Wednesday, 24 October 2012

Kurikulum PT Berwawasan Wirausaha?


            Kewirausahaan di Indonesia dapat dibilang masih relatif baru. Karena kewirausahaan (entrepreneurship) sudah dikenal sekaligus dipraktekkan di Amerika Serikat sejak 30 tahun silam, sementara di kawasan Eropa sudah berusia tujuh tahun wacana ini dipraktekan. Artinya, kedua kawasan ini jauh-jauh hari telah mempersiapkan diri untuk membendung angka kemiskinan agar tidak tumpah ruah di negaranya seiring ambisi mereka mengumumkan kebijakan pembangunan (developmentalism) dan modernisasi, terutama di dunia ketiga yang telah dimulai pada tahun 1940 silam oleh pemerintahan AS pada masa Harry S. Truman.
            Kebijakan pembangunan dan modernisasi menuai dukungan berlipat dari beberapa tokoh ilmu sosial dan ekonomi di AS. Rostow semisal, mendukung pembangunan dan modernisasi melalui akumulasi capital, tabungan dan investasi, dengan jalan menekan negara-negara lain agar mengutang ke luar negeri. Di samping itu, mereka mempersiapkan World Bank dan IMF untuk menyediakan modal besar menaungi negara manapun yang membutuhkan bantuan dalam bentuk hutang disertai perjanjian-perjanjian tertentu. Eksploitasi semisal. World bank dan IMF sengaja dipersiapkan dengan modus menolong negara-negara yang baru merdeka dan rurntuh perekonomiannya akibat perang yang berkepanjangan.
            Problem serius yang sedang kita hadapi saat ini adalah kemiskinan. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya fenomena kemiskinan, bahkan seakan tak ada habis-habisnya. Celakanya, tiap tahun angka kemiskinan, di Indonesia khususnya, kian bertambah membanjiri kehidupan sosial masyarakat hingga menjelma menjadi pemandangan lumrah di sekeliling kita. Kemiskinan tak kenal status sosial. Dan yang sangat fenomenal ialah pengangguran terdidik atau secara kognitif mereka memiliki bekal pengetahuan karena memang pentolan dari perguruan tinggi.
Pengangguran terdidik
            Pengangguran terdidik adalah sebuah fenomena. Padahal, Kementerian KUK dan UKM telah berinisiatif mengalokasikan anggaran dana sebesar Rp 50 Milyar untuk mencetak sekitar 10.000 wirausahawan bertitel sarjana. Bahkan, beberapa tahun lalu, pemerintah sempat mewacanakan kredit usaha bagi para lulusan perguruan tinggi sebesar lima juta rupiah untuk masing-masing kepala.
            Menghadapi fenomena pengangguran terdidik merupakan sebuah tantangan serius bagi pemerintah. Sekaligus pekerjaan rumah bagi semua kalangan. Data BPS tahun 2008 silam, jumlah sarjana menganggur mencapai angka 1,1 juta orang di negeri ini. Sementara pertumbuhan ekonomi hanya mencapai satu persen dan gagal menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi para sarjana karena hanya 265.000 lapangan kerja baru, sedangkan jumlah sarjana lulusan PT tiap tahunnya mencapai lebih dari 300.000 orang.
            Kondisi ini kontras bila dibandingkan dengan Singapura. Negara Singa Putih ini mampu mencetak empat persen wirausahawan dari total jumlah seluruh penduduknya. Sedangakan Indonesia hanya memiliki 0.18 persen wirausahawan dari total 223 juta jiwa penduduknya. Tahun 2005, Singapura memiliki sekitar 7,2 persen entrepreneur, AS di tahun 2007 11,5 persen jumlah wirausahawannya.  Indonesia, setidaknya harus membutuhkan kurang lebih 4,4 juta wirausahawan dari jumlah penduduk 223 juta jiwa. Menurut David McClelland, suatu Megara akan makmur apabila memiliki wirausahawan paling sedikit dua persen dari jumlah penduduk. Indonesia?
            Bila kita teliti secara rinci, maka problem sebenarnya terletak pada kualitas pendidikan serta kurikulum di lembaga pendidikan formal, PT, khususnya. Kalau mau jujur, pendidikan kita saat ini hanya mampu menelorkan SDM yang siap kerja, tapi tidak mempersiapkan SDM yang memiliki mental dan jiwa wirausaha. Sementara, problem utama para sarjana ialah terkait apa yang harus mereka lakukan pasca lulus dari perguruan tinggi dan di sisi lain, lapangan kerja terbatas.
Kurikulum wirausaha
            Secara etimologi, wirausaha (entrepreneurship) berarti orang yang berani mengambil resiko resiko dan memulai sesuatu yang baru. Tapi, saat ini, berwirausaha dalam benak sementara kita, identik dengan berdagang, berjualan barang kebutuhan hidup. Meski ada hubungannya, sesungguhnya berwirausaha dan berdagang itu berbeda secara substansi, karena wirausaha lebih pada tawaran dan menciptakan sebuah nilai, dan berdagang menawarkan sebuah alternatif-alternatif.
            Berangkat dari problem pendidikan kita yang hanya mampu melahirkan SDM yang siap kerja, tapi tidak siap berjiwa wirausaha, di sisi lain lapangan kerja terbatas, jumlah pengangguran terdidik yang membanjir, sementara jumlah sarjana terus bertambah, maka, kita patut, khususnya perguruan tinggi memikirkan ulang desain serta kurikulum pendidikan yang mampu menjawab tantangan pengangguran tersebut. Dalam perkara ini, perguruan tinggi tampaknya menjadi pusat perhatian semua pihak. Sebab, disadari atau pun tidak, mainstream masyarakat, bahkan kita, PT adalah jembatan untuk memperoleh akses kerja kelak setelah lulus. Anggapan bahwa berkuliah tidak penting karena hanya akan menghabiskan uang belaka sementara orientasi kerja pasca lulus masih suram adalah sebuah kekeliruan mendasar.
            Mainstream seperti itu harus segera terhapus. Caranya, persiapkan para calon sarjana untuk selain memiliki kapasitas pengetahuan yang mumpuni, tapi juga memiliki jiwa wirausaha sebagai persiapan mutlak menghadapi tantangan hidup yang konsumeristik.Begitulah.
Disqus Comments