Wednesday, 24 October 2012

Mencari Kampus Ideal


Setiap orang memiliki konsep kampus ideal sesuai dengan standar  masing-masing. Konsep kampus ideal itulah yang kemudian menghantarkan seorang calon mahasiswa beranjak dari rumah menuju kampus yang telah ia klaim sebagai tempat kuliah paling ideal bagi diri serta kemampuannya.
Sejak awal sebelum memutuskan kuliah, seorang calon mahasiswa acap kali disuguhkan dengan pilihan-pilihan dari ratusan, bahkan ribuan perguruan tinggi yang ditawarkan kepadanya. Bingung, tentu saja. Sebab, di negeri ini perguruan tinggi bertebaran di mana-mana, bahkan dengan atribut-atribut yang seakan menjanjikan kesuksesan di masa mendatang. Jadi jangan heran jika banyak perguruan tinggi malah justru berlomba-lomba mencari mahasiswa.
Melihat fakta itu, maka sejak awal calon mahasiswa memang harus memiliki konsep ideal tentang sebuah perguruan tinggi atau kampus. Hal ini dimaksudkan agar nanti tidak salah dalam memilih perguruan tinggi. Salah dalam arti tidak sesuai dengan orientasi kedirian seorang calon mahasiswa apakah tujuan kuliahnya untuk menumbuhkan aspek kognitif (kesadaran) atau menumbuhkan ketrampilan (life skill). Karena dari sekian ribuan perguruan tinggi atau kempus  yang tersedia, jenis kelaminnya ada dua, pertama, murni mendalami pemikiran atau kajian-kajian keilmuan teoritis, dan kedua bersifat praksis, yakni mencetak para praktisi. Meskipun ada pula perguruan tinggi atau kampus yang sekaligus memiliki dua spesifikasi tersebut, namun jarang dan mungkin hanya dimiliki perguruan tinggi yang bonafide serta telah memiliki citra kampus tenama saja.
Terlepas dari hal itu, ada juga sebagian lain yang tidak harus memiliki konsep ideal mengenai perguruan tinggi atau kampus. Mereka menanamkan satu kesadaran yang tidak berfokus pada jenis kelamin suatu perguruan tinggi, yang penting bisa serta mampu kuliah itu saja sudah cukup. Sehingga mereka tidak terkecoh oleh nama serta citra suatu perguruan tinggi, dan yang terpenting bagi mereka ialah mampu mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, soal orientasi itu urusan belakangan sebab studi merupakan sebuah proses untuk menemukan jati diri serta membuktikan kemampuan. Intinya terletak pada kualitas diri seorang individu. Dan jangan heran jika kebanyakan dari masyarakat kita lebih memilih perguruan tinggi yang terjangkau, terutama dari segi pembiayaan. Kuliah, bagi mereka bukanlah semata-mata untuk memperoleh pekerjaan, tetapi suatu upaya pematangan diri dalam  proses pendidikan. Namun pertanyaannya, benarkah kesadaran semacam itu masih berlaku saat ini?
Paradigma masyarakat kita saat ini masih didominasi oleh suatu pemahaman bahwa kuliah adalah suatu jalan pintas untuk memperoleh pekerjaan. Pemahaman ini diakibatkan oleh persaingan pemenuhan kebutuhan hidup secara material terhampar luas di hadapan kita, sehingga paradigma masyarakat mengikuti arus itu serta orientasi suatu pendidikan pun mulai bergeser. Akibat lebih jauh pergeseran tersebut membuat orientasi serta tujuan pendidikan semata hanya demi sebuah eksistensi diri. Jika paradigma semacam ini terus berkembang, bahayanya ialah kita akan semakin jauh dari orang lain karena lupa akan tugas kita sebagai makhluk sosial. Dan bahaya lebih jauh ialah seorang individu akan lupa bahwa dirinya adalah juga makhluk Tuhan. Nilai-nilai sosial dan norma-norma etika serta moral terhempas oleh kebutuhan akan eksistensi diri yang terus berpacu dalam persaingan antar individu. Dan dominasi pemahaman seperti inilah yang membuat wacana pendidikan karakter itu tidak berjalan sesuai gagasan. Artinya, perkembangan pemahaman serta paradigma masyarakat juga sangat menentukan pola atau model penyajian pendidikan, dan yang pasti bahwa pendidikan tidak lain ialah sebagai upaya menumbuhkan kesadaran kritis serta proses humanisasi. Di sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa setiap individu berhak memiliki konsep pendidikan (kampus) ideal agar tidak bertolak-belakang dari kemampuan dasar serta potensi diri yang memang telah dibawa sejak lahir. Dan adapun pendidikan, nantinya sebagai upaya untuk  mempertegas kemampuan serta potensi diri individu itu, dengan catatan setiap individu, bahkan masyarakat harus kembali menyadari akan tujuan pendidikan yang sesungguhnya agar tidak terjebak pada pola pikir yang pragmatistik serta mengabaikan proses pendidikan. Karena bukan hasil yang menjadi ukuran kesuksesan, tetapi kesetiaan pada proseslah yang menjadi ukurannya, bahkan hasilpun terkadang bisa dimanipulasi. Banyak orang yang dikatakan berhasil, tetapi tidak memiliki kematangan diri, atau bahkan tidak memiliki karakter diri karena ingkar terhadap proses.


Disqus Comments