Korupsi dan Bayangan Negara Gagal
Wacana menaikan gajih atau honor para pejabat negara untuk mengantisipasi terjadinya praktek korupsi sebenarnya telah ada sejak lama. Terutama ketika praktek korupsi terbongkar ke hadapan publik negeri ini, hingga Indonesia berhasil menyandang predikat sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Sebuah prestasi yang tentunya tidak membanggakan, malah justru memalukan kita semua.
Korupsi yang telah membudaya di institusi-intitusi tinggi negeri ini membuat kita semua berang. Sikap itu bukan tanpa alasan. Karena hanya akan menghantarkan negeri ini pada kehancuran serta keruntuhan belaka. Telah banyak contoh negara-negara yang mengalami keruntuhan akibat praktek perampokan uang negara oleh para pejabat. Bahkan ratusan tahun silam dan itu adalah fakta riil untuk kemudian kita tak lantas menutup mata darinya. Sepatutnya, peristiwa itu dijadikan sebuah pelajaran berharga agar tak mendera bangsa ini.
Effendy Sirodjuddin dalam bukunya Memerangi Sindrom Negara Gagal dengan jujur menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab gagalnya sebuah negara (failed state) untuk menuju kesejahteraan ialah praktek korup para pejabatnya. Dan perilaku ingin memperkaya diri sendiri para pejabat negara seakan telah mengakar sekaligus menular, serta menghasilkan sebuah antitesa yang terakumulasi dalam istilah gila harta dan haus kekuasaan. Kini, sindrom negara gagal (failed state) benar-benar telah terbukti di negeri ini, bila tak segera dimusnahkan, maka akan membuat kondisi semakin parah, yakni kategori negara hancur atau runtuh.
Namun, kategori negara runtuh dalam terminologi Effendy Sirodjuddin tampaknya masih jauh dari bayangan kita. Karena terminologi itu terlampau ekstrem, yakni kondisi negara yang kacau balau kondisi sosialnya, keamanan tak terkendali, aktivitas ekonomi terhenti, para pejabat sudah tak lagi memikirkan, alih-alih peduli keadaan rakyat serta negara dan seterusnya.
Alhasil, tak menutup kemungkinan, negara kita saat ini telah berada dalam kategori kegagalan (failed state). Agar tak terjatuh ke dalam jurang kegagalan, setidaknya kita perlu menawarkan salah satu solusi alternatif seperti tawaran Effendy, yakni mempelajari berbagai macam indikator modal intelektual negara.
Ini dimaksudkan dalam rangka penyaringan sosok seseorang yang akan ditempatkan sebagai pejabat negara. Persisnya, tak seperti Gayus tambunan serta pejabat lainnya yang melakukan praktek serupa.
Pasca reformasi, dan kran demokrasi terbuka, praktek busuk korupsi tercium. Ibarat kata pepatah, sepandai-pandainya orang menyimpan barang busuk, suatu saat pasti akan tercium juga. Bahkan hingga kini, praktek amoral tersebut semakin mengakar merajut sebuah streotip negatif bahwa lembaga-lembaga negara memelihara para koruptor handal, dan itu dilakukan secara sistematis serta terorganisir. Celakanya, korupsi dalam jumlah yang besar, bukan lagi ratusan juta, tapi milyaran rupiah.
Kondisi ini sesungguhnya telah lama disadari para pejabat. Salah satu strategi yang justru blunderialah kebijakan menaikkan (remunerasi) gajih para pejabat negara. Kasus korupsi yang dilakukan Gayus Tambunan, salah satu pejabat perpajakan negara adalah hal yang paling mencolok. Masyarakat terpukul serta kecewa karena merasa telah diperas melalui pesan sebuah iklan : hari gini tidak bayar pajak, apa kata dunia?.
Remunerasi semula dimaksudkan untuk menekan perilaku korupsi para pejabatnya, malah justru telah melanggengkan praktek busuk ini. Reformasi birokrasi yang sangat gencar diusulkan, tampaknya masih agak parsial, karena terbentur sistem. Tapi, memperbaharui kebijakan adalah pilihan alternatif yang menurut hemat penulis sangat penting diusulkan, kalau perlu disegerakan pelaksanaannya.
Perbaiki mental
Kita memang sedang berada di dalam dunia yang modern. Persaingan untuk memenuhi kebutuhan hidup (fisiologis) merupakan sebuah konsekuensi logis seiring kian bertambahnya jumlah kepala manusia yang menghuni bumi. Kehidupan telah dimodifikasi sedemikian rupa dengan berbagai kepentingan-kepentingan, individu maupun golongan tertentu yang motivasi sebenarnya ialah ketakutan akan kekurangan materi serta pudarnya eksistensi diri di mata orang lain.
Dunia modern oleh beberapa kalangan dianggap tidak lagi memiliki cakrawala moral dan spiritual. Dekadensi serta kejatuhan manusia di jaman modern, menurut pandangan filsafat perennial, disebabkan manusia telah mulai kehilangan pengetahuan langsung mengenai siapa dirinya, terlampau terjebak pada hal-hal eksternal tanpa menatap diri sendiri terlebih dahulu. Menyadari dekadensi moral dan spiritual manusia di abad modern, sampai-sampai Aldous Huxley berusaha memberikan sebuah tawaran alternatif berupa apa yang disebut sebagai gagasan metafisika bersama yang dimiliki semua agama-agama besar di dunia, yang terangkum di dalam karyanya filsafat perennial.
Begitu pula Leibniz, secara gamblang dia menyatakan bahwa metafisika yang mengakui adanya realitas ilahi yang substansial bagi bendawi, hayati serta akali. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa etika menempatkan tujuan akhir manusia di dalam pengetahuan tentang dasar yang imanen dan transenden dari seluruh wujud. Artinya, bahwa meski terkadang orang kabanyakan menuturkan bahwa filsafat justru mengajarkan orang kepada keapatisan terhadap Ilahi, itu tidak sepenuhnya dibenarkan. Padahal, Gottfried Wilhelm Leibniz hidup di masa yang sama para filsuf seperti John Locke, George Berkeley dan lainnya.
Lanjutnya, Aldous mengaku bahwa pengetahuan merupakan sebuah fungsi wujud (a function of being). Dan dipertegas dalam sebuah analogi bahwa ketika ada perubahan di dalam keadaan si pengetahu (knower), maka ada perubahan yang sesuai di dalam sifat dan jumlah pengetahuan. Pada konteks ini, mengambil kesimpulan dari beberapa kasus korupsi yang begitu mencolok di institusi dan instansi pemerintahan negara, yang terjadi malah sebaliknya. Para pejabat di atas sana, jelaslah sekumpulan orang-orang yang berpengetahuan serta berpendidikan, tapi pengetahuan itu sendiri tak menjanjikan perubahan pada kebaikan, yang dipertontonkan justru mental pengkhianat, pemeras, serta penadah.
Ini adalah sebuah realitas yang sedang dipertontonkan ke hadapan publik negeri. Secara tidak langsung, suguhan beraroma busuk ini akan sangat mempengaruhi rasa kepercayaan masyarakat terhadap sosok petinggi negeri yang berujung pada sikap apatis. Masyarakat harus diberikan kepercayaan penuh, sebab, masyarakat merupakan bagian terpenting dalam sebuah negara, tanpa masyarakat, tentu Indonesia tak dapat menjadi sebuah negara, alih-alih kemerdekaan. Kasus korupsi di negeri ini kian menggurita, alot serta menjalar. Masyarakat tak bisa berbuat apa-apa karena pemangku kebijakan berada di tangan elit penguasa. Korupsi adalah kasus kaum elit, dan celakanya, mereka tak takut, alih-alih tunduk terhadap ketentuan hukum, malah dianggap sebuah konsekuensi. Inilah sebagai petanda runtuhnya moral para pejabat negara hari ini.