Televisi adalah salah satu simbol modernisasi dan kemajuan
teknologi. TV dianggap dapat memberikan kemudahan informasi, sebagai hiburan,
memperluas pengetahuan dan wawasan terhadap masyarakat luas. TV telah jadi tren
kehidupan masyarakat, bahkan nyaris tak ada rumah yang tidak memiliki media
elektoronik bernama televisi. Kini, keberadaan TV telah bergeser menjadi sebuah
kebutuhan dan tidak menutup kemungkinan jadi kebutuhan primer masyarakat kita.
Memiliki TV tentu tak ada salahnya. Tapi, yang jadi masalah
apabila tayangan yang disuguhkan justru bertolak-belakang dari fungsinya. TV
setidaknya memiliki dua fungsi, yakni fungsi edukasi dan fungsi hiburan.
Pergeseran yang justru terjadi di dalam dunia pertelevisian ialah soal konten
atau muatan dari acara yang disuguhkan ke hadapan pemirsa. Klasifikasinya,
acara-acara yang ditayangkan lebih banyak bersifat hiburan semata dan kerap
menafikan fungsi edukasi yang semestinya tersirat dalam setiap program yang
ditayangkan. Belum lagi soal tayangan-tayangan vulgar yang secara moral
dan etika membuat kita terkadang harus mengelus dada, sebab kita membayangkan
jika tayangan seperti itu malah justru disaksikan anak-anak kecil.Televisi, disadari atau tidak, memberikan pengaruh besar terhadap perilaku masyarakat. Tayangan sinetron boleh dikatakan sebuah acara yang telah mampu memukau pemirsa televisi. Meskipun alur cerita serta adegan di dalamnya hanya sebuah sandiwara, tetapi justru seakan jadi nyata di hadapan para pemirsa. Maka tak heran terkadang kita acap melihat mereka yang hobi dengan acara sinetron emosional saat menyaksikan adegan demi adegan yang disuguhkan.
Terlepas dari itu, tayangan-tayangan yang disuguhkan di dalam televisi kini tidak lagi membatasi usia, karena memang sulit membatasinya. Setiap orang, tak terbatas usia, kini bebas mengkonsumsi acara-acara televisi kapanpun ia mau. Dan celakanya, intensitas menonton televisi ternyata lebih banyak dilakukan oleh anak-anak hingga remaja.
Ini dapat dibuktikan. Cobalah dengan nada santai kita bertanya kepada anak-anak tentang jadwal acara di televisi hari ini, mulai dari pagi hingga malam hari, apa saja. Kebanyakan anak-anak hafal di luar kepala acara-acara yang disuguhkan televisi tiap harinya, atau mungkin kita juga sama?
Hal ini menunjukan sebuah indikasi bahwa televisi seolah-olah telah jadi guru bagi anak-anak kita. Berapa banyak anak-anak kini yang masih hafal dengan jadwal pelajaran dan pekerjaan rumah (PR) untuk hari besok di sekolah. Masih adakah anak-anak yang di malam harinya telah mempersiapkan buku pelajaran, alat tulis, tasnya untuk besok ke sekolah? Masih adakah sejumput saja anak-anak yang hafal dengan mata pelajarannya di sekolah?
Andaipun ada, tentu tidak banyak. Penulis cukup pesimis dalam konteks ini karena dunia pertelevisian kini tidak lagi memandang hal itu sebagai aspek yang mesti dipertimbangkan. Apa lacur? Pertelevisian adalah dunia bisnis, untung dan rugi merupakan dua pilihan. Pilihan pertama tentu akan dikejar dengan cara apapun, sementara pilihan kedua adalah sebuah konsekuensi yang sebisa mungkin dapat dihindari. Dunia pertelevisian berlomba-lomba untuk memperoleh ratting yang tinggi dari setiap acara atau program yang ditayangkan ke hadapan pemirsa.
Coba kita sejenak perhatikan dari setiap acara-acara yang disuguhkan. Kalau dulu anak-anak sering menyanyikan lagu-lagu yang bernuansakan anak-anak, artinya lagu-lagu yang memang pantas dilantunkan oleh anak-anak, kini telah sirna serta tekikis. Lagu-lagu itu kini sudah tidak ada lagi, yang ada kini anak-anak lebih sering melantunkan nyanyian-nyanyian yang sebenarnya diperuntukkan bagi orang-orang dewasa. Sebab, televisi kini sudah tidak lagi menayangkan acara-acara yang diperuntukkan buat anak-anak, terutama acara-acara yang berkaitan dengan edukasi dasar bagi anak-anak.
Pergeseran-pergeseran yang terjadi di dalam dunia pertelevisian di era konvergensi seperti saat sekarang ini menunjukan betapa budaya instan telah mengakar ke dalam kehidupan masyarakat. Ambil contoh acara reality show, tayangan ini dengan tidak kita sadari sebenarnya telah menciptakan sebuah mimpi kepada para pemirsa bahwa untuk menjadi orang terkenal bisa hanya dengan sekejap mata. Mimpi jadi orang terkenal telah mampu meruntuhkan cita-cita mulia yang mereka impikan selama ini. Jalan instan agar jadi orang terkenal lebih mereka gandrungi daripada cita-cita awal mereka, meskipun harus mengorbankan segalanya, harta, tenaga, pikiran, bahkan pendidikan pun tak segan-segan ditinggalkan.
Dari sini, kita sedikitnya dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa televisi ibarat kotak ajaib yang mampu mengubah serta mempengaruhi perubahan peradaban manusia, pola pikir, perilaku atau sikap, cara bicara, sampai perbuatan kita sehari-hari. Oleh karenanya, bukan maksud kita melarang mengkonsumsi tayangan-tayangan di televisi, tapi marilah seupaya mungkin kita mencoba melihat televisi dengan pendekatan kritis (critical approach) sebagai suatu kesadaran agar kehidupan ini tidak terbawa oleh alur cerita yang fiktif, penuh sandiwara serta instan, dan kita mencoba untuk lebih memposisikan televisi beserta tayangannya hanyalah sebuah hiburan yang tak perlu diikuti. Dengan begitu, maka kita telah berupaya melakukan suatu counter terhadap tayangan-tayangan televisi yang cenderung tidak mendidik.
Anak-anak merupakan generasi penerus bangsa ini ke depan. Televisi harus memiliki peran serta tanggung jawab untuk memberikan edukasi yang edukatif terhadap mereka. Kesadaran itu tentu datangnya dari hati dan pikiran para steak holders yang merupakan bagian dari tanggung jawab mereka untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Maksudnya, para pelaku di dunia pertelevisian tidak hanya memandang televisi adalah dunia bisnis belaka dan menafikan fungsi edukasi kepada para pemirsa. Mencerdaskan bangsa ini merupakan tanggung jawab semua elemen bangsa, mulai dari pemangku kebijakan hingga rakyat jelata memikul tanggung jawab tersebut. Karena pada dasarnya bahwa bangsa ini adalah milik bersama yang arah masa depannya juga akan ditentukan sebesar apa tanggung jawab serta kesadaran itu kita miliki.