Bencana di Wasior, Mentawai, dan letusan gunung merapi adalah persitiwa alam yang baru-baru ini mendera bangsa kita. Kesedihan, kepedihan dan kemirisan membumbung tinggi di langit bumi pertiwi menyelimuti kehidupan masyarakat negeri ini hanya dalam jangka waktu dua bulan. Sebagai makhluk sosial, rasa kemanusiaan kita terpanggil untuk terjun membantu dan menolong mereka yang terkena dampak bencana.
Rasa kemanusiaan adalah potensi dasar yang mana setiap individu memilikinya. Potensi itulah yang kemudian membawa kita untuk peduli terhadap sesama dilandasi dengan rasa solidaritas serta loyalitas tinggi sebagai wujud kesadaran kita akan pentingnya menjaga kebersamaan dan persaudaraan antar manusia. Laki-laki dan perempuan, tidak terkecuali, memiliki potensi dasar rasa kemanusiaan karena sejatinya Tuhanlah yang menganugerahkannya, bahkan sejak kita dilahirkan ke dunia. Meski begitu, rasa kemanusiaan tersebut haruslah dipupuk dengan aktivitas berupa kepedulian saat melihat suatu realitas yang bertentangan dengan hati nurani, atau realitas yang tidak berjalan sesuai dengan kemauan hidup.
Dalam konteks bencana, perempuan seharusnya memiliki peran atau andil besar. Perempuan biasanya lebih mendahulukan perasaan ketimbang logika atau pikiran, sehingga mereka otomatis akan lebih dahulu sadar saat menyaksikan kepedihan yang dirasakan masyarakat akibat bencana. Diakui atau tidak, perempuan lebih dominan dalam hal perasaan ketimbang laki-laki, setidaknya itulah salah satu indikasi kelebihan perempuan dibanding kaum Adam.
Bukan maksud penulis ingin mengatakan bahwa perempuan tidak memiliki pikiran atau ide-ide cemerlang. Tetapi justru sebaliknya, ketika perempuan mendahulukan perasaan, maka mereka akan cepat tanggap lantas pikiran mereka dengan segera terbuka sebab, perasaan mereka telah lebih mendahului pikirannya.
Perasaan merupakan titik awal timbulnya rasa kemanusiaan. Dalam hal ini, perempuan dapat dikatakan orang yang lebih dahulu muncul rasa kemanusiaannya saat melihat suatu bencana, dan setelah itu barulah pikiran menyertai. Bayangkan saja apabila ketika kita menyaksikan bencana lebih mendahulukan pikiran ketimbang perasaan, yang terjadi justru kelambatan kita dalam menanggapi bencana.
Dalam kasus ini, bolehlah perempuan dikatakan sebagai makhluk perasa meskipun ini sebenarnya streotiping dalam wacana gender. Tapi kita juga mesti jujur bahwa perempuan lebih besar potensi perasaannya dibandingkan laki-laki. Untuk itu, peran perempuan dalam menanggapi bencana cukup besar, bahkan menentukan, sehingga akan sangat logis kiranya jika para perempuan ikut serta dilibatkan atau melibatkan diri dalam menangani bencana, terutama bencana alam yang bertubi-tubi mendera negeri ini.
Namun begitu, tak sedikit kaum perempuan justu mengingkari perasaannya saat melihat bencana. Mereka justru berlari ketakutan dan lebih memilih aman menyelamatkan diri daripada ikut serta menanggapi bencana karena sebuah anggapan bahwa bencana lebih meupakan persoalan fisik semata. Mereka justru menunjukan suatu sikap yang sebenarnya juga streotip, yakni sebagai makhluk lemah, tak memiliki peran, padahal, di lokasi bencana banyak peran yang harus mereka mainkan, dan banyak kesempatan untuk mengurai serta mematrealkan perasaannya dalam bentuk yang nyata dan riil.
Pungkasnya, sikap tanggap bencana sejatinya lebih potensial di dalam sosok diri seorang perempuan. Apabila potensi itu dapat dimatrealisasikan maka citra perempuan di mata masyaraat mendapatkan nilai lebih, setidaknya untuk mengikis streotip-streotip negatif yang selama ini memasung peran perempuan, terutama di ranah sosial. Sadar atau tidak, anggapan-anggapan yang berbau bias gender lahir dari masyarakat karena stigma itu telah berkembang serta mendarah-daging di dalam pikiran masyarakat, entah karena faktor budaya, tradisi maupun disebabkan oleh faktor pendidikan yang tidak merata di dalam masyarakat. Bahkan terkadang, masyarakat lebih mendahulukan tradisi, terutama karena faktor mitologi, ketimbang kesadaran yang dihasilkan oleh proses penerimaan pendidikan.
Bukan maksud penulis ingin mengatakan bahwa tradisi serta mitos adalah suatu kesesatan. Tapi, kita juga mesti jujur terkadang kedua hal tersebut justru bertentangan dengan logika dasar, pikiran serta kesadaran kita, terutama tradisi-tradisi yang terlihat lebih menempatkan posisi serta peran perempuan di tempat yang lebih rendah sebagai makhluk sosial.