Pendidikan akan tetap jadi perbincangan di setiap kalangan. Karena secara teori kita masih membutuhkan rumusan pendidikan yang benar-benar mampu mencerdaskan kehidupan bangsa secara merata, dan tanpa terkecuali masyarakat di negeri ini yang hidup di pedalaman.
Secara formal, pendidikan memang telah diupayakan agar merambah ke seluruh penjuru negeri. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan formal di setiap ruas kota hingga pedesaan yang jauh. Namun, meski begitu iklim serta nuansa pendidikan tentu didominasi di kawasan perkotaan yang lebih dahulu dihinggapi kemajuan, bahkan dalam segala aspek kehidupan. Kemajuan-kemajuan itu membuat kawasan perkotaan begitu kental nuansa pendidikannya dibandingkan dengan kawasan pedesaan atau pedalaman yang masih alakadarnya. Dan ironisnya, standar pendidikan justru diratakan secara nasional sesuai dengan standar perkotaan yang lebih dulu maju. Maka jangan heran jika kemudian di lapangan justru ditemukan perbedaan yang mencolok antara kota dengan pedesaan saat hasil evaluasi tahap akhir pendidikan diselenggarakan. Pendidikan kita memang sedang dalam proses - entah sampai kapan - mencari format ideal agar merata serta tidak timpang.
Memperoleh pendidikan merupakan hak seluruh anak bangsa. Itu merupakan sebuah amanat suci bahkan sejak Indonesia lahir sebagai sebuah negara merdeka. Hal itu lahir karena suatu kesadaran kolektif anak bangsa ini secara aklamatif bahwa pendidikan merupakan pilar sebuah bangsa dan simbol peradaban. Bangsa yang maju adalah bangsa yang sukses dalam penyelenggaraan pendidikannya. Ambil contoh misalnya Jepang. Selepas Hiroshima dan Nagasaki dibombardir luluh lantak oleh sekutu, aktor pertama yang mereka cari adalah sosok seorang guru. Guru adalah aktor penting di balik penyelenggaraan pendidikan karena ia merupakan kunci dari keberhasilan dalam proses transfer pengetahuan kepada para pelajar, di samping juga kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah pun sebenarnya hanyalah bentuk formil dalam pengelolaan pendidikan, sebab, tugas menjadi seorang pendidik pada dasarnya berada di pundak setiap individu, terutama mereka yang terlebih dulu telah mengenyam pendidikan, baik di lembaga-lembaga formal maupun non-formal. Jika kesadaran sebagai pendidik ini tertanamkan di dalam diri setiap individu, maka dapat dipastikan seluruh anak bangsa ini bisa memperoleh pendidikan secara merata, dan tidak harus formal.
Namun, pemerintah justru memformalisasikan pendidikan dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan di setiap penjuru negeri. Maksud pemerintah memformalisasikan pendidikan jika dilihat dari satu sisi memang baik, setidaknya pemerintah ingin memberikan sebuah bukti bahwa mereka perhatian terhadap pendidikan dan wujud dari tanggung jawab moril mereka terhadap amanat UUD. Tapi, jika dilihat dari sisi lain, kebijakan memformalisasikan pendidikan malah justru mengikis tanggung jawab moril tiap diri individu untuk mendidik masyarakat. Maksudnya, asumsi yang terbangun di tengah-tengah masyarakat bahwa pihak yang bertugas mendidik anak bangsa hanyalah mereka yang berpredikat sebagai seorang guru semata. Dan di sisi yang lain, asumsi yang tertanam kuat di masyarakat kita bahwa untuk memperoleh pendidikan haruslah melalui jalur formal. Ketika pendidikan telah diformalkan seperti itu, maka kosekuensi selanjutnya ialah harus adanya logistik pendidikan. Logistik pendidikan ini maksudnya ialah perangkat serta sarana pra-sarana yang dibutuhkan dalam proses pendidikan, dan agar logistik pendidikan tersebut dapat terpenuhi, maka kosekuensi logisnya masyarakat diharuskan mengeluarkan biaya dengan dalih demi kelancaran serta kesuksesan pelaksanaan belajar-mengajar. Dari sini tampak jelas bahwa pendidikan mulai berubah orientasinya. Dan jangan heran jika pendidikan sedikit demi sedikit merangsek ke dunia perbisnisan, sebab semakin hari kebutuhan akan logistik pendidikan kian meningkat. Belum lagi jika kita berbicara mengenai pergeseran motivasi para orang tua serta para pelajar dalam menuntut ilmu, terutama pada jenjang perguruan tinggi yang kental dengan orientasi demi mudah mencari pekerjaan setelah lulus. Padahal motivasi semacam ini jelas membunuh daya kreatifitas pelajar karena ia akan dipaksa untuk menjadi sesuatu yang belum tentu bakat serta minatnya. Di sinilah salah satu letak urgensi pendidikan yang berbasiskan humanis serta kesadaran kritis.
Stigma bahwa untuk memperoleh pendidikan harus melalui lembaga-lembaga formal juga telah tertanam di tengah-tengah masyarakat pedalaman yang notabene jauh tertinggal dari kawasan kota-kota besar. Stigma ini jelas membuat masyarakat, terutama di daerah pedalaman berpaling dari pendidikan dan lebih memilih tidak sama sekali mengenyam pendidikan formal, namun memilih bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bagi mereka, sekolah hanya akan menghabiskan biaya, sementara kebutuhan hidup makin hari kian meningkat. Sekilas persepsi semacam itu memang keliru, sebab sekolah harusnya dijadikan aktivitas pilihan paling utama, dan sejatinya, bekerja pun membutuhkan ilmu. Tetapi, jika kemudian karena alasan biaya lantas mereka tidak mau sekolah atau mengenyam pendidikan formal, maka di sinilah letak persoalannya. Terlebih, ongkos pendidikan di lembaga-lembaga formal saat ini membumbung tinggi dan sangat sulit dijangkau bagi masyarakat yang berstatus ekonomi menengah ke bawah.
Jika stigma semacam itu tidak segera dihapus dari benak masyarakat, terutama mereka yang hidup jauh di pedesaan, maka dapat dipastikan animo mereka terhadap pendidikan akan menurun. Pendidikan mahal adalah stigma paling kental di benak masyarakat yang menjadi beban berat mereka untuk menempuh pendidikan formal.
Inilah fakta yang tidak bisa pemerintah dan kita semua menutup mata darinya jika memang masih percaya bahwa pendidikan merupakan simbol peradaban sebuah bangsa. Kita dan pemerintah tidak boleh mengukur kesuksesan penyelenggaraan pendidikan hanya pelaksanaan yang berlangsung di kota-kota besar dan dijadikan kesimpulan akhir secara nasional. Jika pelaksanaan pendidikan di kota-kota besar merata dirasakan masyarakat, maka hal itu menjadi sesuatu yang sangat wajar. Apalagi jika bicara tentang mutu serta kualitas pendidikan, tentu kawasan kota lebih unggul.