Berakhir sudah perjalanan proses hukum Gayus sang mafia pajak. Ia divonis ringan hanya tujuh tahun penjara. Padahal, proses kasus Gayus selama ini sangat menyita perhatian publik, dan hampir seluruh masyarakat Indonesia menilai Gayus adalah orang yang bersalah secara hukum karena telah melakukan berbagai pelanggaran, seperti pengemplangan pajak, menyuap, memalsukan paspor, membohongi publik, serta berbelit-belit dalam persidangan.
Semua orang tentu tidak ingin dihukum, apalagi jika harus mendekam di balik jeruji selama beberapa tahun. Tapi, kesadaran hukum mesti tertanam kuat di dalam diri sebagai bentuk tanggung jawab kita terhadap kesalahan yang telah diperbuat. Bukankah Indonesia adalah negara hukum?
Disadari atau tidak, vonis ringan yang dijatuhkan kepada Gayus telah dengan sangat merenggut rasa keadilan rakyat. Dalam asumsi kolektif masyarakat negeri ini, Gayus adalah orang yang telah melanggar hukum, bukan saja hanya merugikan negara, tapi juga merugikan masyarakat yang notabene ikut berpartisipasi dalam membangun bangsa ini. Vonis yang dijatuhkan kepada Gayus benar-benar jauh dari prediksi masyarakat negeri ini, dan tentu kita, setidaknya penulis merasa tersentak saat mendengarkan vonis yang begitu ringan untuk seorang mafia kelas kakap.
Terlepas adanya upaya politisasi terhadap kasus Gayus, masyarakat tentu saja tak mau tahu. Sebab, Gayus jelas-jelas telah dinyatakan bersalah dengan tingkat pelanggaran hukum yang tidak ringan, dan harusnya tidak ada tolerir. Bukan karena kita egois, sentimen maupun dendam, tapi hukum mesti tegas serta tak pandang bulu, karena hal itulah yang akan memberikan kesadaran hukum bagi seluruh elemen bangsa ini. Pertanyaan reflektifnya, inilah wajah negara hukum dalam perspektif Indonesia?
Membaca serta menilai alasan vonis ringan terhadap Gayus membuat kita sadar akan jenis kelamin hukum di Indonesia. Yaitu hukum yang penuh toleransi, bukan ketegasan sikap sesuai dengan aturan hukum yang telah dirumuskan dan menjadi konsesus bersama.
Jika dikatakan bahwa hukum mesti memperhatikan aspek kemanusiaan tentu kita bersetuju. Sebab, sekilas jika dilihat dengan cermat alasan yang meringankan vonis hukum terhadap Gayus adalah manusiawi. Setidaknya, terdapat beberapa alasan yang bisa dibilang cukup manusiawi terkait keringan yang diperoleh Gayus, yakni karena Gayus masih muda, belum pernah dihukum, ia memiliki anak-anak yang masih perlu dibimbing, dan karena Gayus berterus-terang dalam proses penyidikan. Namun, dalam perspektif lain, adalah konsekuensi logis jika suatu pelanggaran berat terhadap hukum juga mesti dihadapi dengan hukuman yang berat pula sesuai dengan tingkat kesalahan atau pelanggarannya. Dan tingkat pelanggaran Gayus dapat dibilang berat karena telah merugikan rakyat dan negara ini dalam jumlah besar.
Dalam pada itu, pembatalan vonis awal penjara selama 20 tahun kepada Gayus menjadi hanya tujuh tahun mengindikasikan betapa Gayus sangat kebal terhadap hukum. Jika dianalogikan dalam pertandingan sepakbola, Gayus adalahman of the macth karena menjadi pemainnya penting dalam permainan hukum sehingga berhasil mengalahkan serta mematahkan vonis awal yang diusulka atas kesalahan serta pelanggaran yang ia perbuat. Oleh karena kejeniusannya dalam mencari celah hukum tersebut Gayus menjadi orang yang cukup fenomenal dalam beberapa bulan terakhir. Bahkan, Gayus adalah mafia hukum atau koruptor yang telah berhasil menaklukkan hukum di salah satu negara terkorup di dunia, yaitu Indonesia.
Mungkin, di negeri ini, hukum adalah sebuah komoditas yang kapan saja bisa diperjual-belikan. Hukuman bisa dinegosiasi asal ada uang. Jadi, masalahnya bukan pada politisasi atau tidaknya dalam kasus Gayus ini, tapi permainan uang serta demi mempertahankan jabatan atau kekuasaan. Hukum itu permainan orang elit dan mereka yang memegang struktur kekuasaan. Hukum secara aplikatif untuk mengurus negara dan kehidupan masyarakat, bukan untuk mereka yang berada di dalam lingkaran kekuasaan. Tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Ironis!
Vonis Gayus adalah cerminan nyata bahwa kita bukanlah sebuah negara yang menganut hukum berlandaskan ketegasan serta keadilan. Tapi, sebuah negara yang menganut hukum hanya semata-mata prosedural dan formalitas belaka. Vonis hukuman terhadap Gayus Tambunan merupakan contoh kongkret dari praktek pelaksanaan hukum yang hanya bersifat prosedural-formal itu, meski harus mengoyak-oyak rasa keadilan masyarakat, yang penting hukum terlaksana dan berat-ringannya sebuah hukuman urusan belakangan. Klasifikasi berat dan ringan sebuah hukuman hanya tertulis di dalam kitab suci undang-undang, tak pernah diotak-atik karena berbahaya untuk kesehatan hukum atau hukum yang sehat.