Wednesday, 24 October 2012

Menggagas Jogja Sebagai Kota Kuliner Tradisional


              Serbuan produk-produk makanan instan di zaman modern tidak dapat terhindarkan. Berbagai bentuk makanan instan tersebut tidak saja menyerbu di ruang-ruang perbelanjaan seperti pasar, tetapi juga telah merambah ke dalam kehidupan masyarakat. Parahnya, kita telah terjerumus menjadi masyarakat yang konsumtif terhadap berbagai macam ragam makanan-makanan instan yang bisa didapatkan di mana-mana itu.
        Menghadapi serbuan makanan-makanan instan itu hanya dapat dibendung dengan pola pikir serta kesadaran kita. Mengapa harus dibendung? Karena aneka makanan-makanan instan tersebut telah berhasil merubah pola pikir masyarakat yang masih mendamba pola hidup praktis serta pragmatis. Oleh karenanya, merubah pola pikir itu amat perlu agar makanan-makanan tradisional tetap dikonsumsi oleh masyarakat sebagai makanan khas hasil produk negeri sendiri. Sebab, diakui atau tidak, makanan-makanan tradisional hasil produk negeri kita telah dikalahkan oleh aneka makanan instan yang diekspor dari negara lain. Anehnya, pemerintah kita belum mampu membendung derasnya produk-produk makanan asing yang masuk ke negeri ini, malah terkadang negeri kita mengimpornya dari luar negeri.
        Terlepas dari itu, Yogyakarta memiliki potensi strategis untuk mengkampanyekan makanan-makanan tradisional, sebab Daerah Istimewa ini ternyata di dalamnya terdapat berbagai macam makanan khas hasil produk negeri sendiri.
            Salah satu ke-khas-an sebuah kota ialah berkenaan dengan hal-hal yang bernilai tradisional atau lokal. Nampaknya, selama ini kita hanya berasumsi bahwa nilai-nilai tradisional sebuah kota terdapat pada budaya atau kultur sosiologis masyarakat. Namun pernahkah kita menyatakan bahwa makanan tradisional pun merupakan bagian dari sebuah kebudayaan masyarakat, padahal ia juga adalah bentuk dari sebuah budaya yang memiliki daya tarik tersendiri.
Salah satu alasan para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, mengunjungi Yogyakarta karena faktor makanan tradisionalnya. Seperti yang kita ketahui bersama, Yogyakarta setidaknya terdapat berbagai macam makanan tradisional yang menegaskan ke-khas-an kota ini dan terdapat di masing-masing lima daerah, Yogya (kota), dengan jenis makanan Rambak Cakar dam Bakpia, Sleman ; jenis makanan Tahu Plempung, Bantul ; jenis makanan Krecek, Kulon Progo ; jenis makanan Wingko, Pati Aci, Growol, Jenang Alot dan Slondok, selanjutnya daerah Gunung Kidul ; jenis makanan tradisional berupa Kerupuk Rambak dan Patilo. Kesemua makanan tradisional tersebut bisa diperoleh di daerah istimewa Yogyakarta, terutama di kawasan pasar lokal atau tradisional. Sedangkan makanan khas (tradisional) yang sangat populer di telinga kita ialah Gudheg, tetapi sekali lagi bahwa makanan ini (baca : Gudheg) adalah satu dari bermacam-macam makanan tradisional Yogyakarta.
Daya Tarik
            Makanan-makanan tradisional di atas merupakan magnet bagi  para wisatwan  untuk berkunjung ke Yogyakarta. Sekaligus menantang para pemburu kuliner menggoyang lidah mereka untuk bersantap ria menikmati menu-menu makanan tradisional yang khas dan tak kalah menggigit dibanding makanan-makan lainnya. Bagi para pemburu kuliner nusantara, makanan-makanan tradisional adalah suguhan wajib dicicipi sebagai bentuk kecintaan terhadap produk asli dalam negeri. Perbedaan cita rasa pada makanan tradisional merupakan bentuk kekayaan negeri ini yang sungguh sayang jika tidak dibudidayakan.
            Salah satu hal yang menarik di Yogyakarta adalah mengenai makanan tradsional tersebut. Sehingga tidak sedikit para wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta dengan alasan ingin mencicipi berbagai menu tradisional, bukan hanya karena faktor pariwisata semata. Inilah yang menjadi daya tarik lain dari Yogyakarta selain karena berbagai gelar yang melekat di tubuh kota ini. Tidak dapat disangkal, makanan-makanan tradisional merupakan kekayaan lokal yang menjadi identitas sebuah kota, pun Yogyakarta yang memiliki kekayaan tersebut, sehingga akan menjadi daya tarik sepanjang masa selama makanan-makanan tradisional tersebut tetap dijaga esksistensi serta keberadaannya, tinggal bagaimana upaya kita untuk mengemas makanan itu dengan sebaik-baiknya agar masyarakat lokal tetap tertarik untuk mengkonsumsinya.
            Dikatakan baik meliputi berbagai hal, seperti kebersihan makanan, tidak mencampuri makanan tersebut dengan bahan yang bukan bahan aslinya, dan berbagai hal lain yang tidak merusak cita rasa asli makanan tersebut. Tampillah sebagaimana aslinya. Untuk menjaga hal tersebut, maka diperlukan sentralisasi atau tempat-tempat khusus diperuntukkan sebagai basis penyediaan makanan tersebut agar terjaga dari sesuatu yang mengotorinya. Sebab, selama ini, makanan-makanan tersebut kerap kita jumpai di tempat-tempat yang kurang terjaga kebersihannya karena memang terpinggirkan dan dianggap kuno atau makanan kampungan. Ironis memang, ketika makanan produk asli dalam negeri dilabelkan dengan citra-citra reduktif oleh masyarakat negeri sendiri hanya karena terpengaruh rasa makanan-makanan berlabel luar negeri. Ini membuktikan bahwa kecintaan kita terhadap makanan-makanan produk asli dalam negeri kian terkikis, sementara sesuatu yang bernilai khas sangat digemari dan dicari-cari.
        Sayangnya, makanan-makanan tradisional tersebut hanya bisa didapatkan di pasar-pasar tradisonal saja. Pasar-pasar modern,seperti mal, supermarket, minimarket dan sebagainya masih enggan menyediakan makanan tersebut untuk dijual. Yogyakarta yang di dalamnya memiliki berbagai macam jenis makanan tradisional harus mampu mendeklarasikan diri sebagai salah satu kota yang menjadi pusat makanan tradisional dengan predikat sebagai kota kuliner tradisional.
Disqus Comments