Sampai saat tanah moyangku
Tersentuh sebuah rencana
Dari serakahnya kota
Terlihat murung wajah pribumi
Terdengar langkah hewan bernyanyi….
(Iwan Fals)
Penggalan lirik lagu Iwan Fals ini
mengingatkan kita pada rencana pemerintah DIY yang akan melakukan penambangan
pasir besi di pesisir pantai Kulonprogo. Meski menuai kritik dari berbagai
pihak sejak awal tahun 2008 silam, hingga
kini, keinginan pemerintah untuk tetap melanjutkan proyek pasir besi di sebelah
selatan kota Yogyakarta semakin ambisius.
Beberapa tahun lalu, Yogyakarta dinobatkan sebagai kawasan
ekonomi khusus (KEK) karena berbagai pertimbangan mendasar. Pertama, karena
kota gudheg ini memiliki keunggulan ekonomi yang cukup potensial mengingat
usaha-usaha mikro produk Yogyakarta saat ini sedang bersaing di perdagangan
internasional. Terbukti di tengah-tengah pro kontra mengenai ACFTA (China-Free
Trade Agreement) kota pendidikan ini justru meraup keuntungan cukup besar
hasil ekspor komoditas mebel, tekstil, serta minyak atsiri ke negeri tirai
bambu, China.
Pada awalnya rencana penambangan pasir besi di Kulonprogo
ini dalam pilihan dilematis seiring perlawanan masyarakat petani setempat, kini
suara para petani tersebut tampak tak akan digubris oleh pemerintah. Label
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang disandang Yogyakarta seakan menjadi beban
moral bila di hari-hari mendatang fakta malah justru menunjukan ketertinggalan
dalam bidang perekonomian. KEK
secara otomatis telah menjadi legitimasi kuat bagi pemerintah untuk mengeruk
serta mengeksploitasi potensi-potensi perekonomian di eks Ibu Kota Indonesia
ini, meski harus menerabas barisan hadangan masyarakat setempat atau petani
Kulonprogo.
Alasan kedua ialah berkenaan dengan
keberadaan Yogyakarta yang dipromosikan sebagai kota pariwisata. Selain itu,
Yogyakarta juga dikenal sebagai kota budaya yang masih cukup kental nuansa
kebudayaan Jawa (kejawen) di tengah-tengah kehidupan masyarakat, dipertegas
lagi oleh keberadaan kraton Yogyakarta.
Terlepas dari hal itu, predikat KEK
dalam perspektif ini tampaknya bisa dikatakan tepat dilamatkan kepada
Yogyakarta. Tepat dalam artian bahwa pengembangan potensi yang dapat dijadikan
basis perekonomian harus melibatkan masyarakat dalam rangka menekan kemiskinan
yang telah menjadi penyakit kronis di tengah-tengah kehidupan sosial
masyarakat. Meski bukti
riil pertumbuhan ekonomi di kota yang dipimpin oleh Sultan ini belum
menunjukkan hasil optimal dan memuaskan, tapi justru ini menjadi motivasi kuat
bagi pemerintah untuk tetap bersikukuh melaksanakan program penambangan pasir
besi di kawasan selatan Yogyakarta. Tapi, kita belum sepenuhnya yakin
pemerintah mau melaksanakan harapan-harapan tersebut, sebab, ketergantungan
pemerintah terhadap korporasi-korporasi asing telah mengakar. Kuota 49 persen
kepemilikan asing di dalam seluruh korporasi yang menjalankan proyek di negeri
ini masih terlalu besar angkanya sedangkan 51 persen yang tersisa masuk ke kas
negara (pemerintah), lantas di mana porsi untuk masyarakat? Dan masyarakat tak
lebih hanyalah akan menjadi buruh korporasi tersebut untuk mereguk keuntungan
dari proyek tersebut, sementara pihak yang meraup keuntungan lebih besar ialah
investor, pemilik, serta pemerintah.
Persoalan Lingkungan
Korporasi asing dalam hal profit atau penghasilan tak pernah
sedikitpun menguntungkan masyarakat. Andaipun pihak pemerintah yang menjanjikan
keuntungan bagi masyarakat, itu tak lebih hanyalah klaim serta janji palsu
untuk memuluskan kedigdayaan kekuasaannya. Kedigdayaan dalam arti menggunakan
legitimasi kekuasaan untuk menyengsarakan masyarakat atas kepemilikan terhadap
lahan pertanian yang selama ini merupakan basis atau tumpuan perekonomian
masyarakat (petani).
Itu baru dalam konteks ekonomi. Lebih
jauh, kerusakan lingkungan adalah dampak lain yang dilahirkan oleh
pertambangan-pertambangan raksasa di tanah air. Namun fakta selama ini,
keursakan-kerusakan lingkungan selalu saja menyalahkan masyarakat, entah karena
alasan membuang sampah sembarangan, pembalakan liar, dan sebagainya.
Dipastikan sekitar 1.009,30 hektare
sawah di sekitar kawasan Kulonprogo, kecamaan Wates, Galur dan Panjatan, akan
terganggu produktifitas pertaniannya bila proyek penambangan pasir besi
dioperasikan (Kompas, 12/03/10). Selain pertanian terganggu, dampak
negatif penambangan pasir terhadap lingkungan otomatis tak terhindarkan.
Begitupun dengan kondisi kehidupan sosial masyarakat pasti akan terganggu.
Padahal, selama ini pertanian sudah menjadi pendapatan utama bagi kehidupan
perekonomian masyarakat setempat.
Analisis dampak lingkungan (amdal) pun
masih tak dapat kita percaya sepenuhnya karena lebih condong mendukung
pemerintah dengan suguhan data-data yang agak sedikit direkayasa, meski rencana
penambangan hanya sedalam maksimal enam meter. Walaupun hanya sedalam itu,
namun bila penambangan dilakukan bertahun-tahun maka kedalaman otomatis
bertambah, akibat lebih jauh, masyarakat atau petani dipastikan kehilangan
tanah pertaniannya.
Jaminan Kesejahteraan
Alam sebenarnya memang diciptakan untuk kehidupan manusia.
Persoalannya terletak pada kerakusan manusia di dalam mengelola alam tersebut
semata-mata untuk kebutuhan hidup secara berlebihan serta tanpa batas. Bukan
saja alam yang dirugikan, tapi masyarakat yang telah lama memanfaatkan potensi
alam untuk kehidupan sehari-harinya dengan cara-cara tradisional dan alami
justru dipersalahkan.
Penggunaan alat-alat canggih di jaman
modern sebagai upaya optimalisasi hasil pemanfaatan potensi alam di satu sisi
memang sangat dibutuhkan. Namun di sisi lain, juga sangat merugikan, terutama
masyarakat atau para petani. Fakta selama ini justru berdampak lebih parah.
Penggunaan alat-alat canggih di samping merugikan petani karena kehilangan
lahan pertanian, tapi juga merusak lingkungan. Kota memang serakah. Begitulah
kiranya tafsiran dari lirik lagu Iwan Fals di atas, di mana pembangunan,
penambangan seakan telah identik dengan wajah sebuah kota karena harus modern
melalui upaya demikian itu.
Di sini, perlu sebuah jaminan
kesejahteraan secara kongkret bila memang terpaksa melakukan penambangan, bukan
janji atau sekedar sosialisasi semata. Karena janji itu basi. Jaminan
kesejahteraan bagi masyarakat melingkupi tiga hal mendasar; pertama, jaminan
keselamatan lingkungan, jaminan kesejahteraan hasil penambangan bila masyarakat
dilibatkan dalam proses penambangan, jaminan tak akan melahirkan dampak
perubahan sosial yang negatif dan tak terkendali, serta jaminan pulihnya lahan
pertanian dalam kurun waktu singkat.