Idul
Adha didapuk sebagai hari raya bermula dari kisah Ismail, putra Nabi Ibrahim.
Di suatu malam, dalam mimpi Ibrahim diperintahkan Tuhan untuk menyembelih
anaknya Ismail, dan Ibrahim yakin bahwa mimpi tersebut adalah perintah Tuhan.
Selanjutnya mimpi itu Ibrahim sampaikan kepada Ismail dengan berusaha menyakini
puteranya tersebut bahwa mimpi itu adalah semata-mata perintah dari Tuhan.
Ismail merupakan seorang yang taat. Begitu pula
ayahnya, Ibrahim. Dengan modal ketaatan tersebut, Ismail pun menyatakan bahwa
apabila memang mimpi itu adalah perintah Tuhan, maka dengan keyakinan teguh ia
rela untuk dikorbankan. Pada saat Ismail ingin segera disembelih Ibrahim, pada
saat itu pula Tuhan menggantikannya dengan ratusam ekor keledai (kambing).
Kisah inilah yang menjadi embrio dirayakannya hari kurban (idul adha) untuk
memperingati pengorbanan serta ketaatan Nabi Ibrahim dan Ismail, puteranya yang
kemudian juga menjadi seorang Nabi. Di samping itu, idul adha juga bertepatan
dengan dirisalahkannya ibadah haji di tanah suci Mekkah. Apa hikmah dari
peristiwa ini?
Hari raya idul adha yang dirayakan sekali dalam
setahun oleh umat muslim di dunia merupakan ibadah yang dimaksudkan untuk
memperingati kisah pengorbanan Nabi Ismail. Artinya, berkurban merupakan suatu
perintah Tuhan yang harus dilakukan oleh umat muslim di dunia sebagai bentuk
rasa syukur kepada Tuhan. Untuk itulah mengapa hari raya idul adha sangat
identik dengan aktivitas menyembelih hewan ternak, baik berupa sapi maupun
kambing dengan kadar tertentu yang telah disyariatkan dalam agama.
Hari raya kurban mengajarkan kepada manusia untuk
bersyukur terhadap nikmat yang telah Tuhan anugerahkan. Disembelihnya
hewan-hewan kurban yang selanjutnya dibagi-bagikan menunjukkan sikap
solidaritas yang terkandung dalam perayaan idul adha. Sikap solidaritas memang
harus terus ditumbuh-kembangkan dalam kehidupan manusia, sebab diakui atau
tidak, sikap solidaritas ini sudah mulai mongering dalam kehidupan. Sikap
solidaritas saat ini sudah mulai bergeser, di mana sikap ini hanya berlaku
terhadap golongan serta kelompok sendiri, padahal, esensinya, sikap solidaritas
tidak memandang suku, ras, agama, etnis, serta kelompok-kelompok tertentu.
Sikap solidaritas harus diberlakukan secara menyeluruh yang dilandasi dengan
rasa kebersamaan dan persatuan, dan hal ini merupakan falsafah bangsa kita.
Sikap solidaritas yang saat ini berkembang dalam
kehidupan kita telah melanggengkan konflik di mana-mana. Tawuran di kalangan
pelajar, kerusuhan di daerah-daerah, serta aksi pembunuhan melalui terror bom
adalah sedikit dari contoh betapa sikap solidaritas di negeri ini mulai pudar.
Konflik adalah cerminan sebuah negara yang tidak aman,
damai, dan tentram. Konflik juga dapat mengancam kehidupan sebuah negara yang
menggiring pada disintegrasi bangsa. Konflik terjadi bisa saja terjadi karena
benturan kepentingan antar kelompok-kelompok tertentu, dan bisa juga terjadi
karena sikap sentimen serta saling membenci antar satu sama lain. Pesatnya
perkembangan sikap-sikap seperti ini telah meruntuhkan nilai-nilai persatuan
dan kesatuan yang seharusnya dijunjung tinggi. Inilah akibat dari nilai-nilai
pancasila yang mulai diabaikan.
Terlepas dari itu, dengan dirayakannya hari idul adha
diharapkan mampu merekonstruksi ulang sikap solidaritas antar sesama di bangsa
ini tanpa memandang status, kedudukan, agama, ras, etnis, suku serta kelompok
tertentu. Pengorbanan Ibrahim dan Ismail merupakan suatu bentuk ketaatan kepada
Tuhan. Berkurban merupakan suatu bukti rasa syukur terhadap nikmat yang telah
diperoleh, sedangkan pembagian daging hewan yang telah dikurbankan adalah wujud
nyata sikap solidaritas terhadap sesama. Spirit inilah yang kita harapkan dapat
diwujudkan melalui perayaan hari idul adha, sekaligus mengikis sikap sentimen,
saling benci, bermusuhan, serta sikap tidak saling menghargai perbedaan. Dengan
saling menghargai inilah hidup kita akan tentram, damai, aman dan sejahtera.
Begitulah.