Thursday, 25 October 2012

Memahami Bencana

Memahami Bencana

Adakah sejengkal saja ruang di bumi ini yang bebas dari bencana? Pertanyaan seperti ini patut dikemukakan agar kita dapat memahami secara substansi hal lain di balik semua kejadian bencana yang terus menimpa kehidupan manusia di bumi. Jika kita tidak benar-benar paham akan makna bencana yang kerap melanda, justru terjadi semacam kesalah-pahaman, yakni memahami bencana sebagai bentuk ketidakadilan Tuhan, padahal, bukankah bencana terjadi akibat tingkah polah manusia itu sendiri?

Tuhan memberikan kabar bahwa kerusakan (bencana) di muka bumi adalah akibat perbuatan manusia. Dalam arti yang lain, bahwa manusialah sesungguhnya yang telah menganiaya diri mereka sendiri karena kecerobohan, kerakusan, serta kecongkakan terhadap bumi seisinya. Ketidak-ramahan manusia pada lingkungan, hutan, atau isi-isi bumi lainnya telah melahirkan sekian kerusakan demi kerusakan alam hingga menimbulkan malapetaka bencana yang berkelanjutan. Bahkan, manusia saat ini telah sampai pada titik frustasi dalam menghadapi berbagai bentuk bencana yang seakan tiada henti-hentinya meneror serta mendera kehidupan manusia hingga terjadilah kekacauan di mana-mana. Di sisi lain, bencana juga kerap datang secara tiba-tiba tanpa terduga melahirkan tekanan psikologis dan pada akhirnya tiada lagi ketenangan serta ketentraman dalam kehidupan.

Bencana terjadi di belahan dunia manapun. Baik itu bencana akibat kesengajaan manusia maupun karena fenomena alam. Bencana akibat kesengajaan manusia berupa perang, sedangkan bencana yang merupakan karena faktor keadaan alam berupa tsunami, tanah longsor, banjir, dan meletusnya gunung-gunung berapi yang masih aktif, seperti gunung merapi.

Jujur diakui atau tidak, kita takkan pernah siap menerima kedatangan “tamu” berupa bencana meski hal tersebut sangat akrab dengan kehidupan serta bagian dari kehidupan kita di muka bumi ini. Karena secara manusiawi kita ingin hidup dalam keadaan normal, aman, tentram tanpa ancaman, sebab, bencana hanya berdampak pada kesengsaraan dan malapetaka belaka.

Dalam hal berupa bencana perang kita dituntut untuk lebih mendahulukan perdamaian. Sedangkan dalam hal bencana alam kita dituntut untuk merumuskan suatu konsep tentang hubungan manusia dengan alam sebagaimana konsep hubungan manusia antar sesama manusia yang merupkan modal awal membangun kehidupan. Tetapi, konsep hubungan manusia dengan alam, sepertinya kurang mendapatkan porsi perhatian serius, dan harus diakui kita telah abai dengan hal tersebut atas sebuah pemahaman bahwa alam ini hanya diciptakan demi memenuhi kebutuhan perut manusia dengan mengeksploitasinya secara membabi-buta tanpa memikirkan dampak terburuk yang akan terjadi di depan.

Bersahabat dengan alam

Alam seisinya yang telah diciptakan Tuhan untuk keberlangsungan kehidupan manusia sepertinya tak pernah dijadikan sahabat dekat oleh para penghuni bumi, utamanya manusia. Tuhan memang tak pernah melarang manusia memanfaatkan kekayaan alam, tapi Tuhan juga memberikan sinyal agar jangan sampai berlebihan dalam proses pemanfaatannya. Inilah aspek yang hanya sedikit manusia memahaminya, karena kerakusan serta ketamakan terhadap sesuatu yang dapat memberikan keuntungan bagi kehidupan.

Konsep hubungan manusia dengan alam sejatinya telah lama ada. Hanya saja kita terlalu angkuh untuk mengerti, memahami serta mengaplikasikannya dalam kehidupan. Dan setelah bencana terjadi barulah kita sadar betapa antara manusia dengan alam mesti saling berhubungan. Padahal, konsep hubungan itu cukup sederhana, yakni menjaga kelestarian alam, ramah terhadap lingkungan, memanfaatkan alam seperlunya dan tidak berlebihan, sebab, alam juga merupakan makhluk yang diciptakan Tuhan, sehingga harus ada keseimbangan, tercipta suatu hubungan timbal balik, simbiosis-mutualisme, atau hubungan yang saling membutuhkan. Manusia membutuhkan alam untuk dimanfaatkan demi keberlangsungan hidup, dan begitu pula alam membutuhkan manusia agar dirawat serta tidak melakukan kerusakan-kerusakan.

Bencana sebagai ujian

Sejatinya, Tuhan tidak pernah ingin menyesengsarakan makhluk-Nya. Namun terkadang kita justru latah dengan mengatakan bahwa bencana hadir adalah sebagai sebuah bentuk ketidak-adilan Tuhan terhadap manusia. Orang lantas mempertanyakan bahkan meragukan eksistensi Tuhan sebagai Zat Yang Menyayangi ciptaan-Nya. Di sini diperlukan suatu pemahaman yang objektif terhadap bencana, terutama bencana alam, dan berusaha untuk berpikir positif terhadap maksud di balik kejadian itu.

Dalam perspektif Islam, bencana lebih dimaknai sebagai sebuah ujian keimanan seseorang. Dengan ujian itu apakah keimanan seseorang akan semakin tebal atau justru menipis, atau kita justru menyalahkan Tuhan. Ini adalah ujian terberat dalam dinamika keimanan seseorang karena kita acap kali mengukurnya dengan barometer rasionalitas semata, menafikan aspek spiritualitas yang merupakan sebuah potensi dasar sejak manusia dilahirkan ke muka bumi. Kehidupan adalah sebuah proses dan keimanan harus meniti tahap demi tahap untuk mencapai suatu kematangan keimanan. Ujianlah yang jadi penentu apakah keimanan seseorang telah berhasil melalui satu tahap untuk kemudian naik ke tahap berikutnya. Semakin tinggi tahap yang dijalani maka akan semakin berat pula ujian yang akan diterima.

Selain itu, ujian berupa bencana juga merupakan alat untuk mengukur rasa kemanusiaan seseorang. Sebab, rasa kemanusiaan adalah potensi dasar yang dianugerahi Tuhan kepada manusia sebagai bekal mengarungi perjalanan kehidupan di antara sekian ribu karakter yang dimiliki manusia dalam lingkaran perbedaan. Di sini, loyalitas manusia terhadap manusia lainnya dapat diukur.

Jika rasa kemanusiaan tersebut tumbuh dan berkembang dengan baik maka pada saat menyaksikan manusia lainnya tertimpa musibah atau bencana, secara naluriah kita akan merasa terpanggil untuk peduli. Kepedulian itu sangat banyak bentuknya, salah satunya dengan menolong, atau setidak-tidaknya mendoakan agar mereka yang tertimpa musibah terus diberikan kesabaran serta ketabahan.

Untuk itu, berprasangka baik terhadap Tuhan atas deretan musibah yang terjadi patut ditanamkan dalam pikiran kita. Mengambil hikmah di balik semua itu adalah titik akhir dari hasil refleksi kita setelah menemukan suatu kesimpulan. Dan kesimpulan tersebut selanjutnya dijadikan sebuah pelajaran berharga sebagai suatu pijakan untuk melangkah ke depan sembari menata hati dan pikiran agar berjalan beriringan. Demikianlah..
Disqus Comments