang notabene adalah aktivis-aktivis perempuan yang bertaburan di mana-mana tetapi mereka tak memiliki kesempatan serta kepercayaan penuh untuk dicalonkan menjadi seorang pemimpin, hanya dikarenakan ongkos politik yang telah dipatok dengan harga yang sangat mahal. Penulis seakan memiliki kekhawatiran mendasar terhadap fenomena seperti ini. Sebab, bila kita mengacu pada perspektif agama, Islam khususnya, memandang mapaletaka bila kepemimpinan diurusi oleh seorang perempuan. Tentu saja hadits ini keluar bukan tanpa alasan jika realitas calon pemimpin (Bupati) justru digenggam kaum Hawa yang berlatarbelakang kurang akuntabel serta kapabel tentang urusan politik dan kepemerintahan, tapi hanya politkus dadakan yang mewarisi suami yang menguasa sebelumnya. Artinya, bila suatu urusan tak diserahkan kepada ahlinya, berpengahuan secara keilmuan maupun praktek di lapangan, maka akan menjadi berbahaya bagi masa depan kepemipinan serta perpolitikan tanah air.
Kaum Hawa sudah sepatutnya tampil ke depan. Tentu saja tidak dengan tangan kosong dalam arti lebih luas, yakni mumpuni mengenai pengetahuan politik, kepemerintahan, serta tujuan politik yang sesungguhnya. Tujuan manusia berpolitik ialah untuk peradaban, menciptakan keadilan, kesejahteraan, bahkan ratusan tahun lalu Aristoteles telah menggariskan hal ini dalam teori zoon politikon-nya. Pernyataan Aristoteles bahwa politik ialah demi sebuah peradaban masih sangat relevan, selain karena politik dapat membedakan manusia dengan binatang, tapi politik juga merupakan wadah untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dengan memperhatikan nilai-nilai moral, etika dan adab berpolitik. Namun sayangnya, wajah perpolitikan kita cenderung mendahulukan sikap arogan, banalitas, seintimen, serta keangkuhan. Politik kita tak lebih hanyalah pertarungan antara si kaya versus si kaya, uang dengan uang. Begitu saja, dan terus seperti itu. Sedang rakyat yang tak berkantong tebal hanya akan menjadi penonton serta supporter belaka, atau sekedar ikut-ikutan bersorak-sorai memeriahkan pesta demokrasi kaum berduit dan elit ibarat di dalam arena pertarungan yang memperebutkan kursi kekuasaan. Dan setelah pertarungan usai, pesta ditutup, penonton bubar, tapi jelas para supporter menanti ksatria yang dinyatakan menang itu untuk menjadi pahlawan bagi mereka, atau setidaknya menunjukan sikap peduli sebagai salah satu beban moral terhadap dukungan rakyat. Terlebih, dalam konteks politik ksatria yang dinyatakan menang, tak lantas hanya menjadi pemenang yang berdiam diri di istana kekuasaan tenggelam dalam uforia kesatriaannya.