Serbuan produk-produk makanan instan di zaman modern tidak dapat terhindarkan.
Berbagai bentuk makanan instan tersebut tidak saja menyerbu di ruang-ruang
perbelanjaan seperti pasar, tetapi juga telah merambah ke dalam kehidupan
masyarakat. Parahnya, kita telah terjerumus menjadi masyarakat yang konsumtif
terhadap berbagai macam ragam makanan-makanan instan yang bisa didapatkan di
mana-mana itu.
Menghadapi
serbuan makanan-makanan instan itu hanya dapat dibendung dengan pola pikir
serta kesadaran kita. Mengapa harus dibendung? Karena aneka makanan-makanan
instan tersebut telah berhasil merubah pola pikir masyarakat yang masih
mendamba pola hidup praktis serta pragmatis. Oleh karenanya, merubah pola pikir
itu amat perlu agar makanan-makanan tradisional tetap dikonsumsi oleh
masyarakat sebagai makanan khas hasil produk negeri sendiri. Sebab, diakui atau
tidak, makanan-makanan tradisional hasil produk negeri kita telah dikalahkan
oleh aneka makanan instan yang diekspor dari negara lain. Anehnya, pemerintah
kita belum mampu membendung derasnya produk-produk makanan asing yang masuk ke
negeri ini, malah terkadang negeri kita mengimpornya dari luar negeri.
Terlepas
dari itu, Yogyakarta memiliki potensi strategis untuk mengkampanyekan
makanan-makanan tradisional, sebab Daerah Istimewa ini ternyata di dalamnya
terdapat berbagai macam makanan khas hasil produk negeri sendiri.
Salah
satu ke-khas-an sebuah kota ialah berkenaan dengan hal-hal yang bernilai
tradisional atau lokal. Nampaknya, selama ini kita hanya berasumsi bahwa
nilai-nilai tradisional sebuah kota terdapat pada budaya atau kultur sosiologis
masyarakat. Namun pernahkah kita menyatakan bahwa makanan tradisional pun merupakan
bagian dari sebuah kebudayaan masyarakat, padahal ia juga adalah bentuk dari
sebuah budaya yang memiliki daya tarik tersendiri.
Salah satu alasan para wisatawan, baik domestik maupun
mancanegara, mengunjungi Yogyakarta karena faktor makanan tradisionalnya.
Seperti yang kita ketahui bersama, Yogyakarta setidaknya terdapat berbagai macam
makanan tradisional yang menegaskan ke-khas-an kota ini dan terdapat di
masing-masing lima daerah, Yogya (kota), dengan jenis makanan Rambak Cakar dam
Bakpia, Sleman ; jenis makanan Tahu Plempung, Bantul ; jenis makanan Krecek,
Kulon Progo ; jenis makanan Wingko, Pati Aci, Growol, Jenang Alot dan Slondok,
selanjutnya daerah Gunung Kidul ; jenis makanan tradisional berupa Kerupuk
Rambak dan Patilo. Kesemua makanan tradisional tersebut bisa diperoleh di
daerah istimewa Yogyakarta, terutama di kawasan pasar lokal atau tradisional.
Sedangkan makanan khas (tradisional) yang sangat populer di telinga kita ialah
Gudheg, tetapi sekali lagi bahwa makanan ini (baca : Gudheg) adalah satu dari
bermacam-macam makanan tradisional Yogyakarta.
Daya Tarik
Makanan-makanan tradisional di atas merupakan magnet bagi para
wisatwan untuk berkunjung ke Yogyakarta. Sekaligus menantang para pemburu
kuliner menggoyang lidah mereka untuk bersantap ria menikmati menu-menu makanan
tradisional yang khas dan tak kalah menggigit dibanding makanan-makan lainnya.
Bagi para pemburu kuliner nusantara, makanan-makanan tradisional adalah suguhan
wajib dicicipi sebagai bentuk kecintaan terhadap produk asli dalam negeri.
Perbedaan cita rasa pada makanan tradisional merupakan bentuk kekayaan negeri
ini yang sungguh sayang jika tidak dibudidayakan.
Salah
satu hal yang menarik di Yogyakarta adalah mengenai makanan tradsional
tersebut. Sehingga tidak sedikit para wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta
dengan alasan ingin mencicipi berbagai menu tradisional, bukan hanya karena
faktor pariwisata semata. Inilah yang menjadi daya tarik lain dari Yogyakarta
selain karena berbagai gelar yang melekat di tubuh kota ini. Tidak dapat
disangkal, makanan-makanan tradisional merupakan kekayaan lokal yang menjadi
identitas sebuah kota, pun Yogyakarta yang memiliki kekayaan tersebut, sehingga
akan menjadi daya tarik sepanjang masa selama makanan-makanan tradisional
tersebut tetap dijaga esksistensi serta keberadaannya, tinggal bagaimana upaya
kita untuk mengemas makanan itu dengan sebaik-baiknya agar masyarakat lokal
tetap tertarik untuk mengkonsumsinya.
Dikatakan baik meliputi berbagai hal, seperti kebersihan makanan, tidak
mencampuri makanan tersebut dengan bahan yang bukan bahan aslinya, dan berbagai
hal lain yang tidak merusak cita rasa asli makanan tersebut. Tampillah
sebagaimana aslinya. Untuk menjaga hal tersebut, maka diperlukan sentralisasi
atau tempat-tempat khusus diperuntukkan sebagai basis penyediaan makanan
tersebut agar terjaga dari sesuatu yang mengotorinya. Sebab, selama ini,
makanan-makanan tersebut kerap kita jumpai di tempat-tempat yang kurang terjaga
kebersihannya karena memang terpinggirkan dan dianggap kuno atau makanan
kampungan. Ironis memang, ketika makanan produk asli dalam negeri dilabelkan
dengan citra-citra reduktif oleh masyarakat negeri sendiri hanya karena
terpengaruh rasa makanan-makanan berlabel luar negeri. Ini membuktikan bahwa
kecintaan kita terhadap makanan-makanan produk asli dalam negeri kian terkikis,
sementara sesuatu yang bernilai khas sangat digemari dan dicari-cari.
Sayangnya, makanan-makanan
tradisional tersebut hanya bisa didapatkan di pasar-pasar tradisonal saja.
Pasar-pasar modern,seperti mal, supermarket, minimarket dan sebagainya masih
enggan menyediakan makanan tersebut untuk dijual. Yogyakarta yang di dalamnya
memiliki berbagai macam jenis makanan tradisional harus mampu mendeklarasikan
diri sebagai salah satu kota yang menjadi pusat makanan tradisional dengan
predikat sebagai kota kuliner tradisional.