Setiap orang memiliki
konsep kampus ideal sesuai dengan standar
masing-masing. Konsep kampus ideal itulah yang kemudian menghantarkan
seorang calon mahasiswa beranjak dari rumah menuju kampus yang telah ia klaim
sebagai tempat kuliah paling ideal bagi diri serta kemampuannya.
Sejak awal sebelum
memutuskan kuliah, seorang calon mahasiswa acap kali disuguhkan dengan
pilihan-pilihan dari ratusan, bahkan ribuan perguruan tinggi yang ditawarkan
kepadanya. Bingung, tentu saja. Sebab, di negeri ini perguruan tinggi
bertebaran di mana-mana, bahkan dengan atribut-atribut yang seakan menjanjikan
kesuksesan di masa mendatang. Jadi jangan heran jika banyak perguruan tinggi
malah justru berlomba-lomba mencari mahasiswa.
Melihat fakta itu,
maka sejak awal calon mahasiswa memang harus memiliki konsep ideal tentang
sebuah perguruan tinggi atau kampus. Hal ini dimaksudkan agar nanti tidak salah
dalam memilih perguruan tinggi. Salah dalam arti tidak sesuai dengan orientasi
kedirian seorang calon mahasiswa apakah tujuan kuliahnya untuk menumbuhkan
aspek kognitif (kesadaran) atau menumbuhkan ketrampilan (life skill).
Karena dari sekian ribuan perguruan tinggi atau kempus yang tersedia, jenis kelaminnya ada dua,
pertama, murni mendalami pemikiran atau kajian-kajian keilmuan teoritis, dan
kedua bersifat praksis, yakni mencetak para praktisi. Meskipun ada pula
perguruan tinggi atau kampus yang sekaligus memiliki dua spesifikasi tersebut,
namun jarang dan mungkin hanya dimiliki perguruan tinggi yang bonafide serta
telah memiliki citra kampus tenama saja.
Terlepas dari hal itu,
ada juga sebagian lain yang tidak harus memiliki konsep ideal mengenai
perguruan tinggi atau kampus. Mereka menanamkan satu kesadaran yang tidak
berfokus pada jenis kelamin suatu perguruan tinggi, yang penting bisa serta
mampu kuliah itu saja sudah cukup. Sehingga mereka tidak terkecoh oleh nama
serta citra suatu perguruan tinggi, dan yang terpenting bagi mereka ialah mampu
mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, soal orientasi itu urusan belakangan
sebab studi merupakan sebuah proses untuk menemukan jati diri serta membuktikan
kemampuan. Intinya terletak pada kualitas diri seorang individu. Dan jangan
heran jika kebanyakan dari masyarakat kita lebih memilih perguruan tinggi yang
terjangkau, terutama dari segi pembiayaan. Kuliah, bagi mereka bukanlah
semata-mata untuk memperoleh pekerjaan, tetapi suatu upaya pematangan diri
dalam proses pendidikan. Namun
pertanyaannya, benarkah kesadaran semacam itu masih berlaku saat ini?
Paradigma masyarakat
kita saat ini masih didominasi oleh suatu pemahaman bahwa kuliah adalah suatu
jalan pintas untuk memperoleh pekerjaan. Pemahaman ini diakibatkan oleh
persaingan pemenuhan kebutuhan hidup secara material terhampar luas di hadapan
kita, sehingga paradigma masyarakat mengikuti arus itu serta orientasi suatu
pendidikan pun mulai bergeser. Akibat lebih jauh pergeseran tersebut membuat
orientasi serta tujuan pendidikan semata hanya demi sebuah eksistensi diri.
Jika paradigma semacam ini terus berkembang, bahayanya ialah kita akan semakin
jauh dari orang lain karena lupa akan tugas kita sebagai makhluk sosial. Dan
bahaya lebih jauh ialah seorang individu akan lupa bahwa dirinya adalah juga
makhluk Tuhan. Nilai-nilai sosial dan norma-norma etika serta moral terhempas
oleh kebutuhan akan eksistensi diri yang terus berpacu dalam persaingan antar
individu. Dan dominasi pemahaman seperti inilah yang membuat wacana pendidikan
karakter itu tidak berjalan sesuai gagasan. Artinya, perkembangan pemahaman
serta paradigma masyarakat juga sangat menentukan pola atau model penyajian
pendidikan, dan yang pasti bahwa pendidikan tidak lain ialah sebagai upaya
menumbuhkan kesadaran kritis serta proses humanisasi. Di sini dapat ditarik
suatu kesimpulan bahwa setiap individu berhak memiliki konsep pendidikan
(kampus) ideal agar tidak bertolak-belakang dari kemampuan dasar serta potensi
diri yang memang telah dibawa sejak lahir. Dan adapun pendidikan, nantinya
sebagai upaya untuk mempertegas kemampuan
serta potensi diri individu itu, dengan catatan setiap individu, bahkan
masyarakat harus kembali menyadari akan tujuan pendidikan yang sesungguhnya
agar tidak terjebak pada pola pikir yang pragmatistik serta mengabaikan proses
pendidikan. Karena bukan hasil yang menjadi ukuran kesuksesan, tetapi kesetiaan
pada proseslah yang menjadi ukurannya, bahkan hasilpun terkadang bisa
dimanipulasi. Banyak orang yang dikatakan berhasil, tetapi tidak memiliki
kematangan diri, atau bahkan tidak memiliki karakter diri karena ingkar
terhadap proses.