Kasus kekerasan antar pelajar di negeri ini ibarat sebuah ancaman terorisme, bisa terjadi kapan saja dan tak dapat ditebak. Kekerasan antar pelajar ibarat teror maut yang terus mengancam para pelajar sehingga dapat membuat proses untuk memenuhi kewajiban belajar terhambat, dan pelajar jadi merasa tidak tenang dalam memenuhi kewajiban tersebut.
Dari beberapa data, selama dua tahun terakhir tercatat sedikitnya 13 nyawa melayang sia-sia dalam sedikitnya 350 kasus atau peristiwa tawuran antar pelajar yang telah terjadi. Mirisnya, tawuran justru terjadi di hadapan publik dan bukan di tempat-tempat yang tersembunyi. Hal ini setidaknya menguak suatu kesimpulan bahwa praktek kekerasan antar pelajar bukan lagi suatu aktivitas yang rahasia, tetapi justru berubah menjadi sebuah budaya pop yang familiar di kalangan pelajar kita.
Kasus tawuran antar pelajar adalah sebuah anomali yang menghiasi dunia pendidikan di negeri ini. Kekerasan yang kerap terjadi ini seakan ingin menyibak sebuah kegagalan nyata pendidikan kita yang selama ini tidak terdeteksi serta diketahui oleh masyarakat kebanyakan, sebab, selama ini masyarakat hanya tahu tentang problem besarnya biaya pendidikan, sulitnya menyekolahkan anak-anaknya, dan serta anggapan yang menyatakan bahwa sekolah tidak lagi menjadi sebuah aktivitas yang penting karena membebankan orang tua.
Diakui ataupun tidak, anggapan negatif masyarakat tersebut lambat laun tapi pasti akan semakin buruk, dan pendidikan akhirnya tidak mendapatkan tempat di hati masyarakat, meskipun pada dasarnya masyarakat sadar bahwa pendidikan merupakan aspek yang sangat penting untuk mendidik anak-anaknya. Maka jangan heran, sebagian masyarakat justru memilih metode homeschooling dalam upaya memeberikan pendidikan kepada anak-anaknya, ketimbang menyekolahkan mereka ke berbagai lembaga pendidikan formal yang penuh dengan ancaman itu. Dan ancaman ini terkesan sangat horor, sebab nyawa dijadikan sebagai taruhan untuk menyongsong maut, seperti kasus terakhir tawuran di Jakarta yang masih hangat dalam pikiran kita.
Seakan telah membudaya, aksi tawuran antar pelajar bukanlah sebuah fenomena baru, tapi merupakan persoalan klasik yang terus terulang. Tawuran adalah budaya premanisme dan tindakan kaum penjahat, dan mental premanisme itu justru masuk dan merasuk ke dalam diri pelajar yang masih aktif. Siapa pihak yang patut dipersalahkan? Menurut hemat penulis, kita tidak perlu mencari-cari siapa yang bersalah dan siapa yang harus dipersalahkan. Kita hanya perlu bersepakat, semua kalangan, pemerintah, masyarakat, orang tua, guru, bahkan diri siswa itu sendiri bahwa kekerasan adalah sebuah kejahatan yang harus dibuang jauh-jauh dari kehidupan ini. Dengan kesepakatan itu diharapkan semua pihak bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan terhadap para pelajar tanpa harus menunggu perintah dari pihak-pihak tertentu. Sikap anti kekerasan tersebut dijadikan ibarat insting yang ada di diri setiap orang dengan cara menggugah kesadaran masing-masing individu.
Mencari-cari kesalahan dan memberikan teguran dalam bentuk hukumpun bukanlah suatu jaminan jangka panjang bahwa kekerasan (tawuran) akan lenyap dari bumi ini. Oleh karena itu, media memiliki peran yang sangat sentral dalam upaya memberikan edukasi secara terbuka ke hadapan publik, sebab, media merupakan alat komunikasi yang paling dekat dengan masyarakat.
Selain itu, dalam proses belajar dan mengajar di sekolah, peran guru juga sangat menentukan. Sebab, gurulah yang berhadapn secara langsung dengan para pelajar setelah orang tua. Artinya, orang tua dan guru sama-sama memiliki tugas yang sangat menentukan dalam mencetak kepribadian pelajar agar menjadi sosok siswa yang berpendidikan dan berpengetahuan, sementara masyarakat luas dan pemerintah berada di pihak sebagai pengontrol, pengawas, serta pendukung dalam proses pendidikan kaum pelajar, dan bukan malah justru menjadi penonton belaka.
Pendidikan anti tawuran hanyalah suatu bentuk proses penyadaran terhadap pelajar agar menjauhi tindakan kekerasan. Gagasan memberikan penyadaran ini menjadi sangat penting, sebab, tawuran yang terjadi pada pelajar merupakan sikap yang muncul dari individu itu sendiri karena faktor-faktor eksternal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang tertanam di dalam diri pelajar, seperti gesekan-gesekan yang beraroma provokatif dan sensitif. Karena secara psikologis, ketika seseorang melakukan suatu tindakan negatif, misalnya kekerasan, seseorang sedang hilang kesadarannya karena tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Nah, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengingatkan para pelajar agar menghindari tindakan kekerasan ialah dengan memberikan suatu penyadaran, baik bersifat kognitif, afektif, maupun psikomotorik.