Gugatan mengenai tayangan infotainment di layar televisi nasional kembali menyeruak ke permukaan. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU menegaskan bahwa infotainment gossip adalah haram, dengan beberapa pertimbangan mendasar.
Pertama, tayangan tersebut telah mengobral masalah pribadi dan keluarga orang dan bisa berdampak buruk bagi masyarakat luas. Kedua, isi tayangan yang termuat di dalam infotainment tidak menjadi bagian dari kebebasan dan demokrasi, karena berpotensi besar membunuh karakter bagi kerukunan serta ketenangan individu dan keluarganya. Ketiga, pemberitaan yang termuat di dalam infotainment berdampak kerugian bagi individu dan keluarga, sarat dengan pelanggaran hak asasi manusia. Keempat, tayangan ini juga cenderung bermuatan pengumbaran pornografi.
Tayangan infotainment jelas bermuatan gossip atau ghibah. Yakni, mengobral masalah-masalah pribadi seseorang yang semestinya tidak boleh dikonsumsi oleh orang banyak karena sifatnya rahasia atau privasi. Setidaknya, dengan beberapa alasan singkat itulah mengapa Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya, Juli 2006 mengeluarkan fatwa haram infotainment. Setali tiga uang, fatwa tersebut tampaknya tidak memberikan efek atau dampak apapun terhadap dunia pertelevisian nasional, bahkan tayangan infotainment semakin marak menghiasi layar kaca di negeri ini.
Disadari atau tidak, pesatnya perkembangan infotainment telah membawa perubahan-perubahan mendasar pada pola pikir dan perilaku masyarakat. Bayangkan saja, saat ini setidaknya terdapat 26 acara infotainment disuguhkan di layar kaca, dan dalam jangka waktu 24 jam setidaknya tersuguh 15 hingga 23 tayangan infotainment di sembilan stasiun televisi nasional. Pada pagi hari, tayangan tersebut telah disuguhkan sebagai sarapan setelah beranjak dari kamar tidur hingga menjelang malam hari terus mengisi layar kaca televisi.
Hampir seluruh pemberitaan infotainment memuat tentang gossip para selebritis dalam negeri. Selain sebagai upaya peng-orbit-an selebriti ke mata masyarakat, di sisi lain juga menyuguhkan berita-berita mengenai perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, kegiatan atau kesibukan harian hingga tentang perceraian para publik figur tersebut. Lantas, bagaimana bisa dikatakan tayangan hiburan jika pemberitaan tersebut justru tidak mendidik. Sebab, sejatinya, acara-acara yang ditayangkan di dalam layar kaca televisi memuat dua hal mendasar, pendidikan dan hiburan. Apabila, tayangan-tayangan tersebut tidak mengandung muatan kedua hal tersebut, maka perlu kiranya untuk dikoreksi ulang dan negeri ini telah memiliki Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang salah satu tugasnya ialah mengawasi serta mengkontrol tayangan-tayangan di televisi.
Tayangan media televisi, khususnya infotainment mengandung dua sisi berbeda, baik dan buruk. Kedua wajah ini seakan terus menyatu dalam perdebatan-perdebatan antara pro dan kontra dari berbagai pihak. Bagi pihak yang pro, menilai bahwa tayangan ini selain menghibur, tetapi untuk memotivasi, keingin-tahuan tentang selebritis idolanya, dan lain hal. Sementara dari pihak yang kontra menilai tayangan tersebut tidak sama sekali mendidik dan mencerahkan masyarakat, sebab berita yang disuguhkan paradoksal dengan tujuan utamanya.
Perlukah Fatwa?
Melihat betapa fenomenalnya tayangan infotainment tersebut tampaknya Majelis Ulama Indonesia belum ingin berbicara banyak. Hal ini tersimpulkan jelas dengan pernyataannya bahwa MUI sejalan serta setuju infotainment haram, karena pada dasarnya tayangan ini membicarakan aib orang lain dan hal itu tidak dibenarkan oleh agama. Sedangkan mengapa MUI belum mau mengeluarkan fatwa karena mesti adanya pertimbangan hukum dan lain-lain, dan kasusnya haruslah jelas terlebih dahulu.
Menurut hemat penulis, mengeluarkan fatwa haram tidaklah perlu, selama pemerintah, dalam hal ini KPI dan Menkominfo, mau mengadakan koreksi terhadap tayangan infotainment dibarengi ketegasan sikap. Pertimbangan lain mengingat dunia perindustrian televisi terus dihadapkan dengan pelbagai tantangan serta persaingan-persaingan. Untuk itu, memang harus ada keberanian pihak-pihak terkait memformulasi ulang muatan pemberitaan dalam infotainment agar tidak ada lagi orang dirugikan serta buruk citranya hanya karena permasalahan pribadi yang seharusnya tidak dikonsumsi umum, seperti yang menimpa Luna Maya tempo hari.
Selain itu, mestinya para steakholders tidak melulu mengutamakan orientasi bisnis semata, lantas mengesampingkan efek atau muatan negatif dalam acara tersebut, sebab, masyarakatlah yang nantinya justru menjadi korban.
Perspektif Islam
Gossip dalam pandangan Islam jelas tidak diperbolehkan. Sebab, gossip cenderung mengumbar sisi buruk seseorang yang seharusnya dilarang untuk diketahui khalayak umum. Bahkan di dalam Al-Qur’an mengumpamakan orang yang menceritakan sisi buruk orang lain memakan daging bangkai saudaranya sendiri. Begitu pula yang ditegaskan di dalam surat Al-Hujurot, bahwa kita dilarang saling mengolok-olok, mencela orang lain, saling memanggil dengan gelar yang buruk, berburuk sangka (suuzhan), memata-matai (tajassus), mengunjing (ghibah) dan membanggakan diri. Nah, dari beberapa item atau perkara dilarang oleh Tuhan tersebut terdapat satu perbuatan yang jika dikontes-kan dengan pembahasan ini ialah mengunjing atau ghibah.
Hal ini mengandung arti, bahwa setiap perkara yang dilarang oleh Tuhan, otomatis tidak disenangi apabila dikerjakan. Jangankan Tuhan, kita sebagai manusia pun akan merasa gusar atau marah jika sesuatu yang buruk dari diri justru diberitahukan kepada khalayak ramai. Andaipun kita mengetahui tentang keburukan-keburukan sesama, maka hanya sebatas untuk diketahui semata tanpa menceritakannya kepada orang lain.
Pungkasnya, tayangan infotainment alangkah lebih bijak jika dikaji serta dikoreksi kembali sejauh mana kontribusinya terhadap orang banyak. Sisi kebaikannya terletak pada item apa, dan sebaliknya, sisi keburukannya pada aspek apa pula. Jika kemudian, keburukannya justru lebih dominant, maka sah-sah saja apabila penayangannya dilarang atau setidak-tidaknya diperbaiki dengan menghindari atau bahkan menghapus pemberitaan yang akan membuat subjek infotainment (baca : gossip) merasa tidak nyaman dan terganggu kehidupannya.
Kita percaya bahwa para steakholders tidak akan kekurangan kreatifitasnya. Artinya kreatifitas tayangan yang bermuatan positif serta kontributif, serta bisa memberikan pendidikan, pencerahan dan hiburan kepada masyarakat. Jika didukung sikap profesionalitas serta kesadaran tinggi, maka rasanya tak kesulitan bagi para steakholders atau wartawan media untuk menciptakan karya yang lebih berkualitas dan bermuatan positif.