Thursday, 25 October 2012

Mengurai Polemik RSBI

 Kemelut di dalam dunia pendidikan terasa kian  mengakar. Berbagai kasus menerpa ibarat angin topan yang akan segera meruntuhkan sendi-sendi bagunan cita-cita pendidikan sebagai media atau wadah untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa. Tak pelak, pendidikan merupakan pilar utama dan strategis untuk menciptakan suatu tatanan bangsa yang berkarakter serta bermartabat. Namun, harapan mulia itu sirna ketika problem paling dasar dalam dunia pendidikan justru baru beberapa dekade belakangan menyeruak ke permukaan. Padahal, sudah jadi borok sejak dulu.
    Sekolah kita di negeri ini mengalami metamorfosa setelah reformasi politik 1998 bergulir. Sekolah seketika bermetamorfosis menjadi Sekolah Bertaraf  Internasional (SBI) sebagai alat legitimasi untuk menciptakan kualitas atau mutu pendidikan. Tak ayal, disadari atau tidak, pendidikan kita saat ini jelas berkiblat ke dunia barat baik dalam bentuk konseptual ataupun secara teknis pelaksanannya. Fakta ini memperoleh dukungan kuat dari UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1998 yang dirubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2003. Sekolah kita jadi terkotak-kotak. RSBI, SBI, SSN dan Sekolah Reguler (SR). Biaya di sini jadi panglima besar mengatur segala bentuk mekanisme pelaksanaan proses pendidikan. Bayangkan saja, jika calon peserta didik ingin mengakses pendidikan di RSBI sedikitnya harus mengeluarkan biaya sekitar 8 juta rupiah. Dan pemerintah mendukung upaya itu dengan mengucurkan dana lebih dari satu milyar untuk tiap RSBI selama 3-4 tahun (Kompas, 7/5/10).
    Dukungan pemerintah untuk RSBI dan SBI disemangati oleh UU Nomor 20 Tahun 2003. Pasal 50 Ayat 3 UU menyebutkan bahwa pemerintah atau pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pendidikan pada semua jenjang untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Wajar saja bila RSBI dan SBI dinomor-satukan dalam satuan penyelenggaraan pendidikan, sementara SSN dan SR dianak-tirikan karena dianggap tidak kompetitif. Hal ini dapat diperhatikan secara seksama dalam bentuk bantuan pemerintah kepada kedua lembaga pendidikan yang berstatus elitis itu. Untuk tahun pertama, pemerintah mengucurkan dana sekitar Rp 400 juta kepada RSBI dan SBI. Ditambah lagi biaya tahunan yang dikucurkan pemerintah kepada kedua lembaga pendidikan itu sekitar Rp 620 juta-720 juta. Belum lagi biaya bulanan yang harus ditanggung peserta didik di RSBI dan SBI sebesar Rp 450.000-500.000.  
    Melihat fakta dan realitas itu, maka tak heran bila Darmaningtyas memetakan stratifikasi sosial ekonomi dalam empat status lembaga pendidikan di atas. Pertama, kelompok A, yakni kumpulan anak orang kaya dan pintar, dan kelompok B, golongan kaya tetapi kurang pandai. Kedua kelompok itu berhak memperoleh sekolah berstatus RSBI dan SBI. Kemudian, kelompok C, yakni golongan miskin tetapi pintar dan berhak memperoleh sekolah di SSN. Terakhir, kelompok D, golongan miskin dan kurang pandai berhak memperoleh status sekolah reguler. Maka jangan heran jika kemudian kita menyaksikan dengan kasat mata realitas kasta dalam kehidupan sosial di lembaga pendidikan formal di negeri ini. 
Kebuntuan pemerintah
Komersialisasi dalam dunia pendidikan merupakan realitas dan fakta tak terbantahkan.  Dan telah menjadi rahasia umum. Semangat ideologi kompetisi yang merupakan anak kandung ideologi neoliberalisme telah dengan sengaja membunuh harapan dan cita-cita luhur kaum miskin dan serba berkekurangan. Mereka disingkirkan secara sistematis oleh mekanisme dan prosedur serta persyaratan untuk mengakses pendidikan. Piere Bourdieu, seorang kritikus sosial Prancis menyatakan dengan jelas bahwa sekolah hanya menjadi lembaga sosial reproduksi kesenjangan sosial. Karuan saja, lembaga pendidikan bertebaran di mana-mana tidak justru membuat masyarakat serasa kian dekat dengan pendidikan, tapi malah terasa jauh dan betapa sulit digapai. Dipertegas oleh Michael W. Apple, pengetahuan telah menjadi sejenis modal yang dikelola dan didistribusikan oleh institusi pendidikan kepada anak didik sebagaimana institusi ekonomi mengelola modal finansial.
    Orang miskin dilarang sekolah. Itulah mungkin istilah yang tepat untuk menggambarkan wajah pendidikan kita di era modern. Lembaga pendidikan di negeri kita didesain seumpama pabrik yang memproduksi produk-produk layak jual dengan kurikulum sebagai salah satu komoditasnya. Dan pangsa pasarnya adalah masyarakat sehingga daya saing antar lembaga pendidikan jadi kian mengerucut. Sekolah-sekolah, universitas atau perguruan tinggi beramai-ramai berburu pelanggan dengan berbagai strategi yang tidak jauh dari praktek atau aktivitas sebuah pabrik, yakni menawarkan produk dengan berbagai keunggulannya agar diminati masyarakat. Produk-produk sekolah atau perguruan tinggi dilempar ke hadapan masyarakat dengan strategi promosi, bahkan tawarannya tidak lagi bersifat fiktif tapi sudah mulai kongkret. Persis seperti penawaran sebuah produk bisnis. 
    Perilaku-perilaku seperti itu akan terus berlanjut di belahan dunia ketiga. Sebab, dunia ketiga hingga hari ini masih menyandang status sebagai negara berkembang, bukan negara maju. Berarti, negara-negara dunia ketiga masih tertinggal jauh dari negara yang telah maju, Amerika, Eropa, dalam bidang apapun, sehingga produk-produk pembangunan akan terus laku ketika dijual ke hadapan masyarakat negeri ini, termasuk produk pembangunan di bidang pendidikan. 
    Celakanya, belum sempat kemajuan itu kita raih, pemerintah justru lebih dahulu menutup mata. Atau jangan-jangan para pemangku kebijakan kita telah mentok dan merasa buntu? Lantas mengambil beberapa upaya jalan pintas yang dianggap solusi tapi malah jadi petaka bagi masyarakat. Misalnya, rencana strategis Depdiknas 2005-2009 lalu, memuat tentang dorongan untuk mengembangkan sekolah bertaraf internasional sebanyak 112 unit di seluruh Indonesia. Tujuannya, untuk meningkatkan daya saing bangsa, tapi sayang sekali, kondisi sosial-ekonomi masyarakat serasa tidak dijadikan acuan dan pertimbangan. 
Beban Sejarah
    Keberadaan RSBI dan bahkan SBI akhir-akhir ini jadi sorotan tajam dunia pendidikan nasional. Pemerintah baru sadar akan sebuah realitas yang telah lama dipraktekkan, yakni mahalnya biaya akses pendidikan di RSBI. Bahkan, pemerintah pernah mengancam akan segera membubarkan RSBI jika tak menurunkan ongkos pendidikan siswa. 
    RSBI dan SBI memang memikat karena kualitas terjamin, prasarana memadai, bahkan lengkap, kualitas tenaga pengajar tak diragukan lagi. Kondisi ini kontras jika dibandingkan dengan SSN dan Sekolah Reguler, yang hanya terkesan apa adanya. Dan celakanya, para generasi muda bangsa ini terpaksa harus masuk ke dalamnya karena tidak memiliki biaya, pun pemerintah tak begitu hirau, alih-alih perhatian. Mereka lebih menghargai sekolah-sekolah bermutu dan berkualitas, sedangkan sekolah-sekolah berstatus SSN dan SR karena dianggap tak bermutu, baik siswa, guru, dan fasilitas sekolah, justru dibubarkan. Lantas, siapa sebenarnya pihak yang patut kita persalahkan jika suatu sekolah terbukti tidak berkualitas?
    Kodisi pendidikan kita yang kian carut marut membuat hati dan pikiran kian sesak. Betapa tidak, kita harus memikul beban sejarah masa silam, di mana Ki Hajar Dewantara telah bersusah-payah merintis serta menekankan pendidikan kepada masyarakat agar tumbuh dan berkembang rasa kebangsaan serta mencintai tanah air tumpah darah dan modal perjuangan untuk merebut kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya. Gagasan Ki Hajar Dewantara tentang idealitas pendidikan tersebut menggugah beliau mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa pada tanggal 3 Juli 1922 sepulangnya dari pengasingan. Berkat kegigihan beliau, masyarakat jadi menaruh hati serta harapan besar bahwa lembaga-lembaga pendidikan merupakan wadah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
    Terlebih lagi jika kita mengacu pada gagasan Paulo Freire bahwa pendidikan adalah sebuah proses pembebasan dan proses membangkitkan kesadaran kritis. Namun begitu, gagasan seorang tokoh pendidik radikal berkebangsaan Brasil itu hanya dihafal jargon serta istilahnya saja yang dipergunakannya dalam buku karyanya yang terkenal, Pedagogy of Oprassed (Pendidikan Kaum Tertindas), tanpa memahami secara praksis dalam proses belajar mengajar di lembaga-lembaga pendidikan kita. Maka lumrahlah kiranya apabila hari ini pendidikan kita justru terjatuh ke jurang pragmatisme seiring dengan arus peradaban pasar yang masa kini lebih dominatif untuk tak dikatakan hegemonik.
Disqus Comments