Thursday, 25 October 2012

Memberantas Gizi Buruk (Refleksi Hari Gizi)

Dari tahun ke tahun, kasus gizi buruk masih saja menjadi satu persoalan serius terjadi di negeri ini. Bahkan, anemia gizi tidak lagi hanya menerpa balita atau anak-anak, tetapi melingkupi semua kelompok usia. Berbagai upaya pemerintah nampaknya masih jauh dari harapan dalam memberantas anemia gizi atau gizi buruk. Dan untuk itulah, peran aktif masyarakat dalam upaya memberantas anemia gizi sangat diperlukan, sebab masyarakat sendirilah yang kerap menjadi korban oleh beberapa persoalan mendasar. Meskipun beberapa tahun belakangan pemerintah mengklaim bahwa gizi buruk mengalami penurunan drastis, terutama setelah tahun 2005 silam. Di mana pasca tahun 2005 petugas menemukan jumlah 19.567 penderita gizi buruk yang tahun sebelumnya mencapai hingga 76.176 kasus. Sedangkan jumlah anak yang meninggal dunia akibat gizi buruk juga mengalami penurunan di tahun yang sama menjadi 193 dari 293 jiwa. Namun begitu, bukan berarti kasus gizi buruk di negeri ini telah tuntas. 
Tampaknya, kemiskinan adalah indikator utama penyebab gzizi buruk di masyarakat. Mengkampanyekan hidup sehat mendesak digalakkan, karena dampak gizi buruk terutama terhadap balita atau anak-anak akan memupuskan harapan akan kehadiran generasi penerus bangsa ini. Anak merupakan generasi penerus arah masa depan bangsa, jika terus-terusan berkutat pada persoalan mendasar gizi buruk, maka dipastikan akan sangat memprihatinkan kita semua.  
Selain itu, ibu-ibu hamil harus memperhatikan gizi. Asupan gizi yang tidak berkualitas akan berdampak “sistemik” pada anak nanti setelah lahir. Pertumbuhan serta perkembangan anak akan terganggu jika gizi tidak mendapatkan perhatian secara intensif. 
Faktor Penyebab
Ada dua faktor utama penyebab gizi buruk di masyarakat. Pertama, adalah faktor kemiskinan. Catatan penulis terdapat setidaknya saat ini sekitar 35 juta rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan dan sembilan juta orang tak memiliki pekerjaan alias menganggur. Kemiskinan mengakibatkan pola konsumsi makanan masyarakat menjadi tidak teratur, kebersihan makanan dikesampingkan. Akibat lebih jauh mencakup pada persoalan harga makanan, terutama makanan-makanan pokok (sembako) yang semakin meningkat tajam, hal ini disebabkan negeri ini terjebak pada impor segala bentuk pangan-an. Tercatat tiap tahun Indonesia harus mengeluarkan devisa 50 triliun untuk membeli enam komoditas pangan dari negara-negara asing, seperti gandum, kedelai, susu, gula dan daging sapi. Bahkan, garam dan beras pun masih dipaksakan meng-impor dari luar negeri. Hal ini berujung pada daya beli masyarakat semakin menurun karena terbendung oleh tingginya harga makanan tersebut. 
Adapun faktor kedua ialah lemahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi. Jajan di sembarang tempat menjadi fenomena umum. Pola makan teratur memang masih sulit dipraktekkan sebagai dampak dari keterbelakangan masyarakat kita. 
Upaya preventif dan kuratif
WHO merekomendasikan agar minimal anggaran negara disisihkan 5 persen lebih untuk bidang kesehatan. Artinya, bahwa perhatian intensif terhadap gizi tidak boleh dipandang sebelah mata oleh pemerintah, dalam hal ini departemen kesehatan yang bekerjasama dengan masyarakat melalui berbagai cara yang efektif. Langkah-langkah preventif harus terus dikampanyekan, misalnya, melakukan penelitian gizi, pendidikan gizi, pemberdayaan gizi dalam bidang gizi, memanajemen program gizi di tengah-tengah masyarakat dan upaya-upaya kreatif lainnya. 
Selain itu, menyediakan akses informasi serta dokumentasi merupakan upaya alternatif dan cukup efektif. Informasi dan dokumentasi tersebut disosialisasikan kepada masyarakat secara menyeluruh dan terbuka melalui layanan-layan umum yang tersedia, seperti puskesmas, rumah sakit, balai desa, rumah singgah, dan tempat-tempat terbuka lainnya sehingga mudah diakses masyarakat. 
Persoalan pemberantasan gizi sesungguhnya mutlak melibatkan berbagai pihak-pihak yang terkait di seluruh daerah. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, LSM, berbagai elemen masyarakat, hingga masyarakt itu sendiri. Pemerintah dapat melakukan upaya-upaya berbentuk regulasi atau kebijakan kongkrit untuk menangi kasus gizi buruk tersebut yang kemudia bahu membahu bersama berbagai pihak terjun ke lapangan dalam rangka menerapkan kebijakan tersebut agar tidak hanya menjadi wacana kosong yang krisis implementasi. Karena upaya ini selain berbentuk preventif, tapi juga upaya kuratif sebab penderita gizi buruk sudah terlanjur ada dan objeknya jelas. Selamatkan Indonesia dari gizi buruk!
Disqus Comments