Wednesday, 24 October 2012

KEK dan Nasib Petani Kulonprogo


Sampai saat tanah moyangku
Tersentuh sebuah rencana
Dari serakahnya kota
Terlihat murung wajah pribumi
Terdengar langkah hewan bernyanyi…. (Iwan Fals)

            Penggalan lirik lagu Iwan Fals ini mengingatkan kita pada rencana pemerintah DIY yang akan melakukan penambangan pasir besi di pesisir pantai Kulonprogo. Meski menuai kritik dari berbagai pihak sejak awal tahun 2008 silam,  hingga kini, keinginan pemerintah untuk tetap melanjutkan proyek pasir besi di sebelah selatan kota Yogyakarta semakin ambisius.
            Beberapa tahun lalu, Yogyakarta dinobatkan sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) karena berbagai pertimbangan mendasar. Pertama, karena kota gudheg ini memiliki keunggulan ekonomi yang cukup potensial mengingat usaha-usaha mikro produk Yogyakarta saat ini sedang bersaing di perdagangan internasional. Terbukti di tengah-tengah pro kontra mengenai ACFTA (China-Free Trade Agreement) kota pendidikan ini justru meraup keuntungan cukup besar hasil ekspor komoditas mebel, tekstil, serta minyak atsiri ke negeri tirai bambu, China.
Pada awalnya rencana penambangan pasir besi di Kulonprogo ini dalam pilihan dilematis seiring perlawanan masyarakat petani setempat, kini suara para petani tersebut tampak tak akan digubris oleh pemerintah. Label Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang disandang Yogyakarta seakan menjadi beban moral bila di hari-hari mendatang fakta malah justru menunjukan ketertinggalan dalam bidang perekonomian. KEK secara otomatis telah menjadi legitimasi kuat bagi pemerintah untuk mengeruk serta mengeksploitasi potensi-potensi perekonomian di eks Ibu Kota Indonesia ini, meski harus menerabas barisan hadangan masyarakat setempat atau petani Kulonprogo.
            Alasan kedua ialah berkenaan dengan keberadaan Yogyakarta yang dipromosikan sebagai kota pariwisata. Selain itu, Yogyakarta juga dikenal sebagai kota budaya yang masih cukup kental nuansa kebudayaan Jawa (kejawen) di tengah-tengah kehidupan masyarakat, dipertegas lagi oleh keberadaan kraton Yogyakarta.
            Terlepas dari hal itu, predikat KEK dalam perspektif ini tampaknya bisa dikatakan tepat dilamatkan kepada Yogyakarta. Tepat dalam artian bahwa pengembangan potensi yang dapat dijadikan basis perekonomian harus melibatkan masyarakat dalam rangka menekan kemiskinan yang telah menjadi penyakit kronis di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat.  Meski bukti riil pertumbuhan ekonomi di kota yang dipimpin oleh Sultan ini belum menunjukkan hasil optimal dan memuaskan, tapi justru ini menjadi motivasi kuat bagi pemerintah untuk tetap bersikukuh melaksanakan program penambangan pasir besi di kawasan selatan Yogyakarta. Tapi, kita belum sepenuhnya yakin pemerintah mau melaksanakan harapan-harapan tersebut, sebab, ketergantungan pemerintah terhadap korporasi-korporasi asing telah mengakar. Kuota 49 persen kepemilikan asing di dalam seluruh korporasi yang menjalankan proyek di negeri ini masih terlalu besar angkanya sedangkan 51 persen yang tersisa masuk ke kas negara (pemerintah), lantas di mana porsi untuk masyarakat? Dan masyarakat tak lebih hanyalah akan menjadi buruh korporasi tersebut untuk mereguk keuntungan dari proyek tersebut, sementara pihak yang meraup keuntungan lebih besar ialah investor, pemilik, serta pemerintah.
Persoalan Lingkungan
            Korporasi asing dalam hal profit atau penghasilan tak pernah sedikitpun menguntungkan masyarakat. Andaipun pihak pemerintah yang menjanjikan keuntungan bagi masyarakat, itu tak lebih hanyalah klaim serta janji palsu untuk memuluskan kedigdayaan kekuasaannya. Kedigdayaan dalam arti menggunakan legitimasi kekuasaan untuk menyengsarakan masyarakat atas kepemilikan terhadap lahan pertanian yang selama ini merupakan basis atau tumpuan perekonomian masyarakat (petani).
            Itu baru dalam konteks ekonomi. Lebih jauh, kerusakan lingkungan adalah dampak lain yang dilahirkan oleh pertambangan-pertambangan raksasa di tanah air. Namun fakta selama ini, keursakan-kerusakan lingkungan selalu saja menyalahkan masyarakat, entah karena alasan membuang sampah sembarangan, pembalakan liar, dan sebagainya.
            Dipastikan sekitar 1.009,30 hektare sawah di sekitar kawasan Kulonprogo, kecamaan Wates, Galur dan Panjatan, akan terganggu produktifitas pertaniannya bila proyek penambangan pasir besi dioperasikan (Kompas, 12/03/10). Selain pertanian terganggu, dampak negatif penambangan pasir terhadap lingkungan otomatis tak terhindarkan. Begitupun dengan kondisi kehidupan sosial masyarakat pasti akan terganggu. Padahal, selama ini pertanian sudah menjadi pendapatan utama bagi kehidupan perekonomian masyarakat setempat.
            Analisis dampak lingkungan (amdal) pun masih tak dapat kita percaya sepenuhnya karena lebih condong mendukung pemerintah dengan suguhan data-data yang agak sedikit direkayasa, meski rencana penambangan hanya sedalam maksimal enam meter. Walaupun hanya sedalam itu, namun bila penambangan dilakukan bertahun-tahun maka kedalaman otomatis bertambah, akibat lebih jauh, masyarakat atau petani dipastikan kehilangan tanah pertaniannya.
Jaminan Kesejahteraan
            Alam sebenarnya memang diciptakan untuk kehidupan manusia. Persoalannya terletak pada kerakusan manusia di dalam mengelola alam tersebut semata-mata untuk kebutuhan hidup secara berlebihan serta tanpa batas. Bukan saja alam yang dirugikan, tapi masyarakat yang telah lama memanfaatkan potensi alam untuk kehidupan sehari-harinya dengan cara-cara tradisional dan alami justru dipersalahkan.
            Penggunaan alat-alat canggih di jaman modern sebagai upaya optimalisasi hasil pemanfaatan potensi alam di satu sisi memang sangat dibutuhkan. Namun di sisi lain, juga sangat merugikan, terutama masyarakat atau para petani. Fakta selama ini justru berdampak lebih parah. Penggunaan alat-alat canggih di samping merugikan petani karena kehilangan lahan pertanian, tapi juga merusak lingkungan. Kota memang serakah. Begitulah kiranya tafsiran dari lirik lagu Iwan Fals di atas, di mana pembangunan, penambangan seakan telah identik dengan wajah sebuah kota karena harus modern melalui upaya demikian itu.
            Di sini, perlu sebuah jaminan kesejahteraan secara kongkret bila memang terpaksa melakukan penambangan, bukan janji atau sekedar sosialisasi semata. Karena janji itu basi. Jaminan kesejahteraan bagi masyarakat melingkupi tiga hal mendasar; pertama, jaminan keselamatan lingkungan, jaminan kesejahteraan hasil penambangan bila masyarakat dilibatkan dalam proses penambangan, jaminan tak akan melahirkan dampak perubahan sosial yang negatif dan tak terkendali, serta jaminan pulihnya lahan pertanian dalam kurun waktu singkat.
Disqus Comments