Wednesday, 24 October 2012

Keraton Jogja Simbol Kearifan Budaya

Keraton Jogja Simbol Kearifan Budaya

Tidak hanya karena faktor sejarah yang membuat masyarakat Yogyakarta bersikukuh mempertahankan Keistimewaan Yogyakarta (DIY). Tetapi ada faktor lain yang cenderung lebih kuat, yakni kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan sebuah kebudayaan yang merupakan simbol kultural dalam kehidupan masyarakat secara turun-temurun, serta telah jadi kekuatan yang mengakar. Terlebih, Yogyakarta yang telah dikenal di mana-mana sebagai kota budaya.

Pro-kontra tentang keistimewaan Yogyakarta sebaiknya jangan hanya dilihat dari satu aspek saja. Terdapat banyak aspek yang mesti dilakukan kajian ulang dan lebih spesifik untuk mengukur sejauh mana pro-kontra itu dapat diterima serta dicerna dalam perspektif kolektifitas masyarakat yang notabene pelaku kebudayaan. Artinya, masyarakat adalah aktor yang membuat kebudayaan itu tetap hidup, tumbuh dan berkembang. Bukan kita perorangan atau kelompok yang menentukan hidup-matinya sebuah kebudayaan, tapi realitas kehidupanlah yang akan jadi penentu, dan kesadaran masyarakat sebagai penyeimbang untuk memilih baik dan buruk suatu kebudayaan.

Di sini, logika institusional tampaknya perlu dikesampingkan terlebih dahulu. Mengingat, jika logika konstitusional mendominasi serta dijadikan alasan mutlak maka tarik ulur kepentingan politis justru lebih kuat, sehingga menafikan peran serta fungsi masyarakat yang notabene pelaku budaya.

Persoalan tarik ulur tentang UU keistimewaan yang kini menjadi pro-kontra karena hanya dilihat dan diukur dari perspektif politik semata. Sehingga terkesan ada semacam keinginan kelompok tertentu untuk sengaja mengikis jejak rekam sejarah serta menghapus cita, karsa dan rasa (budaya) yang melatari kehidupan masyarakat, padahal, sedikit-banyak kedua hal itulah yang jadi fondasi kuat mengapa masyarakat begitu komit berjuang mati-matian untuk mempertahankan sesuatu yang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Hebatnya, fondasi itu kini telah berubah menjadi keyakinan serta kepercayaan, karena masyarakat sadar betul betapa kebudayaan mereka sedang ingin dikikis dan diberangus dari kehidupan sehari-hari mereka. Apakah hal itu salah?

Jika dilihat dalam perspektif ini maka adalah suatu alasan benar mengapa masyarakat Yogyakarta bersikukuh ingin mempertahankan keistimewaan kota budaya ini. Artinya, penetapan merupakan pilihan tepat untuk kota gudheg yang saat ini jadi tema atau isu perjuangan masyarakat Yogyakarta. Sedangkan isu atau tema yang dibawa oleh beberapa kelompok untuk keistimewaan Yogyakarta ialah bersifat politis yang begitu sarat dengan muatan kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Dalam artian, kelompok politis sedang melawan arus keyakinan masyarakat, untuk menghapus sistem penetapan yang kini dipertahankan masyarakat kota gudheg.

Radikalisme kepentingan politis

Radikalisme kepentingan politis kelompok tertentu yang kini mengahantam Yogyakarta sebagai kota budaya lambat laun akan meruntuhkan pondasi kehiduapan sosial-budaya masyarakat. Apabila dibiarkan tanpa dibentengi, bukan tidak mungkin masyarakat akan bubar dan bangsa ini akan semakin terpuruk.

Coba kita lihat, radikalisme keinginan serta kehendak politis dari kelompok tertentu lebih dominan, bahkan dalam segala aspek kehidupan, ketimbang menjaga keinginan kolektifitas masyarakat. Sikap hidup yang pragmatis adalah alasan kuat mengapa radikalisme kepentingan politis sangat gencar diperjuangkan oleh kelompok politis. Bukan politiknya yang kejam, tapi pelaku-pelaku politik itulah sebenarnya yang telah mengubah definisi serta citra politik menjadi buruk di mata masyarakat. Padahal, tujuan esensial politik adalah sangat mulia, yakni kesejahteraan masyarakat.

Wajar sajalah jika kini masyarakat kebanyakan justru melawan arus politik ketimbang ikut berpartisipasi. Diakui atau tidak, salah satu alasan paling kuat mengapa masyarakat Yogyakarta tetap bersikukuh mempertahankan penetapan ialah karena sikap traumatis masyarakat terhadap isu-isu politis yang digiring oleh pihak-pihak yang menunjukan radikalisme serta kepentingan ambisius politik untuk berkuasa dan menguasai. Politik kini tidak lagi dijadikan sebagai jalan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat, tapi justru sebaliknya, yakni memprovokasi atau bahkan mengacaukan kehidupan mereka.

Terlepas dari itu, jika kita kaji lebih dalam melalui perspektif budaya, keinginan masyarakat Yogyakarta untuk penetapan adalah manifestasi kongkrit betapa Sultan Hamingku Buwono masih memiliki pengaruh besar di mata masyarakat. Artinya, bukan hanya pengaruh secara personal terhadap sosok Sultan semata, tapi bagaimanapun beliau adalah bagian dari Keraton yang sekaligus sebagai simbol sejarah dan kearifan budaya yang amat sangat penting untuk dilestarikan, karena menyangkut kehidupan sosial masyarakat, dan bukan hanya sekadar label belaka. Dan celakanya, kelompok politis justru menutup mata dari realitas tersebut dan lebih mendahulukan ego kepentingan politis yang radikal bahkan sadis. Bukankah melestarikan kebudayaan adalah bagian lain dari upaya untuk menyejahterakan kehidupan masyarakat? Inilah hal lain yang mesti dipahami oleh kelompok politik, bahwa upaya menyejahterakan masyarakat tidaklah berbicara tentang pragmatisme dan finansial, tapi lebih pada pemahaman kita terhadap keinginan serta kepentingan masyarakat banyak yang tidak hanya dalam wilayah perekonomian belaka.
Disqus Comments