Sepertinya Indonesia memang ditakdirkan tidak menjadi negara yang maju dunia persepakbolaannya. Bukan hanya karena persoalan kultur Indonesia yang tidak seperti negara Brasil, tapi juga institusi tertinggi di Indonesia bukanlah sebuah medium untuk membuat negeri ini maju dan memiliki citra baik di mata dunia. Termasuk dalam dunia persepakbolaan Indonesia mengalami keterpurukan yang telah berada pada titik nadir.
Sepak bola adalah sebuah olah raga yang paling digemari oleh masyarakat dunia. Tidak terkecuali masyarakat Indonesia, dan hampir semua negara memiliki tim sepak bola nasional (timnas). Olah raga sepak bola mengalami kemajuan serta perkembangan yang sangat pesat. Negara seperti Brasil dan Argentina yang terlebih dahulu maju persepakbolaannya telah menginspirasi negara-negara lain, dan kemajuan tersebut terlihat jelas di benua biru atau Eropa. Lambat laun tapi pasti nanti akan merambah ke benua lainnya.
Sekadar catatan, Federasi Sepak Bola Dunia FIFA mengakui bahwa Indonesia tercatat sebagai sebuah negara yang pernah ikut berpartisipasi dalam ajang Piala Dunia pada tahun 1938, meskipun saat itu masih bernama Hindia-Belanda. Dalam keikutsertaannya tahun 1938, Indonesia (Hindia Belanda) hanya menjalankan satu pertandingan, yakni saat berhadapan dengan tim tangguhHongaria. Dalam pertandingan itu, Indonesia kalah telak 0-6. Di Piala Dunia tahun 1938, Indonesia diperkuat campuran pemain lokal, keturunan Tionghoa, dan Belanda. Capaian inilah yang merupakan satu-satunya prestasi Indonesia yang didokemntasikan di situs FIFA.
Keikutsertaan di Piala dunia Prancis 1938 merupakan kali terakhir Indonesia tampil di Piala Dunia karena hingga kini tim Garuda selalu gagal di babak awal kualifikasi. Harapan kita timnas sepak bola Indonesia mengikuti ajang prestisius Piala Dunia sepertinya hanya ada di dalam angan-angan dan mimpi yang berkepanjangan. Hal ini disebabkan dunia persepakbolaan Indonesia tidak berhenti dari terjangan konflik sehingga membuat citra sepak bola Indonesia kian terpuruk. Keterpurukan dunia persepakbolaan Indonesia bukan hanya terlihat di lapangan hijau, tapi juga terjadi di tubuh pemegang kebijakan penuh urusan persepakbolaan Indonesia, yakni PSSI.
Kisruh di tubuh PSSI memang telah mencapai antiklimaks. Beberapa tahun terakhir, kursi PSSI memang menjadi rebutan semua pihak pasca buruknya kepemimpinan Nurdin Halid. Tak terkecuali para politisi, hingga kini, kisruh di tubuh PSSI kian mengerucut karena telah dijadikan ajang kompetisi politik. Pertanyaan reflektif yang patut kita ajukan, PSSI milik siapa?
Kursi PSSI kini memang sedang seksi sehingga diperebutkan banyak kalangan. Pun dari kalangan partai politik, atau para politisi tak mau tertinggal. Kursi PSSI yang semestinya netral dari politik kini berubah menjadi kue kekuasaan yang diperebutkan sehingga terkesan menafikan dunia persepakbolaan kita tidak lagi menjunjung asas profesionalitas dan sepak bola murni tetapi untuk kepentingan sekelompok orang demi sebuah dominasi. Kondisi riil ini terjadi adalah buah dari pemanfaatan sekelompok orang terhadap konflik yang berkepanjangan di tubuh PSSI sejak kepemimpinan Nurdin.
Wajah bopeng PSSI
Konflik dan kisruh di tubuh PSSI yang berujung pada pemecatan Nurdin Halid merupakan wujud riil dari bopeng yang selama ini bersemayam di tubuh PSSI. Seperti kata pepatah, sepandai-padainya orang menyimpan bau busuk, suatu saat pasti akan tercium juga. Begitu pulalah yang terjadi di PSSI. Wajah bopeng itu akhirnya kelihatan juga setelah sekian lama tersimpan di balik kepemimpinan Nurdin. Ibarat bom waktu yang hanya menunggu waktunya untuk meledak. Dan terbukti, bom waktu tersebut telah meledak yang kisruh PSSI berbuntut panjang yang harus melibatkan FIFA. Dan tak ada pilihan lain selain mreformasi PSSI, inilah pilihan terakhir jika menginginkan wajah persepakbolaan nasional berkembang dan maju.
Kisruh yang berkepanjangan di tubuh PSSI telah berhasil mengaburkan substansi perbaikan wajah pesepakbolaan nasional. Bahkan kisruh tersebut justru berbau politis, dan itu jelas-jelas terlihat secara kasat mata. Pemerintah pun seakan tidak kuasa mengatasi kisruh PSSI yang beberapa bulan belakangan menjadi isu terhangat di Indonesia, hingga tercium oleh FIFA.
Kekeruhan dalam tubuh PSSI sebenarnya telah sekian lama mencuat di Tanah Air. Tapi, tarik ulur kepentingan terasa lebih dominan yang bermuara pada tarik ulur kepentingan politik kalangan tertentu yang menginginkan kursi PSSI berada dalam genggamannya. Akhirnya, PSSI pun semakin terpuruk serta kehilangan kredibilitasnya di mata publik sebagai institusi yang mengatur sekaligus mengontrol wajah persepakbolaan Indonesia. PSSI kacau, Timnas pun melempem dalam berbagai kompetisi, baik lokal maupun dalam ajang internasional. Prestasi Timnas di ajang internasional seperti tidak patut dibanggakan karena selalu mempertontonkan kekalahan, bahkan dengan skor telak.
Kekisruhan di tubuh PSSI berlanjut, bahkan pertengahan bulan lalu di hadapan perwkilan FIFA. Tentu saja kita malu, dan tak pelak, citra persepakbolaan Indonesia dipastikan akan semakin terpuruk di mata dunia. Mau dibawa ke mana persepekbolaan Indonesia?
Melihat kejadian demi kejadian yang menimpa PSSI membuat kita seakan putus harapan bahkan pesimis tentang masa depan persepakbolaan nasional. Apabila nanti kekisruhan PSSI berlanjut tanpa berkesudahan, maka kita dapat memberikan suatu penilaian bahwa Indonesia memang bukanlah sebuah negara yang mencintai olah raga sepak bola, terutama mereka para petinggi negeri ini. Mereka harus mampu membedakan mana kepentingan politik dan mana kepentingan umum. Nuansa politis memang satu pemandangan yang mencolok dalam kongres PSSI, bukan harapan dan cita-cita rakyat yang mereka usung, tapi kepentingan kelompok demi sebuah dominasi serta nafsu berkuasa. Di sinilah letak problem yang sesungguhnya, yang membuat persoalan di tubuh PSSI justru berkepanjangan.