Kewirausahaan
di Indonesia dapat dibilang masih relatif baru. Karena kewirausahaan
(entrepreneurship) sudah dikenal sekaligus dipraktekkan di Amerika Serikat
sejak 30 tahun silam, sementara di kawasan Eropa sudah berusia tujuh tahun
wacana ini dipraktekan. Artinya, kedua kawasan ini jauh-jauh hari telah
mempersiapkan diri untuk membendung angka kemiskinan agar tidak tumpah ruah
di negaranya seiring ambisi mereka mengumumkan kebijakan
pembangunan (developmentalism) dan modernisasi, terutama di dunia ketiga yang
telah dimulai pada tahun 1940 silam oleh pemerintahan AS pada masa Harry S.
Truman.
Kebijakan
pembangunan dan modernisasi menuai dukungan berlipat dari beberapa tokoh ilmu
sosial dan ekonomi di AS. Rostow semisal, mendukung pembangunan dan modernisasi
melalui akumulasi capital, tabungan dan investasi, dengan jalan menekan
negara-negara lain agar mengutang ke luar negeri. Di samping itu, mereka
mempersiapkan World Bank dan
IMF untuk menyediakan modal besar menaungi negara manapun yang membutuhkan
bantuan dalam bentuk hutang disertai perjanjian-perjanjian tertentu.
Eksploitasi semisal. World bank dan IMF sengaja dipersiapkan dengan modus
menolong negara-negara yang baru merdeka dan rurntuh perekonomiannya akibat
perang yang berkepanjangan.
Problem
serius yang sedang kita hadapi saat ini adalah kemiskinan. Banyak faktor yang
menjadi penyebab terjadinya fenomena kemiskinan, bahkan seakan tak ada
habis-habisnya. Celakanya, tiap tahun angka kemiskinan, di Indonesia khususnya,
kian bertambah membanjiri kehidupan sosial masyarakat hingga menjelma menjadi
pemandangan lumrah di sekeliling kita. Kemiskinan tak kenal status sosial. Dan
yang sangat fenomenal ialah pengangguran terdidik atau secara kognitif mereka
memiliki bekal pengetahuan karena memang pentolan dari
perguruan tinggi.
Pengangguran terdidik
Pengangguran
terdidik adalah sebuah fenomena. Padahal, Kementerian KUK dan UKM
telah berinisiatif mengalokasikan anggaran dana sebesar Rp 50 Milyar untuk
mencetak sekitar 10.000 wirausahawan bertitel sarjana. Bahkan, beberapa tahun
lalu, pemerintah sempat mewacanakan kredit usaha bagi para lulusan
perguruan tinggi sebesar lima juta rupiah untuk masing-masing kepala.
Menghadapi
fenomena pengangguran terdidik merupakan sebuah tantangan serius bagi pemerintah.
Sekaligus pekerjaan rumah bagi semua kalangan. Data
BPS tahun 2008 silam, jumlah sarjana menganggur mencapai angka 1,1 juta orang
di negeri ini. Sementara pertumbuhan ekonomi hanya mencapai satu persen dan
gagal menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi para sarjana karena hanya
265.000 lapangan kerja baru, sedangkan jumlah sarjana lulusan PT tiap tahunnya
mencapai lebih dari 300.000 orang.
Kondisi
ini kontras bila dibandingkan dengan Singapura. Negara Singa Putih ini mampu
mencetak empat persen wirausahawan dari total jumlah seluruh penduduknya.
Sedangakan Indonesia hanya
memiliki 0.18 persen wirausahawan dari total 223 juta jiwa penduduknya. Tahun
2005, Singapura memiliki sekitar 7,2 persen entrepreneur, AS di tahun 2007 11,5
persen jumlah wirausahawannya. Indonesia, setidaknya harus
membutuhkan kurang lebih 4,4 juta wirausahawan dari jumlah penduduk 223 juta
jiwa. Menurut David McClelland, suatu Megara akan makmur apabila memiliki
wirausahawan paling sedikit dua persen dari jumlah penduduk. Indonesia?
Bila
kita teliti secara rinci, maka problem sebenarnya
terletak pada kualitas pendidikan serta kurikulum di lembaga pendidikan formal,
PT, khususnya. Kalau mau jujur, pendidikan kita saat ini hanya mampu menelorkan
SDM yang siap kerja, tapi tidak mempersiapkan SDM yang memiliki mental dan jiwa
wirausaha. Sementara, problem utama para sarjana ialah terkait apa yang harus
mereka lakukan pasca lulus dari perguruan tinggi dan di sisi lain,
lapangan kerja terbatas.
Kurikulum wirausaha
Secara
etimologi, wirausaha (entrepreneurship) berarti orang yang berani mengambil
resiko resiko dan memulai sesuatu yang baru. Tapi, saat ini, berwirausaha dalam
benak sementara kita, identik dengan berdagang, berjualan barang kebutuhan
hidup. Meski ada hubungannya, sesungguhnya berwirausaha dan berdagang itu
berbeda secara substansi, karena wirausaha lebih pada tawaran dan menciptakan
sebuah nilai, dan berdagang menawarkan sebuah alternatif-alternatif.
Berangkat
dari problem pendidikan kita yang hanya mampu melahirkan SDM yang siap kerja,
tapi tidak siap berjiwa wirausaha, di sisi lain lapangan kerja terbatas, jumlah
pengangguran terdidik yang membanjir, sementara jumlah sarjana terus bertambah,
maka, kita patut, khususnya perguruan tinggi memikirkan ulang desain serta
kurikulum pendidikan yang mampu menjawab tantangan pengangguran tersebut. Dalam
perkara ini, perguruan tinggi tampaknya menjadi pusat perhatian semua pihak.
Sebab, disadari atau pun tidak, mainstream masyarakat, bahkan kita, PT adalah
jembatan untuk memperoleh akses kerja kelak setelah lulus. Anggapan bahwa
berkuliah tidak penting karena hanya akan menghabiskan uang belaka sementara
orientasi kerja pasca lulus masih suram adalah sebuah kekeliruan mendasar.
Mainstream
seperti itu harus segera terhapus. Caranya, persiapkan para calon sarjana untuk
selain memiliki kapasitas pengetahuan yang mumpuni, tapi juga memiliki jiwa
wirausaha sebagai persiapan mutlak menghadapi tantangan hidup yang
konsumeristik.Begitulah.