Wednesday, 24 October 2012

Mendamba Pendidikan Sensitif Gender


           
Idealnya, proses pendidikan harus mampu menyentuh ke dalam segala bidang sebagai bahan pertimbangan sebelum mengeluarkan kebijakan. Isu kesetaraan jender adalah salah satunya, agar hak masyarakat untuk memperoleh pendidikan tidak timpang dan berat sebelah serta dapat merata. Namun, pada kenyataannya, isu kesetaraan jender dalam bidang pendidikan tampaknya masih saja mengalami masalah karena pemerintah cenderung kurang begitu memperhatikan aspek lain yang sebetulnya dibutuhkan untuk keberlangsungan proses pendidikan secara merata dan adil.
            Sejauh ini, pemerintah telah menggalakan kewajiban pendidikan dasar sembilan tahun. Ini kebijakan positif untuk kematangan dan produktifitas siswa dalam proses menempuh jenjang pendidikan sehingga nantinya siswa benar-benar menjadi individu yang berkualitas, baik secara kognitif, afektif maupun psikomotorik. Hanya saja problemnya saat ini ialah terkait dengan perhatian pemerintah yang kurang jeli memperhatikan aspek lain dari kebijakan itu. Pemerintah kita hanya terfokus pada pengembangan pendidikan formal serta terbatas pada usia produktif semata. Sedangkan pendidikan informal bagi mereka yang berusia nonproduktif cenderung dikesampingkan dan celakanya, perempuan malah justru yang lebih banyak jadi korban.
            Hal ini terkait undang-undang pernikahan yang memperbolehkan perempuan menikah minimal usia 16 tahun. Dalam satu diskursus, undang-undang ini akan mengakibatkan tingginya angka putus sekolah di kalangan perempuan dan tingginya angka drop out perempuan pada pendidikan formal. Dari sini, kita dapat mengambil satu kesimpulan bahwa ada bentuk ketidakadilan jender dalam kasus ini jika kita mengacu pada sebuah definisi bahwa ketidakadilan jender ialah suatu sistem dan struktur (baca: kebijakan) yang menempatkan perempuan sebagai korban dari sistem tersebut.
            Terlepas dari itu, pendidikan adalah untuk jangka panjang. Jika terdapat suatu permasalahan tentu akan menghambat proses pendidikan yang seharusnya berbasis pada keadilan bagi semua, sebab, pendidikan merupakan modal utama dan memiliki peran strategis untuk kehidupan di masa mendatang.
            Ada sejumlah janji pemerintah dalam bidang pendidikan yang masih belum terealisasikan. Salah satunya ialah terkait dengan janji untuk menyediakan pendidikan yang menyetarakan jender karena masih terganjal oleh undang-undang pernikahan yang memperbolehkan perempuan menikah di usia 16 tahun, padahal, secara ideal, usia tersebut merupakan masa yang produktif untuk sekolah atau menuntut ilmu.
            Menyikapi hal ini, pemerintah dituntut untuk lebih komprehensif dalam mengeluarkan kebijakan pendidikan. Pendidikan formal memang perlu diperhatikan secara serius, tapi bukan berarti pendidikan nonformal lantas dipandang sebelah mata, sebab ini menyangkut hak masyarakat untuk memperoleh pendidikan. Artinya, pendidikan nonformal patut bagi pemerintah untuk memberikan porsi perhatian, begitu pula pendidikan nonformal bagi mereka yang telah berusia nonproduktif agar memiliki bekal pendidikan yang cukup sebagai modal utama.
            Kebijakan pengarusutamaan jender dalam bidang pendidikan sebaiknya tidak hanya berbicara pada pendidikan formal semata. Sebab, seringkali kita cenderung agak terlalu sempit dalam memahami dan mencerna wacana pengarusutamaan jender dalam bidang pendidikan yang hanya diterjemahkan ke dalam pendidikan formal, padahal masih ada ruang yang lebih luas daripada itu, yang sesungguhnya juga mencakup pendidikan. Dalam pemahaman sempit kita, pengarusutamaan jender dalam bidang pendidikan hanya terbatas pada pemberlakuan kedailan jender dalam pendidikan dan menghilangkan pembedaan pada peserta didik, mengupayakan keadilan jender di kalangan staf dan pimpinan, serta meredam sebab-sebab terjadinya kekerasan dan diskriminasi melalui materi pengetahuan yang diajarkan, proses pembelajaran yang dilakukan, dan menentang segala ide dan pemikiran yang mengandung stereotip negatif. Ini hanya berlaku dalam pendidikan formal sedangkan aspek di luar itu, yang sebenarnya juga menyangkut proses pendidikan (baca: pendidikan nonformal) terabaikan, bahkan dianggap tidak penting serta relevan.
            Menyikapi pemahaman ini, pemerintah perlu mengkaji lebih teliti tentang kesetaraan jender dalam bidang pendidikan. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat seimbang dalam memperoleh salah satu haknya sebagai warga negara, yakni mengenyam pendidikan. Sebagai catatan, memperoleh pendidikan tidak hanya semata-mata pendidikan formal, tapi juga bisa didapatkan dalam pendidikan nonformal, terutama bagi mereka yang telah menginjak usia nonproduktif.
Disqus Comments